Siasat Terakhir Peladang Dayak saat Digempur Gagal Panen
Sebagian petani program perluasan lumbung pangan di Kalteng masih belum mendapat hasil ideal. Cara bertani lama untuk sementara menyelamatkan mereka.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F23%2Fe61992eb-6ed3-4d22-bd29-23f4f7f40a24_jpg.jpg)
Ardianto tersenyum usai membungkus bahan jualannya seperti sayuran dan buah-buahan di rumahnya pada Jumat (22/9/2023). Ia memanfaatkan pematang sawah food estate untuk menanam sendiri tanaman tersebut. Ia lakukan itu untuk menutupi kegagalan panen padi di lahan dua hektar miliknya.
Setidaknya dua tahun terakhir, sebagian petani padi di Kalimantan Tengah dipaksa akrab dengan gagal panen. Untungnya, mereka tidak putus asa. Kreativitas jadi penyelamat. Namun, peran pemerintah tetap ditunggu untuk memperbaikinya.
Untuk kesekian kalinya, Ardianto (46) petani di Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, tidak bisa menikmati panen di sawah seluas dua hektar miliknya. Ia lagi-lagi gagal panen.
Untuk kesekian kalinya, Ardianto mencoba berdamai. Enggan menyalahkan pihak manapun, ia mengatakan kegagalan masih terbuka terjadi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F23%2F01621847-b300-45a5-af76-9d8e42654468_jpg.jpg)
Beberapa sayuran dan buah-buahan milik Ardianto dan istrinya yang siap dijual di pasar, pada Jumat (22/9/2023). Di Hari Tani Nasional, Ardianto berharap kehidupan petani lebih baik.
Dia menyebut masih belajar menerapkan cara bertani yang baru sejak 2021. Ardianto adalah satu dari banyak petani yang masuk program lahan perluasan baru lumbung pangan Kalteng.
“Namanya juga masih coba-coba. Orang bilang, sawah ini bisa berhasil setelah 7-10 kali masa tanam,” ungkap Ardianto.
Puluhan tahun bertani, Ardianto sejatinya akrab dengan sistem manugal. Sebelum tanam, dia biasa membersihkan ladang dengan cara memotong kayu-kayu yang tumbuh.
Setelah itu, sampah kayu bekas potong dibakar di atas tanah sampai jadi abu. Dibiarkan sehari, mereka lalu menggunakan kayu untuk melubangi tanah yang sudah bercampur abu. Proses melubangi sebelum memasukan benih padi itulah yang disebut manugal oleh masyarakat Dayak Ngaju.
Baca juga : Polemik ”Food Estate”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F26%2F9b025c1b-4109-4051-a238-60f0a1203f93_jpg.jpg)
Galuh, perempuan Dayak Tomun di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, bersiap untuk ke ladang pada Senin (17/1/2022). Ladang masyarakat Kinipan berada di hutan-hutan yang mereka jaga ratusan tahun lamanya.
Dalam satu petak, satu peladang bisa menanam berbagai jenis padi lokal. Di sela-sela padi biasanya mereka menanam beragam sayuran.
Ardianto jarang gagal panen. Dia bisa mendapat 2-3 ton per sekali tanam selama 6 bulan.
Akan tetapi, sejak 2021, Ardianto diminta berganti cara tanam. Dia dan rekan lainnya terpaksa menerima program pemerintah itu.
Mereka menganggap itu solusi setelah larangan membakar tahun 2015. Ia dan keluarga hanya ingin kembali beraktivitas di ladang.
Dengan metode baru, ladang kali ini harus rata dengan tanah. Bila sebelumnya dibakar, kini giliran alat berat menjadikan ladang jadi sawah.
Petani seperti Ardianto juga harus belajar membajak. Tanah diminta harus gembur.
Bibit padi pun tidak bisa dimasukan begitu saja. Petani diminta menyemainya. Proses semai dilakukan di rumah. Baru saat hendak tanam, petani harus membawanya ke sawah.

Petani di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, menyiapkan benih padi sebelum ditanam di sawah mereka pada Sabtu (10/10/2020).
Mereka juga harus terbiasa menghitung pasokan air. Tanpa irigasi, dia dipaksa mengerti siklus pasang surut Sungai Kahayan agar sawah bisa terairi.
