Survei Litbang ”Kompas”: Mendongkrak Citra Polri dari Kerja Nyata
Deretan kasus yang menyorot lembaga kepolisian sedikit banyak menggerus apresiasi publik. Kerja nyata polisi akan menjadi pintu untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat pada institusi ini.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Institusi kepolisian tengah menjadi sorotan publik. Meningkatkan kerja-kerja pelayanan masyarakat diyakini akan mampu memperkuat kembali apresiasi publik di tengah rentetan kasus hukum yang menjadi beban Polri dalam empat bulan terakhir ini.
Kasus-kasus besar yang disorot masyarakat memengaruhi penilaian publik terhadap kinerja Polri. Hasil Survei Nasional Kompas Oktober 2022 ini merekam bagaimana citra Polri cenderung menurun di mata publik. Hanya 48,5 persen responden dalam survei kali ini yang menilai lembaga kepolisian citranya baik. Padahal, di survei-survei sebelumnya citranya selalu di atas 65 persen lebih.
Dengan capaian tersebut, citra lembaga ini berada di titik terendahnya dalam dua tahun terakhir ini. Selama setahun ke belakang, tingkat penerimaan lembaga ini memang memiliki tren negatif. Namun, penurunan intens terjadi selama Juni 2022 hingga Oktober 2022. Secara berturut-turut, citra positif kelembagaan Polri merosot sebesar 9 persen sampai 17,2 persen.
Meningkatkan kerja-kerja polisi dalam pelayanan masyarakat diyakini akan mampu memperkuat kembali apresiasi publik.
Tidak sulit untuk bisa memahami mengapa citra lembaga kepolisian ini menurun dalam tempo sesingkat ini. Tentu masih lekat dalam ingatan publik tentang rentetan peristiwa dalam empat bulan terakhir ini yang membuat institusi Polri menjadi sorotan publik.
Mulai dari kasus pembunuhan Brigadir J yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dan sejumlah perwira tinggi lainnya. Kemudian tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jatim, yang mengakibatkan 135 orang tewas yang diduga dipicu oleh penembakan gas air mata oleh polisi ke arah tribune penonton.
Tak heran, jika kemudian rentetan peristiwa ini memberikan insentif penilaian publik yang cenderung negatif melihat institusi kepolisian saat ini. Tidak heran jika kemudian sorotan publik ditujukan ke institusi penegak hukum ini, termasuk keriuhan yang terjadi di media sosial.
Hal ini pun terkonfirmasi dengan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum. Hasil survei menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap bidang ini menurun sebesar 6 persen dibandingkan survei periode Juni lalu. Survei juga menangkap kelompok responden yang tidak puas dengan kinerja penegakan hukum ini cenderung menilai buruk citra polisi.
Tak heran, ketidakpuasan pada kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum ini pun menjalar ke institusi-institusi yang terkait. Rendahnya citra positif Polri ini menjadi penanda bahwa ada problem di aspek kepercayaan publik pada institusi Polri. Kasus pembunuhan Brigadir J, misalnya, harus diakui menjadi puncak gunung es tergerusnya apresiasi publik pada polisi.
Meskipun demikian, memburuknya citra terhadap polisi ini tidak kemudian diikuti dengan sikap publik yang resisten terhadap kerja-kerja polisi yang bersentuhan dengan pelayanan kepada masyarakat secara umum. Hasil survei menangkap ada sinyal harapan publik pada institusi polisi ini.
Setidaknya hal ini bisa dilihat dengan sikap publik yang mengapresiasi kerja-kerja polisi. Penilaian ini terutama ditujukan pada kerja-kerja polisi di lapangan. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, kinerja kepolisian dalam melindungi masyarakat menjadi yang paling diapresiasi. Tak kurang dari 71,7 persen responden mengaku kinerja polisi untuk mengayomi warga sudah baik.
Selaras, kinerja kepolisian dalam hal memelihara keamanan dan ketertiban juga cukup dilihat oleh masyarakat. Sedikitnya, 69,1 persen responden menilai baik kinerja polisi di aspek ini. Meski masih cukup tinggi di kisaran 62 persen, kemampuan polisi untuk menegakkan hukum menjadi aspek yang memiliki ruang perbaikan paling luas dibandingkan dua aspek lainnya.
