Program “Food Estate” Kontradiktif dengan Kondisi Indonesia
Masalah di Indonesia bukan terkait produksi, melainkan distribusi atau keterjangkauan pangan. Upaya untuk mencapai ketahanan pangan harus tetap mengedepankan aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan kemanfaatan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Di hari Kartini, pekerja perempuan di lahan food estate tetap bekerja menanam padi yang sudah disiapkan pemerintah di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, April 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Program lumbung pangan atau food estate yang terus dikembangkan pemerintah sampai saat ini dinilai tidak relevan dengan kondisi Indonesia. Sebab, Indonesia tidak dalam kondisi krisis atau rawan pangan. Upaya untuk mencapai ketahanan pangan pun harus mengedepankan aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan kemanfaatan.
Peneliti sosiologi pertanian-pangan sekaligus pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), Angga Dwiartama, menyampaikan, lumbung pangan merupakan salah satu contoh pertanian skala besar dan banyak dilakukan di seluruh dunia. Namun, agroekologi di negara tersebut akan menjadi sangat rentan ketika sistem pertanian bersifat monokultur dalam skala besar.
”Indonesia memang negara tropis dengan biodiversitas yang tinggi, tetapi juga memiliki banyak keanekaragaman hama dan penyakit. Ketika sistem pertanian dibuat masif, akan timbul ledakan hama dan ini sudah terjadi sejak tahun 1960-an,” ujarnya dalam diskusi media tentang food estate secara daring, Jumat (3/3/2023).
Upaya untuk mencapai ketahanan pangan yang dilakukan negara harus tetap mengedepankan aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan kemanfaatan.
Selama ini, salah satu alasan utama pemerintah mengembangkan program lumbung pangan di sejumlah daerah ialah untuk mengatasi ancaman krisis pangan di Indonesia. Program ini juga bertujuan meningkatkan penyediaan pangan dan mencapai kedaulatan pangan.
Meski demikian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, produksi komoditas utama, seperti beras, sudah melebihi konsumsi masyarakat. Tercatat total konsumsi beras per tahun di Indonesia mencapai 20,8 juta ton. Sementara produksi beras sudah melebihi angka konsumsi, yakni 31,3 juta ton.
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu anggota TNI, Panju Panjung, menggunakan traktor besar untuk membajak sawah di Desa Gadabung, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Oktober 2020. Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas di Kalteng dipilih menjadi lumbung pangan nasional dalam megaproyek food estate di atas lahan bekas pengembangan lahan gambut (PLG).
”Beberapa komoditas memang produksinya cukup rendah, tetapi pemenuhannya masih bisa dikompensasi dengan mekanisme perdagangan internasional. Namun, gambaran besarnya secara nasional kita tidak rawan pangan atau stok pangan kita itu cukup,” katanya.
Dalam konteks daerah, data indeks ketahanan pangan memang menunjukkan bahwa wilayah Indonesia timur masuk dalam kategori rentan. Sementara sebagian besar wilayah di Indonesia barat, seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, masuk kategori sangat tahan.
Menurut Angga, data indeks ketahanan pangan tersebut menunjukkan, masalah di Indonesia bukan terkait produksi, melainkan distribusi atau keterjangkauan pangan. Oleh karena itu, upaya untuk mencapai ketahanan pangan yang dilakukan negara harus tetap mengedepankan aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan kemanfaatan.
Aspek kedaulatan pangan memang telah banyak disinggung dalam kebijakan dan secara sederhana terangkum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Namun, Angga menekankan bahwa kedaulatan pangan merupakan hak negara, termasuk masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan sumber daya lokal.
”Jadi, kedaulatan pangan sebenarnya berbicara tentang bagaimana masyarakat di setiap daerah bisa mengembangkan sistem pangan sesuai sumber dayanya sendiri,” ucapnya.
Namun, Angga menyebut, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan adanya pergeseran konsep kedaulatan pangan di Indonesia. Pergeseran konsep inilah yang akhirnya menjustifikasi negara untuk mengatur sistem pangan dengan program food estate tanpa memperhatikan berbagai kebutuhan masyarakat dalam konteks lokal.
Hilangnya identitas
Pengampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana, mengatakan, pemenuhan pangan dengan sistem monokultur seperti food estate tidak hanya berdampak terhadap lingkungan, tetapi juga sosial masyarakat. Sebab, sistem monokultur ini akan menyingkirkan pangan lokal dan menghilangkan identitas atau budaya masyarakat setempat.
”Kami menggarisbawahi setidaknya terdapat tiga masalah dalam program food estate ini, mulai dari regulasi, ekologi, hingga aktor. Petani tidak diletakan sebagai aktor utama. Sayangnya, pemerintah tidak pernah sukses menyediakan pangan dengan baik,” katanya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Sejumlah aktivis lingkungan dari Greenpeace, Walhi Kalteng, Save Our Borneo (SOB), dan LBH Kota Palangkaraya membentangkan spanduk berukuran 35 meter x 15 meter di tengah lokasi food estate singkong di Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Kamis (10/11/2022).
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Pertanian beberapa waktu lalu menampik anggapan terkait kegagalan program food estate, khususnya di Kalimantan Tengah. Menurut dia, program food estate di Indonesia adalah salah satu antisipasi yang berkaitan dengan alih fungsi lahan.
Dalam pengembangan food estate di Kalteng, pada 2020 Kementan mulai melakukan intensifikasi lahan seluas 30.000 hektar. Kemudian pada 2021, luas food estate meningkat menjadi 60.778 hektar dan kembali naik seluas 62.455 hektar pada 2022.
”Seluas 60.000 hektar (lahan food estate) telah berjalan. Biasanya (produktivitas) tidak sampai 2 ton per hektar, tetapi sekarang mencapai mendekati rata-rata 4 ton per hektar. Kami mengalihkan program ini ke Temanggung dan Wonosobo (Jawa Tengah),” katanya.