Aksesibilitas juga jadi masalah. Untuk ke ladang dia harus menggunakan kelotok, atau perahu kayu bermesin. Dia tidak pernah menghitung biaya bensinnya. Tapi, butuh 20-25 menit dari rumah ke ladangnya. Harus beradaptasi kilat dengan berbagai metode anyar, tidak heran bila Ardianto gagal berkali-kali.
Sejauh ini, Ardianto terhitung sudah gagal empat kali. Artinya, dia telah gagal hampir setengah dari omongan banyak orang yang mengajarkan metode baru.
Gagal panen pertama dialami akhir tahun 2021, saat program bertani baru masuk kampungnya. Setelah delapan bulan ditanam, sawah di pinggir sungai dihajar banjir pasang.
Baca juga : Program “Food Estate” Kontradiktif dengan Kondisi Indonesia

Petani di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Jumat (29/1/2021). Menimbang padinya yang baru di panen. Di desa program food estate itu, target panen tak tercapai, bahkan sampai gagal.
Masa tanam kedua dia tidak gagal tapi hasilnya jauh dari harapan. Benih padinya ditanam terlalu padat.
Dulu saat berladang, dia biasa menebar satu belek 13 bibit padi lokal turun temurun dari generasi tanpa membeli. Kini, ia harus membeli bibit. Ardianto menggunakan inpari-42 di lahan seluas 2,5 hektar. Satu belek setara 20-30 kg benih.
Akibatnya, hasil jauh dari harapan. Bila dulu bisa mendapat 2-3 ton per hektar, kini hanya 170 kilogram gabah kering atau setara 120 kg beras.
Dikonsumsi sendiri, beras habis dalam waktu empat bulan. Hal serupa terulang pada panen ketiga.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F23%2Fd7cbc98b-0c72-4976-b560-c81c709e9454_jpg.jpg)
Petani di Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, menjajakan sayuran yang mereka tanam sendiri di Pasar Jabiren setiap Jumat (22/9/2023). Beberapa petani memanfaatkan lahan yang sudah dibuka untuk food estate untuk menanam sayuran.
Di panen keempat atau terakhirnya, ia lagi-lagi gigit jari. Kali ini hama wereng jadi masalahnya. Kesulitan mengatasinya, Ardianto bahkan tidak kebagian satu pun bulir padi.
Kerugiannya mencapai Rp 8 juta. Itu belum termasuk menghitung waktu yang hilang saat menanam selama enam bulan.
Ardianto mengaku bahkan tak pernah alami gagal panen saat berladang. “Tapi nanti dimarahin kalau kami membakar (berladang tradisional),” kata Mariana (41), istri Ardianto.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F26%2F97c2603c-c4f7-498f-b95d-27506e085b35_jpg.jpg)
Salah satu contoh ladang khas orang Dayak yang tidak hanya ditanami padi tetapi juga berbagai tanaman lainnya, mulai dar sayur-mayur hingga umbi-umbian.
Ironisnya, saat panen tidak kunjung memberi bahagia, justru tradisi lama menjadi penyelamatnya. Sayur yang masih ditanam di pematang sawah memberi harapan.
Kali ini, Ardianto dan Mariana, membawa daun singkong, cabe rawit, hingga tomat. Ada juga sayur khas Dayak seperti kelakai (Stenochlaena palustris) dan rimbang (Solanum torvum).
“Petani itu harus pandai bersiasat, supaya bisa hidup,” kata Ardianto sembari memasukan sayur ke plastik. Dia masih mencoba tersenyum.
Siasat peladang Dayak
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F14%2F96681c15-540c-44c7-a839-3e2673444f46_jpg.jpg)
Sebelum masuk ke Bukit Lubang Kilat, pengunjung juga bisa melihat ladang-ladang tradisional Dayak Tomun di lokasi wisata ini dan berinteraksi dengan warga setempat, Jumat (9/12/2022).
Peladang Dayak seperti Ardianto memang biasa kreatif mengupayakan kebutuhan pangannya. Selain padi, mereka selalu menanam sayur, buah, hingga kolam ikan, di lahannya.
Di sawah Ardianto yang kali ini hancur akibat wereng, keragaman tanaman pangan terlihat seperti pelangi harapan. Selain cabe rawit, singkong, dan tomat, ada pohon pisang berjejer. Dia juga menanam semangka.