Tentu ada kecenderungan paradoks yang terjadi, antara penilaian publik terkait citra Polri secara umum dan kerja-kerja polisi dalam melayani masyarakat. Paradoks citra lembaga polisi ini juga menarik ketika dilihat di dunia media sosial. Tak jarang ramai produk-produk konten dari pendengung untuk mengimbangi tekanan dan sorotan publik pada polisi setelah rentetan kasus di atas menyeret institusi ini.
Setidaknya hal ini juga terekam dari hasil survei di mana responden yang sekaligus aktif mengikuti isu di media sosial cenderung menilai negatif citra polisi.
Bisa dibilang, mayoritas dari pengguna media sosial, seperti Tiktok, Twitter, dan Youtube, cenderung melihat institusi Polri dengan citra negatif. Bahkan, hanya Instagram yang penggunanya masih terbelah, di mana separuhnya masih mampu melihat sisi positif lembaga tersebut. Sementara pengguna Facebook dan Whatsapp melihat institusi kepolisian dengan tone relatif positif.
Sementara jika merujuk pengalaman, hal-hal yang bisa menyentuh hati masyarakat justru bisa menjadi kunci untuk mendongkrak citra. Namun, kata kuncinya adalah tetap pembuktian kerja-kerja di lapangan, bukan di dunia maya.
Setidaknya hal ini berpijak dari hasil survei yang menangkap, responden yang puas dengan pelayanan polisi cenderung akan membela dan mendukung lembaga ini ke lingkaran sosial terdekat mereka, baik di dunia nyata maupun dunia maya melalui media sosial. Kerja-kerja nyata akan melahirkan ”pendengung alami” yang bisa memperkuat kembali citra lembaga kepolisian.
Tentu, sebagai institusi penegak hukum, memperbaiki citra polisi menjadi pekerjaan rumah bersama. Penilaian publik pada kerja-kerja polisi belum secara langsung mampu mendongkrak citra lembaga tersebut. Bak menggarami lautan, menggenjot performa pelayanan publik saja tidak akan banyak berdampak untuk mencapai tujuan ini.
Selain mempertahankan kepuasan terhadap layanan masyarakat, Polri perlu menunjukkan pada publik bahwa institusinya bersih dan berintegritas.
Penyelesaian kasus-kasus yang menjadi sorotan publik saat ini terhadap polisi, mulai dari kasus pembunuhan Brigadir J, Tragedi Kanjuruhan, sampai pada kasus narkoba yang menjerat perwira tinggi polisi, akan turut menjadi bekal buat publik untuk menguji sejauh mana komitmen polisi memperbaiki citranya.
Namun, setidaknya kepuasan publik terhadap kinerja polisi bisa menjadi pintu masuk bagi upaya menaikkan lagi citra lembaga ini di mata masyarakat. Langkah Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo yang memerintahkan jajaran Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri untuk tidak lagi melakukan penilangan secara manual guna menghindari pungutan liar bisa memberikan konstribusi positif pada persepsi publik terhadap polisi.
Pada akhirnya, Polri perlu memanfaatkan momentum-momentum penting bagaimana membaca mood public dalam menilai kinerja polisi. Bagaimanapun, rentetan peristiwa yang terjadi dalam empat bulan terakhir ini harus menjadi pelajaran bagi polisi untuk tidak lagi bermain-main dengan kewenangan yang diamanahkan oleh undang-undang kepadanya. Kewenangan polisi diberikan semata-mata untuk melayani masyarakat, bukan sebaliknya.
Untuk itu, memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri adalah sebuah keniscayaan. Upaya memerangi kasus jual beli hukum, suap, dan KKN tetap menjadi agenda yang melekat sebagai langkah penegakan hukum bagi Polri.
Tak pelak, kerja-kerja polisi di lapangan akan menjadi bukti nyata bagi masyarakat bahwa institusi penegak hukum ini serius membenahi diri. Pada akhirnya, upaya mereformasi Polri menjadi peta jalan sekaligus pintu bagi lembaga ini untuk mendongkrak kembali kepercayaan publik. (LITBANG KOMPAS)