Sektor pertambangan di Sultra memiliki potensi pajak daerah yang mencapai triliunan rupiah. Selain belum optimal, kondisi ini diperparah perusahaan tambang penunggak pajak yang tidak kunjung membayar kewajiban pajak.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Potensi pendapatan daerah Sulawesi Tenggara dari pajak sektor pertambangan masih sangat tinggi. Berdasarkan perkiraan sementara, nilainya mencapai triliunan rupiah di tiga kabupaten saja. Meski begitu, perusahaan tambang masih terus menunggak meski telah berulang kali ditagih.
Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sultra Panut menjelaskan, berdasarkan evaluasi sementara dari tiga kabupaten, potensi pendapatan dari sektor pertambangan mencapai Rp 1 triliun. Potensi itu pun dari beberapa sampel pajak yang belum terealisasi sampai saat ini.
”Kami melakukan kajian terhadap tiga wilayah, yaitu Kolaka, Konawe, dan Buton, potensi PAD sektor pertambangannya triliunan rupiah. Kajian itu kami ambil dari tahun 2017 hingga saat ini,” kata Panut seusai Rapat Koordinasi Optimalisasi Pajak Daerah Sektor Pertambangan, di Kendari, Senin (25/9/2023). Kegiatan ini diinisiasi oleh Tim Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Potensi pajak tersebut, terang Panut, berasal dari berbagai jenis, yaitu pajak air permukaan, pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (LBMB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), serta lainnya. Perhitungan potensi ini juga hanya mengambil beberapa sampel dari setiap wilayah.
Pada intinya, potensi pajak dari sektor pertambangan di Sultra masih sangat besar. Dan, pajak ini yang langsung masuk ke PAD untuk digunakan pada kesejahteraan rakyat.
Di Kolaka, misalnya, pajak air permukaan dari sektor pertambangan mencapai Rp 193 miliar. Di Konawe, Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas Tenaga Listrik senilai Rp 246 miliar. Di Buton, BPHTB untuk aspal mencapai Rp 630 miliar. Nilainya telah lebih dari Rp 1 triliun.
Di sisi lain, Panut menegaskan, pencatatan ini baru hitungan awal dari potensi pendapatan daerah. Penghitungan ini harus dipilah dan ditelaah kembali oleh daerah untuk menetapkan pajak yang seharusnya bisa ditagih ke perusahaan. Setiap pihak juga melakukan rekonsiliasi basis data hingga implementasi manajemen risiko.
”Pada intinya, potensi pajak dari sektor pertambangan di Sultra masih sangat besar. Dan, pajak ini yang langsung masuk ke PAD untuk digunakan pada kesejahteraan rakyat,” katanya.
Pajak dari sektor pertambangan terdiri atas berbagai jenis. Mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) perusahaan, pajak air tanah, pajak air permukaan, dan berbagai jenis pajak lainnya. Kewenangan pajak ini terbagi antara kabupaten/kota dan provinsi.
Kepala Badan Pendapatan Daerah Sultra Mujahidin mengungkapkan, untuk wilayah Sultra ada 76 perusahaan yang menunggak pajak air permukaan. Nilai dari tunggakan tersebut mencapai Rp 31 miliar. Salah satu yang terbesar adalah tunggakan dari PT Virtue Dragon Nickel Industry senilai Rp 26,3 miliar.
”Saat ini ada tiga perusahaan yang kami minta ke kejaksaan untuk dibantu dalam penagihan, termasuk PT VDNI. Ada yang sudah bayar dari PT Adi Kartiko itu Rp 97 juta, yang dua belum (bayar). Sementara untuk puluhan perusahaan yang lainnya kami sedang menyusun untuk juga dibantu oleh Kejaksaan,” ujarnya.
Pada awal Juni lalu, tim KPK bersama pemda memasang plang penunggakan pajak di perusahaan ini. PT VDNI yang bergerak dalam pengolahan dan pemurnian nikel menunggak pajak penerangan jalan (PPJ) ke Pemkab Konawe senilai Rp 48,2 miliar. Pada saat yang sama, perusahaan PMA asal China ini juga menunggak pajak air permukaan ke Pemprov Sultra senilai Rp 26,3 miliar.
Data terakhir, perusahaan ini telah membayar Rp 9,3 miliar untuk tunggakan PJJ ke Pemkab Konawe. External Affair Manager PT VDNI Indrayanto yang dihubungi terpisah berdalih tidak begitu tahu detail terkait persoalan pajak perusahaan. Pada Juni lalu, dalam rapat koordinasi di Kantor PT VDNI, ia memastikan perusahaan akan berkoordinasi kembali terkait tunggakan pajak yang dipaparkan baik oleh Pemkab Konawe maupun Pemprov Sultra.
Direktur Korsup KPK Wilayah IV Elly Kusumastuti mengatakan, setelah berbagai upaya untuk penagihan pajak dilakukan, beberapa wajib pajak mulai membayar tunggakan. Salah satu di antaranya adalah PT VDNI yang membayar Rp 9,3 miliar dari Rp 48,2 miliar tunggakan PJJ ke Pemkab Konawe.
”Kami berharap ke depannya akan selesai, termasuk dengan perusahaan-perusahaan lain yang juga menunggak pajak,” katanya.
Bersama pemangku kepentingan lainnya, ia melanjutkan, upaya untuk optimalisasi penerimaan pajak daerah terus dilakukan. Sebab, pajak merupakan instrumen untuk pembangunan daerah yang nantinya berujung ke kesejahteraan masyarakat.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sultra Patris Yurian Jaya menuturkan, pihaknya sangat mendukung daerah untuk melakukan optimalisasi pajak demi pencapaian pendapatan daerah. Sebab, wilayah Sultra merupakan wilayah yang kaya sumber daya alam, khususnya nikel, tapi tidak begitu terlihat berdampak.
Menurut Patris, kondisi daerah di Sultra tidak menunjukkan begitu kayanya kekayaan alam wilayah ini. Padahal, operasi pertambangan berlangsung secara terus-menerus selama lebih dari satu dekade terakhir.
”Karena itu kami dukung dan siap membantu sebagai pengacara negara. Kalau perlu, perusahaan tambang yang tidak patuh pajak tidak dibolehkan untuk mengeluarkan hasil tambang jika tidak membayar kewajiban pajaknya,” katanya.
Penjabat Gubernur Sultra Andap Budhi Revianto menyampaikan, pihaknya tentu sangat ingin agar penerimaan daerah optimal untuk kemajuan daerah. Terlebih lagi, pajak merupakan kewajiban para pelaku usaha yang harus dibayarkan ke negara. Oleh karena itu, pihaknya bermohon ke Kejaksaan untuk membantu pemerintah daerah dalam penagihan pajak perusahaan tambang.