Sebagian Petani ”Food Estate” di Kalteng Gagal Panen
Cetak sawah baru dan program ”food estate” belum berdampak ke masyarakat, khususnya peladang. Mereka alami gagal panen, bahkan masih ada sawah yang telantar.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PULANG PISAU, KOMPAS — Kekeringan menghancurkan sawah-sawah baru yang masuk proyek lumbung pangan nasional di Kalimantan Tengah. Selain gagal panen, sebagian petani bahkan tidak menanam karena diselimuti beragam masalah.
Di Desa Simpur, Kabupaten Pulang Pisau, Misdiana (49) mengatakan hanya panen 10 kilogram gabah kering dari lahannya seluas satu hektar. Padahal, dia menanam hampir 100 kg benih. Sawahnya baru dicetak tahun 2022 pada program lumbung pangan atau dikenal dengan istilah food estate.
Baginya, hasil 10 kg adalah kegagalan. Dulu, saat berladang dengan cara tradisional, dia bisa mendapat enam ton gabah kering giling dari luas lahan yang sama.
”Dulu, dua tahun tidak perlu beli beras, bahkan bisa jual beras,” katanya saat ditemui di rumahnya Selasa (3/10/2023).
Misdiana masuk dalam Kelompok Tani Sukses Makmur. Kelompok tani ini baru dibentuk untuk menyambut kehadiran food estate.
Anggotanya 20 orang dengan luas lahan 56,7 hektar. Namun, dari 20 orang, hanya Misdiana yang sudah menanam.
Program nasional itu masuk ke desanya tahun 2020. Saat itu ada pemberian pupuk, kapur, dan bibit gratis.
”Tapi saat datang, bibitnya itu sudah berkutu dan sawahnya belum ada. Sawah baru dibuka tahun 2022,” katanya.
Misdiana menanam di seberang Sungai Kahayan, tepatnya di Desa Sakakajang. Lokasinya agak jauh sesuai kesepakatan para anggota. Selama menanam, Misdiana harus mengeluarkan jutaan rupiah.
”Awalnya padi itu tumbuhnya tinggi, bagus sekali. Tapi, terus tanahnya kering sekali sampai pecah-pecah lalu hama datang, rusak semua enggak ada hasilnya,” kata Misdiana.
Elfiana (37), petani Pulang Pisau lainnya, bahkan tidak pernah menyentuh sawahnya. Ia yang sejak kecil sudah berladang tradisional merasa sawah bukan keahliannya. Apalagi, dia kini bertani tanpa pendampingan.
”Kalau hanya sosialisasi di ruangan itu beda, maunya dikasih tahu di lapangan. Apalagi, irigasi belum maksimal. Saya yakin nanti gagal. Kami enggak tahu cara tanam di sawah,” ungkap Elfiana.
Elfiana memiliki lahan seluas 250 meter persegi. Bukannya menanam padi, Elfiana justru memanfaatkan pematang sawah untuk menanam pisang dan singkong.
”Kalau pisang sudah saya jual di sekitar kampung sini, hasilnya malah lumayan,” kata Elfiana. Elfiana dan suaminya pun memilih sayuran dan buah-buahan untuk ditanam selain padi.
Nasib Ardianto (46) lebih buruk. Warga Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, itu tidak mendapat apa pun dari sawah barunya pada program food estate. Ia kini berjualan sayur untuk menyambung hidup.
”Saya manfaatkan pematang sawah untuk sayur dan pisang. Hasilnya lumayan, seminggu dua kali kami jual di pasar,” kata Ardianto.
Program food estate di Kalteng untuk komoditas padi dibagi menjadi dua, intensifikasi dan ekstensifikasi. Lahan intensifikasi merupakan lahan sawah yang sudah ada. Sementara ekstensifikasi merupakan cetak sawah baru. Misdiana dan Elfiana adalah peserta ekstensifikasi.
Data Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Kalteng menyebutkan, total lahan food estate yang sudah dan sedang dikerjakan mencapai 44.000 ha.
Lahan paling luas ada di Kabupaten Kapuas dengan total 34.000 ha. Di Kabupaten Pulang Pisau ada 10.000 ha lahan intensifikasi dan 16.000 ha lahan ekstensifikasi.
Jika ditotal, luas lahan komoditas padi food estate di Kalteng mencapai lebih kurang 60.000 ha. Luas itu hampir setara DKI Jakarta.
Akan tetapi, Kepala Dinas TPHP Kalteng Sunarti menyebut, program food estate banyak membantu warga Kalteng. Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya perekonomian warga sekitar. Selain itu, ikut juga dibangun infrastruktur pendukung.
”Sekarang akses jalan mudah, petani menjual hasil panennya juga cepat dan mudah. Sekarang jalan, jembatan, listrik, dan telepon itu sudah sangat lancar dan mudah,” kata Sunarti.