Andini Korban Penganiayaan Berlebihan Ronald Tannur
Dini Sera Afrianti (28) alias Andini dinilai meninggal akibat penganiayaan secara berlebihan oleh Gregorius Ronald Tannur (31) di Surabaya. Dari rekonstruksi, pelaku patut diduga berkehendak menghabisi nyawa korban.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Dini Sera Afrianti (28) alias Andini meninggal akibat penganiayaan berlebihan oleh Gregorius Ronald Tannur (31). Demikian terungkap dalam rekonstruksi kasus oleh tim penyidik Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, Selasa (10/10/2023).
Rekonstruksi berlangsung di area parkir basement Lenmarc Mall dan Blackhole KTV Club di pusat perbelanjaan di Jalan Mayjend Jonosewojo, Kota Surabaya, Jawa Timur. Ronald dihadirkan ke lokasi rekonstruksi, sementara Andini diperankan oleh petugas. Ronald adalah putra dari anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Edward Tannur. Namun, akibat kasus ini, PKB memutuskan untuk menonaktifkan Edward dari aktivitas di DPR.
Di basement atau rubanah (ruang bawah tanah), Ronald mempraktikkan adegan menganiaya Andini dan melindas tubuh korban dengan mobil Toyota Innova abu-abu metalik miliknya. Setelah itu, rekonstruksi dilanjutkan ke Blackhole di lantai 3. Di sini, Ronald menjalankan adegan penganiayaan terhadap Andini.
Rekonstruksi itu setidaknya sesuai dengan kronologi dari olah tempat kejadian perkara (TKP), pemeriksaan saksi-saksi, dan rekaman kamera pemantau (CCTV). Namun, yang berbeda adalah urutannya. Penganiayaan di basement merupakan kelanjutan dari kejahatan serupa di Blackhole.
Rekonstruksi itu menegaskan penganiayaan berkali-kali dan berlebihan oleh Ronald terhadap Andini. Keduanya disebut telah menjalin hubungan asmara selama lima bulan. Andini, warga Gunung Guruh Girang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ialah janda dengan satu anak berusia 12 tahun. Sebelum berhubungan dengan Ronald, Andini diketahui bekerja sebagai pramuniaga.
Rekonstruksi itu menegaskan penganiayaan berkali-kali dan berlebihan oleh Ronald terhadap Andini.
Menurut Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya Komisaris Teguh Setiawan, rekonstruksi digelar untuk penanganan kasus secara profesional dan tanpa intervensi. ”Kami bekerja secara prosedural dan profesional untuk mencari fakta-fakta sebenarnya,” ujarnya.
Dalam rilis kasus pada Jumat (6/10/2023), Kepala Polrestabes Surabaya Komisaris Besar Pasma Royce menyatakan, Ronald dituduh melanggar secara berlapis Pasal 351 Ayat 3 dan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana penjara 12 tahun. Kasus ini bermula pada Rabu (4/10/2023) pukul 05.00 ketika Kepolisian Sektor Lakarsantri menerima laporan kematian Andini yang tinggal di Apartemen Orchad, Surabaya Barat. Dari laporan itu diketahui kematian Andini secara tidak wajar karena petugas menemukan kejanggalan.
Kuasa hukum keluarga korban, Dimas Yemahura Alfarauq, mengatakan, pihaknya tidak puas terhadap respons petugas Polsek Lakarsantri yang menerima laporan kematian itu. Polsek Lakarsantri menyatakan kematian Andini akibat sakit. Kecewa dengan respons itu, Dimas melapor ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polrestabes Surabaya dengan tuduhan Ronald melanggar Pasal 351 Ayat 3 dan Pasal 338 KUHP.
Dimas melanjutkan, terkait kasus ini, pihaknya sedang mempersiapkan langkah hukum untuk melaporkan tiga anggota Polri ke Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah (Propam Polda) Jawa Timur. Ketiga anggota Polri itu adalah bekas Kepala Polsek Lakarsantri Komisaris Hakim, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Lakarsantri Inspektur Satu Samikan, dan Kepala Seksi Humas Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Haryoko Widhi.
Menurut Dimas, pelaporan ke Propam Polda Jatim karena ketiga petugas itu dianggap mengaburkan fakta kasus. Hakim dan Samikan menyebut kematian Andini bukan akibat penganiayaan, melainkan sakit asam lambung. Fakta itu kemudian terbantahkan oleh Polrestabes Surabaya. Sementara Haryoko menyebut penggantian Hakim bukan akibat kasus, melainkan karena kondisi kesehatan.
”Kami juga mengupayakan agar tim penyidik membuka kemungkinan mengenakan Pasal 338 atau pembunuhan kepada tersangka,” kata Dimas.
Saat dihubungi secara terpisah, dosen senior hukum pidana Universitas Airlangga, I Wayan Titib Sulaksana, menilai, jerat Pasal 338 dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun bisa dikenakan kepada tersangka. Ini terlihat dari perilaku tersangka yang menganiaya secara berlebihan dan bereskalasi atau meningkat. ”Diduga ada kehendak menghabisi nyawa korban,” kata Wayan Titib.
Penganiayaan menyasar hampir seluruh tubuh korban, yakni kepala, badan, tangan, dan kaki. Penganiayaan memakai tangan, alat (botol), bahkan mobil. Tersangka tidak meredam atau menghentikan tindakan penganiayaan itu malah berlanjut sehingga berakibat fatal.
Tersangka tidak meredam atau menghentikan tindakan penganiayaan itu malah berlanjut sehingga berakibat fatal.
Dalam rilis kasus, Reny Sumulyo, dokter tim forensik RSUD Dr Soetomo, mengatakan, hasil otopsi memperlihatkan sejumlah luka dan lebam pada tubuh Andini. Dari pemeriksaan luar ada memar di kepala belakang, leher kanan kini, dan memar serta lecet di anggota gerak atas. Ada luka di dada kanan dan tengah, perut kiri bawah, lutut kanan, paha, dan punggung kanan.
Dari pemeriksaan bagian dalam, tim forensik menemukan perdarahan organ dalam, patah tulang, dan memar. ”Kami temukan resapan darah pada otot leher kulit kanan kiri, patah tulang rusuk dua sampai lima, memar organ paru, dan luka organ hati,” kata Reny.