"Sawah adalah pengalaman perdana. Tanpa pendampingan lapangan dan dilakukan sendiri, saya mengandalkan tanaman ini," katanya.
Awalnya, sayuran dan buah-buahan itu hanya dikonsumsi sendiri. Namun, demi asap rumah tangga, dia mulai menjualnya ke ibu kota kecamatan, berjarak hampir lima kilometer dari rumahnya. Sasarannya adalah pasar yang dibuka tiap Selasa dan Jumat.
“Kalau Selasa biasa dapat Rp 200.000. Saat Jumat bisa lebih banyak Rp 400.000 sekali jualan,” katanya.
Baca juga : Dituding Kejahatan Lingkungan, Presiden Akui ”Food Estate” yang Dibangun Ada yang Belum Berhasil
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F23%2F05015ad2-ff19-42e0-beb1-a08648d7001d_jpg.jpg)
Beberapa petani perempuan di Desa Tumbang Nusa menyiapkan lahan untuk menanami sayuran di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, pada Jumat (22/9/2023). Mereka memanfaatkan pekarangan rumah untuk ladang sayur,
Demi meluaskan jaringan, pasangan suami istri itu berinovasi. Mariana yang awalnya berjualan di pasar kini berjualan keliling desa menggunakan motor. Mariana mendapat Rp 120.000-Rp 200.000 sekali jualan.
Hal serupa dilakukan Yuna Wijayanti (35). Dia adalah Ketua Kelompok Wanita Tani Tumbang Nusa Hapakat dari Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau.
Yuna baru beberapa minggu, bersama dua anggota kelompoknya, menyiapkan pekarangan rumah untuk sayur. Di sana ditanam singkong hingga tanaman khas gambut seperti jelutung. Saat ini, panen masih untuk kebutuhan sendiri. Namun, mereka memendam mimpi bisa berwirausaha.
Yunita menjelaskan, kegiatan itu inisiatif sendiri dari kelompok meski mereka memiliki ladang. Beberapa anggotanya bahkan tidak pernah turun bertani meski ada lahan yang harus digarap. Minim pengalaman membuat mereka tidak percaya diri.
Lumbung pangan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F10%2F66a327e9-c916-4bb8-b2b7-350a3cf19e49_jpg.jpg)
Salah satu lokasi penanaman singkong di kawasan food estate di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Kamis (10/11/2022). Kawasan ini sebelum 2019 merupakan kawasan hutan hujan tropis.
Baik Ardianto maupun Yunita merupakan bagian dari kelompok tani penerima manfaat food estate. Di Desa Pilang saja, ada 17 kelompok tani yang terlibat. Anggotanya kurang lebih 200 orang.
Nasib mereka setali tiga uang. Ada yang gagal. Sebagian lainnya tidak menggarap lahan karena keterbatasan akses jalan. Padahal, lahan yang diproyeksikan terbilang sangat luas.
Data Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Food Estate dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, lahan persawahan dengan irigasi mencapai 148.267,88 ha. Sedangkan kawasan tanpa irigasi 622.332,60 ha.

Dengan demikian, total luas lahan sesuai komoditas pertanian di lahan eks PLG, atau lahan sejuta hektar program lumbung pangan serupa di era Soeharto, mencapai 770.800,48 ha. Besaran itu lebih dari 10 kali luas Provinsi DKI Jakarta.
Sejauh ini, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Kalteng menyebut, 16.644 ha lahan sudah dibuka untuk jadi sawah. Kepala Dinas TPHP Kalteng Sunarti juga mengaku sudah mendampingi petani. Pihaknya juga terus berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk persoalan irigasi.
“Masalahnya memang lahannya banyak, tetapi tenaga kerjanya masih kurang,” katanya.
Adaptasi memang mutlak dimiliki petani untuk menghadapi berbagai perubahan. Namun, bila petani harus menanggungnya sendiri dan merugi berulang kali, entah sampai kapan mereka harus menghibur diri. Selamat Hari Tani Nasional untuk petani di seluruh penjuru negeri.
Baca juga : Kritik ”Food Estate” Jangan Sekadar Menjadi Komoditas Politik