Mengecap Nikmatnya Banda dari Semangkuk Kuah Ikan Pala
Ikan kuah pala adalah hidangan yang menjadi primadona di Banda Naira, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Makanan bercita rasa gurih, asam, dan pedas itu bukan hanya jadi kesukaan warga lokal, tetapi juga pengunjung.
Kepulauan Banda di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, tidak hanya terkenal dengan keindahan bentang alamnya, tetapi juga masyhur dengan kenikmatan sajian kulinernya. Dari sekian banyak kuliner khas di wilayah tersebut, ikan kuah pala menjadi primadona.
Wangi aroma bawang merah, bawang putih, cabai, dan kunyit yang ditumis Shinta Morella van den Broeke (23) di sebuah dapur di Banda Naira menyelinap masuk ke rongga hidung, Senin (18/9/2023) siang. Aroma itu sukses membuat perut orang-orang di sekitar dapur tersebut keroncongan.
Tak berselang lama, Shinta memasukkan batang sereh dan daun jeruk ke dalam panci tersebut. Selanjutnya, semangkuk buah pala yang telah dipisahkan dari kulit dan bijinya dimasukkan ke panci yang sama. Lalu, air sekitar 500 mililiter dan tujuh ekor ikan momar atau ikan layang menyusul ke dalam panci.
Untuk memastikan bumbu tercampur rata, Shinta mengaduk-aduk ikan-ikan itu. Sesekali, Shinta mencicipi kuah masakan tersebut. Ia lalu menambahkan sejumlah bumbu, seperti garam dan penyedap rasa. Setelah rasanya dianggap pas dan daging ikan matang, api dimatikan. Seluruh rangkaian memasak ikan kuah pala itu pun tuntas dalam waktu sekitar 20 menit.
”Memasak ikan kuah pala itu mudah. Saya yakin, sebagian besar orang Banda bisa memasak hidangan itu,” kata Shinta yang rutin memasak ikan kuah pala sejak berusia 14 tahun tersebut.
Shinta mengaku, dirinya tidak pernah benar-benar belajar memasak ikan kuah pala. Namun, pada percobaan pertamanya, ia sukses membuat ikan kuah pala yang rasanya mirip dengan buatan ibunya. Shinta menduga, kebiasaannya melihat sang ibu memasak olahan ikan tersebut membuatnya belajar tanpa disadari.
Shinta merupakan generasi ke-14 dari trah Van den Broeke. Trah ini merupakan perkenier atau pemilik kebun pala seluas 60 hektar di Pulau Banda Besar dan Pulau Ay sejak 1612. Bagi Shinta, ikan kuah pala merupakan salah satu comfort food atau makanan yang bisa membuat dirinya merasa nyaman.
Pada tahun 2018, Shinta pernah merantau ke Malang, Jawa Timur, untuk menuntut ilmu di sebuah universitas swasta di kota tersebut. Selama 2,5 tahun, ia tak pulang ke Banda. Selama itu pula, Shinta tak menyantap ikan kuah pala. Kerinduannya akan kuliner itu pun menyiksanya.
Pada abad ke-16, wangi dan cita rasa pala mendorong bangsa Eropa untuk melayarkan ribuan kapal ke daerah yang disebut sebagai sepotong surga dari timur tersebut.
Menurut Shinta, tempat terbaik untuk mengolah dan menyantap ikan kuah pala adalah di Banda. Sebab, di wilayah lain, menemukan bahan-bahan pembuatan ikan kuah pala tergolong sulit. ”Waktu di Malang itu kangen banget, ingin masak ikan kuah pala. Tapi, saya tidak pernah bisa karena di sana tidak ada buah pala,” ucap Shinta.
Selain tidak ada buah pala di Malang, Shinta juga mengaku kesulitan mendapatkan ikan laut yang segar. Kebanyakan ikan yang dijual di daerah itu merupakan ikan air tawar. Sekalipun ada ikan laut, kondisinya disebut Shinta sudah tidak segar. Kondisi itu berbeda dengan di Banda, yakni dia bisa mengolah ikan yang ditangkap di hari yang sama.
Memikat
Ikan kuah pala memiliki cita rasa gurih, asam, dan pedas. Rasa asam dalam masakan tersebut berasal dari buah pala. Selain menimbulkan sensasi asam, buah pala juga meninggalkan sisa rasa berupa pedas hangat. Kenikmatan yang ditimbulkan setelah menyantap hidangan tersebut tidak hanya memikat warga setempat, tetapi juga bagi wisatawan.
