Cegah Kartu Merah, Pengelola Geopark Kaldera Toba Direorganisasi
Menyusul kartu kuning dari UNESCO, Pemprov Sumut segera melakukan reorganisasi badan pengelola yang mengurus Geopark Kaldera Toba. Tugas berat mempertahankan Kaldera Toba sebagai anggota UNESCO menanti.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Menyusul peringatan dari UNESCO, Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba bakal direorganisasi. Lembaga itu memiliki tugas berat mempertahankan Kaldera Toba sebagai anggota UNESCO Global Geopark dengan tenggat waktu dua tahun.
”Badan pengelola harus diisi orang kapabel menjalankan kepengurusan,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Sumut Zumri Sulthony, Kamis (21/9/2023).
Selain sebagai Kepala Disbudpar Sumut, Zumri menjadi Ketua Umum (ex officio) Badan Pengelola Toba Caldera UNESCO Global Geopark (BP TCUGGp). Organisasi tersebut merupakan badan yang dibentuk Gubernur Sumut untuk mengurus Geopark Kaldera Toba.
Sebelumnya, Dewan Eksekutif UNESCO memberikan kartu kuning kepada Geopark Kaldera Toba. Hal itu dijatuhkan setelah tim asesor berkunjung ke Kaldera Toba, 31 Juli-4 Agustus.
Kartu kuning membatasi periode pembaruan dua tahun. Jika dalam dua tahun tidak ada perbaikan, UNESCO akan memberikan kartu merah. Artinya, Kaldera Toba akan dicabut keanggotaannya dari UNESCO Global Geopark (UGGp).
Geopark Kaldera Toba menjadi anggota UGGp melalui sidang ke-209 Dewan Eksekutif UNESCO di Paris, 7 Juli 2020. Keanggotaan itu seharusnya mendorong pembangunan mencakup pemberdayaan masyarakat lokal, edukasi, dan konservasi. Pembangunannya berbasis unsur geologi, keanekaragaman hayati, dan kebudayaan.
Zumri menyebut, reorganisasi akan segera dilakukan untuk meningkatkan kembali peran badan pengelola untuk mendorong pembangunan kawasan berbasis geopark. Badan pengelola ini fungsinya sentral, termasuk mengurus 16 geosite, bagian dari Geopark Kaldera Toba.
Zumri juga mengingatkan, pembangunan berbasis geopark tidak hanya berfokus di badan pengelola. Pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal justru diutamakan dalam pembangunan ini dan menjadi perhatian UNESCO.
Karena itu, perbaikan harus dilakukan semua pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya masyarakat dan pemerintah tujuh kabupaten di Kaldera Toba.
Ketua Jendela Toba Mangaliat Simarmata, salah satu organisasi penggagas Geopark Kaldera Toba, mengingatkan, Kaldera Toba menempuh perjalanan dan upaya panjang sejak 2009 hingga akhirnya diterima menjadi anggota UGGp pada 2020. Beberapa kali Dewan Eksekutif UNESCO menolak Kaldera Toba sebagai anggota jejaring hingga dilakukan perbaikan-perbaikan.
”Sejumlah organisasi pemerhati dan pemerintah memperjuangkan keanggotaan UGGp karena hanya pembangunan berbasis geopark yang bisa menyelamatkan Danau Toba dari tekanan lingkungan yang besar,” kata Mangaliat.
Mangaliat menyebut, kawasan Danau Toba mengalami kerusakan hutan di daerah tangkapan air hingga pencemaran perairan di danaunya.
Sungai yang bermuara ke Danau Toba mengering saat musim kemarau dan banjir bandang saat musim hujan. Tinggi muka air danau terus menurun.
Dengan kondisi ini, pembangunan berbasis geopark yang mengedepankan konservasi, keanekaragaman hayati, dan kekayaan geologi menjadi jawaban. Pemerintah seharusnya mengedepankan konsep pembangunan berbasis geopark karena menyangkut nama baik Indonesia di mata dunia. Namun, tiga tahun keanggotaan UGGp tidak membawa dampak signifikan dalam pembangunan kawasan.
Mangaliat mengatakan, pengurus badan pengelola seharusnya diisi orang-orang yang mengerti konsep pembangunan berbasis geopark. Kenyataannya, badan ini diduduki pensiunan aparatur sipil negara dan para pejabat.
Bahkan, tiga tahun kepengurusan, organisasi ini vakum. Puncaknya, Ketua Harian BP TCUGGp ditahan Kejaksaan Tinggi Sumut karena kasus korupsi saat menjadi Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Toba.
Langkah konkret yang harus segara dilakukan, kata Mangaliat, adalah menyusun ulang kepengurusan badan pengelola. Badan ini harus segera melaksanakan rekomendasi UNESCO, antara lain, dengan mendorong ekonomi berbasis masyarakat lokal. Ini bisa dilakukan dengan membentuk komunitas pariwisata geologi, keanekaragaman hayati, dan keragaman budaya di 16 geosite.
Alimin Ginting, penggagas Geopark Kaldera Toba, mengatakan, pembangunan berbasis geopark jalan di tempat. ”Pengurus hanya hanyut dalam narasi keajaiban geologi Kaldera Toba, tetapi tidak punya konsep dan langkah konkret pemanfaatannya untuk pembangunan kawasan,” kata Alimin, pakar geologi dan energi, yang menjadi Ketua Umum Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba pertama.