Rumah Didobrak Aparat Saat Kerusuhan, Warga Dago Elos Ketakutan
Sejumlah rumah warga di kawasan Dago Elos, Bandung, didobrak aparat saat membubarkan massa yang berunjuk rasa. Tindakan represif itu dinilai berlebihan dan membuat warga ketakutan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Masyarakat di kawasan Dago Elos, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat, merasa resah dan takut setelah mendapatkan tindakan represif petugas kepolisian saat membubarkan massa yang berdemonstrasi, Senin (14/8/2023) malam. Pendobrakan rumah hingga penyemprotan gas air mata membuat permukiman penduduk di bagian utara Bandung itu menjadi mencekam.
Raut wajah Yeti (59), warga RW 002 Kelurahan Dago, masih terlihat cemas saat ditemui pada Selasa (15/8/2023) pagi. Dia masih khawatir polisi mendatangi rumahnya seperti yang terjadi pada malam sebelumnya. Wanita paruh baya itu menunjukkan gagang pintu depan rumahnya yang terlepas serta engsel pintu yang rusak.
Tindakan represif aparat ini juga terekam kamera pengawas milik Yeti. Dalam rekaman itu terlihat sejumlah aparat dengan seragam anti huru-hara dan membawa tameng menerobos masuk ke rumah Yeti tanpa izin. Dari rekaman itu tampak anak-anak bersama anggota keluarga lainnya saling meringkuk dan sesekali terdengar bentakan aparat.
”Waktu itu di rumah ada sekitar 15 orang, termasuk cucu-cucu saya yang masih kecil. Saat polisi mendobrak sekitar pukul 23.00 lebih, mereka menduga ada provokator karena ada banyak sepatu. Padahal, di dalamnya hanya anak-anak saya yang bermain,” ujar Yeti.
Tidak hanya rumah Yeti, aparat juga menyisir sejumlah rumah lain di kawasan Jalan Dago Elos. Tindakan ini dilakukan setelah kerusuhan yang pecah saat aksi bakar ban dan blokade jalan dari sejumlah warga di Jalan Ir H Juanda.
Kerusuhan ini menjadi buntut dari protes masyarakat Dago Elos setelah mereka menganggap laporan yang mereka ajukan ditolak kepolisian. Berdasarkan keterangan dari Tim Advokasi Dago Elos, laporan tersebut terkait dugaan penipuan dari pihak keluarga Muller yang bersengketa dengan warga terkait kepemilikan tanah.
Unjuk rasa yang dimulai pada Senin sekitar pukul 21.00 itu berdampak pada arus lalu lintas yang terhambat di daerah tersebut. Sekitar pukul 21.45, puluhan polisi dengan perlengkapan anti huru-hara merapat ke lokasi kejadian.
Mereka mencoba menenangkan warga dan melakukan negosiasi. Sekitar pukul 22.45, warga bersama kuasa hukum sepakat untuk melaporkan kembali dugaan penipuan tersebut, lalu sebagian warga mulai kembali ke rumah masing-masing.
Namun, lima menit kemudian terdengar suara tembakan gas air mata. Warga yang berkumpul di sekitar Dago Elos berlarian ke segala arah. Gas air mata berhamburan tidak terkendali sehingga terpapar ke masyarakat, termasuk orang tua, perempuan, dan anak-anak.
Erni (34), salah satu warga, menuturkan, saat itu keponakannya yang masih berumur 11 bulan terpaksa diungsikan ke rumahnya. Rumah anak tersebut terpaut 100 meter dari tempat Erni dan dekat dengan jalan yang menjadi lokasi penembakan air mata.
”Waktu kejadian, kakak saya melarikan anaknya ke rumah saya. Kami tidak bisa melihat dengan jelas karena gas air mata yang pekat dan perih. Tapi anak itu menangis terus. Sekarang kami mengungsikan ibu dan anak itu ke tempat lain,” ujarnya.
Hingga Selasa ini, ketiga anak Erni pun masih takut keluar rumah. Dia berujar, anak-anaknya enggan bertemu kerumunan karena terbayang puluhan petugas yang merangsek masuk ke permukiman pada malam itu. Apalagi, penyisiran dilakukan hingga pukul 03.00 sehingga permukiman yang berada di utara Bandung ini mencekam.
”Dari pihak sekolah mengizinkan anak-anak saya untuk libur karena tahu permasalahannya. Kalau seperti ini, kami juga takut untuk tinggal di rumah sendiri,” ungkapnya.
Salah satu anggota Tim Advokasi Dago Elos, Rifki Zulfikar, menilai tindakan represif dari petugas itu mengancam masyarakat di permukiman tersebut. Dia menyebut, setelah kejadian itu, warga menemukan sejumlah barang, seperti tongkat pemukul dan proyektil peluru gas air mata.
Rifki juga menyoroti penggunaan gas air mata yang dianggap berlebihan dalam kejadian tersebut. ”Kami mengecam kekerasan berlebihan oleh polisi yang menangani protes warga sehingga menimbulkan korban luka, kerusakan fasilitas, properti, dan kendaraan milik warga selama pengepungan,” ujarnya.
Saat polisi mendobrak sekitar pukul 23.00 lebih, mereka menduga ada provokator karena ada banyak sepatu. Padahal, di dalamnya hanya anak-anak saya yang bermain.
Sementara itu, Kepala Polrestabes Bandung Komisaris Besar Budi Sartono menyatakan, pihaknya akan menerima secara terbuka jika ada pelaporan terkait kekerasan aparat dalam peristiwa di Dago Elos. Dia menyebut, tindakan represif itu tidak ditujukan kepada warga, tetapi pada kelompok yang melakukan provokasi sebelum aksi penembakan gas air mata.
Budi juga meminta masyarakat untuk tidak khawatir karena polisi tidak akan masuk ke rumah warga dan melakukan intimidasi. Polisi saat ini hanya melakukan pemantauan dan memastikan situasi kembali kondusif.
”Yang pasti situasi saat itu chaos, ada lemparan batu, sehingga kami melakukan tembakan gas air mata. Terkait pendobrakan, akan kami telusuri kembali karena saat itu hanya fokus kepada pembukaan jalan,” papar Budi.