Konsumsi Pangan Lokal Bukan Beras Disosialisasikan kepada Warga NTT
Pangan bukan beras, seperti jagung, singkong, sorgum, dan sukun, mulai sekarang bisa disosialisasikan kepada generasi muda di NTT. Daerah ini sulit memproduksi beras karena kekeringan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Saat ini, harga beras di wilayah Nusa Tenggara Timur terus merangkak naik. Harga tertinggi saat ini mencapai Rp 17.500 per kilogram dan terendah Rp 13.000 per kg. Stok beras dengan harga terendah tersebut semakin langka ditemukan di pasar atau kios beras.
Harga beras yang tinggi menjadi salah satu alasan pemerintah untuk menyosialisasikan pangan lokal nonberas. Diharapkan, beragam variasi pangan lokal bisa menggantikan beras. Produksi pangan di NTT sebenarnya sudah cukup. Kebutuhan beras di NTT tahun 2022 sebanyak 523.112 ton. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT, produksi beras pada tahun 2022 sebanyak 442.842 ton. Kekurangan kebutuhan beras bisa dipenuhi dari luar NTT.
Sementara itu, hasil produksi pangan lokal nonberas juga cukup tinggi. Data BPS Provinsi NTT menyebutkan, produksi ubi kayu pada tahun 2021 sebanyak 675.182 ton dan produksi jagung sebanyak 750.166 ton. Dengan demikian, masyarakat NTT mempunyai beberapa pilihan pangan lokal pengganti beras.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan NTT Lucky Koly, Sabtu (7/10/2023), mengatakan, pemerintah provinsi sejak 2015 sampai saat ini mengajak masyarakat mengonsumsi pangan lokal. Bukan sekadar ajakan, menurut Lucky, pemprov juga menyediakan makanan olahan dari berbagai jenis pangan lokal pada setiap acara yang digelar pemerintah daerah.
”Pemda terus mendorong masyarakat mengonsumsi pangan lokal di berbagai kesempatan. Acara-acara di sekolah-sekolah pun tetap diupayakan agar lebih banyak pangan lokal disajikan. Ini untuk membangun kebiasaan generasi muda mencintai dan mengonsumsi pangan lokal,” katanya.
Sosialisasi untuk pangan lokal nonberas bisa menyasar generasi muda. Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang, Prof Nyoman Mahayasa, di Kupang, Sabtu (7/10/2023), mengatakan, hampir semua generasi muda NTT kelahiran tahun 1990 ke atas tidak suka mengonsumsi pangan lokal bukan beras. Mereka hanya bisa mengonsumsi nasi dan makanan instan siap saji seperti mi.
”Sekarang, saatnya, di saat harga beras meroket dan makin sulit didapatkan di pasar, pemda mulai menggerakkan masyarakat, terutama generasi muda, mengonsumsi pangan lokal, seperti singkong, keladi, jagung, sorgum, jewawut, ubi jalar, pisang, sukun, dan kacang-kacangan. Jenis-jenis pangan lokal ini bisa diolah menjadi lebih menarik sehingga anak-anak tertarik mengonsumsi,” kata Mahayasa.
Salah satu bahan lokal nonberas yang sudah lama dikonsumsi masyarakat NTT adalah jagung dan singkong. Sejak dulu, masyarakat Timor sudah mengolah jagung menjadi jagung ”bose”, jagung ”katemak”, dan di kalangan suku Lamaholot ada lagi jagung ”titi”. Begitu pula dengan singkong yang bisa diolah menjadi singkong goreng, atau dijemur menjadi gaplek, lalu ditumbuk, dan dijadikan kue putu.
Sebagian jenis dan bentuk makanan tradisional itu sudah hampir dilupakan masyarakat, apalagi dikonsumsi. Jika ada gerakan, dorongan, dan dukungan pemda untuk kembali ke pangan lokal, petani atau masyarakat pasti akan membudidayakan lagi jenis-jenis pangan itu.
Menurut Mahayasa, beberapa tahun lalu ada gerakan mengonsumsi pangan lokal secara bersama-sama di setiap acara resmi. Sekarang gerakan seperti itu redup kembali. Padahal, NTT sangat kaya akan pangan lokal bukan beras.
Ketua Forum Petani Lahan Kering Kota Kupang Dan Aluman mengatakan, kasus gizi buruk dan rawan pangan yang terus menimpa anak-anak NTT, antara lain, karena ketergantungan pada beras terlalu tinggi. Sampai tahun 1990-an, kebiasaan ibu memberi pisang sangat matang bagi anak untuk dikonsumsi masih terjadi, tetapi sekarang sudah jarang terlihat.
”Setelah anak memasuki usia 1 tahun, mereka diberi pangan lokal yang diolah seperti bubur. Misalnya singkong, ubi jalar, pisang, dan jenis pangan lain. Demikian pula sayur-sayuran. Anak-anak pasti jarang mengalami gizi buruk seperti sekarang. Hanya saat itu porsi makan mereka juga cukup banyak. Anak-anak sekarang malas makan kecuali mi,” kata Aluman.
Ia menambahkan, ibu rumah tangga, terutama pasangan muda, sebaiknya diberi pemahaman akan kelebihan dan kekurangan pangan lokal. Mereka juga perlu diajari untuk mengolah setiap jenis pangan lokal itu agar kandungan gizi atau vitamin tetap terjaga.
Baca juga :
Petani sukses, peraih penghargaan petani teladan NTT 2018/2019, ini mengatakan, konsumsi pangan lokal harus menjadi gerakan bersama. Jika ditampilkan pada setiap kesempatan, anak-anak tidak lagi merasa terhina atau terbelakang apabila mengonsumsi pangan lokal di rumah.
”Makin sering disajikan, dan hanya jenis pangan itu yang ada di atas meja makan, mau tidak mau anak-anak tetap konsumsi. Tetapi, cara penyajian bervariasi dan didukung lauk yang disukai anak-anak. Telur ayam, daging, dan ikan. Ibu rumah tangga harus paham itu,” kata Aluman.