Mariana (54) dan Michiel (56), wisatawan asal Belanda, mengaku terkesan dengan ikan kuah pala yang mereka santap di Banda Naira. Dari sekian banyak menu berbahan dasar ikan, ikan kuah pala menjadi salah satu yang mereka rekomendasikan.
”Makanan ini sangat patut dicoba. Ada rasa pedasnya, tetapi cukup nyaman di perut. Kalau ada kesempatan, saya mau makan ikan kuah pala lagi,” tutur Mariana.
Berabad-abad lalu, jauh sebelum Mariana dan Michiel datang, orang-orang Belanda telah mencicipi ikan kuah pala di Banda Naira. Hidangan itu dulunya selalu disajikan untuk menjamu para petinggi Belanda yang datang ke pulau penghasil rempah itu.
Pada abad ke-16, wangi dan cita rasa pala mendorong bangsa Eropa untuk melayarkan ribuan kapal ke daerah yang disebut sebagai sepotong surga dari timur tersebut. Kedatangan bangsa Eropa kala itu menyisakan beragam peninggalan.
Peninggalan itu antara lain bekas istana gubernur jenderal Belanda, benteng, bekas rumah perkenier, gereja tua, penjara, dan gedung Societeit Harmonie. Ada pula rumah tempat pengasingan Sutan Sjahrir dan Bung Hatta.
Baca juga: Melebur Dendam di Banda
Sebuah truk merah terpakir di salah satu dermaga lawas, di Pulau Naira, Kecamatan Banda, pada Rabu (20/9/2023) siang. Truk yang tengah mengangkut pasir yang dikumpulkan warga dari pulau lain di Banda itu bersandar di ujung dermaga, berdekatan dengan sebuah bangunan mirip pendopo yang tak lagi terurus.
Dermaga lawas yang berjarak 600 meter dari Pelabuhan Banda Naira itu merupakan pelabuhan pertama tempat berlabuhnya bangsa Portugis saat menginjakkan kaki di Kepulauan Banda Naira pada abad ke-16. Di dermaga itu masih terdapat dua meriam lawas peninggalan Portugis.
Pemerhati sejarah asal Banda, Lookman A Ang, mengatakan, pelabuhan itu merupakan pelabuhan pertama yang dibangun Portugis sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal pengangkut rempah, terutama pala dan fuli dari Banda. Rempah-rempah itu sebelum diangkut ke pelabuhan biasanya disimpan di gudang penyimpanan yang belakangan dijadikan lokasi berdirinya Benteng Nassau.
”Awalnya orang-orang Banda berkeras menolak permohonan izin Portugis untuk membangun sebuah benteng,” ujar Lookman, Rabu (20/9/2023).
Baca juga: Lookman A Ang, Merangkai Kepingan Masa Lalu Banda Naira
Namun, setelah meyakinkan Raja Lewetaka bahwa Portugis adalah sahabat Raja Ternate, akhirnya Portugis berhasil mendirikan gudang rempah sekaligus benteng di Banda Naira. ”Tetapi, benteng ini memang tak pernah efektif digunakan portugis,” kata Lookman.
Benteng dan gudang penyimpanan yang tak efektif digunakan itu direbut dan dibangun ulang menjadi Benteng Nassau oleh Belanda pada 1607. Benteng tersebut kemudian direnovasi Pieter Both pada 1609. Setelah direnovasi, benteng yang letaknya berdampingan dengan Benteng Belgica itu terkenal di jagat raya sejak 1617.
Kedatangan bangsa Eropa memperebutkan Banda tak terlepas dari keberadaan tanaman endemik yang awalnya hanya tumbuh di Banda, yakni pala dan fuli. Pala diburu bangsa-bangsa di seluruh dunia jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa karena kelangkaan dan manfaatnya.
Dari catatan Kompas dalam edisi Jelajah Rempah Nusantara disebutkan, pala merupakan salah satu rempah termahal di dunia. Sebuah catatan Jerman dari abad ke-14 menyebutkan, harga 0,5 gram pala setara dengan tujuh lembu jantan gemuk.
Lookman A Ang dalam bukunya yang berjudul Banda Naira: Sebuah Nama, Seribu Kisah menyebut, pala diburu karena khasiatnya. Biji pala dipercaya sebagai satu-satunya obat yang mampu menangkis wabah black death atau kematian hitam yang melanda Eropa pada abad ke-14. Khasiat biji pala itu pula yang memunculkan istilah segenggam pala lebih berharga daripada segenggam emas.
Baca juga: Dari Banda Menguasai Dunia