Warga Kukuh Menolak Direlokasi dari Pulau Rempang
Masyarakat menolak direlokasi karena ikatan kuat pada kampungnya. Apalagi warga tak percaya dengan janji pejabat pemerintah dan politisi yang kini mendekati akhir masa jabatan.
BATAM, KOMPAS — Masyarakat berkukuh menolak direlokasi dari tempat tinggal mereka di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau,. Mereka tak percaya janji-janji pejabat dan politisi, apalagi masa jabatan akan segera berakhir.
Arahim (52), warga Kampung Pasir Panjang, Kelurahan Rempang Cate, mengatakan dirinya dan keluarga akan tetap bertahan di kampung yang direncanakan terdampak relokasi tahap awal. Lokasinya masuk dalam 4 kampung prioritas relokasi. Ia bertekad tak mau direlokasikan.
”Ini tempat kelahiran kami sejak dari datuk dan nenek kami. Di sini kampung dan sejarah kami. Tak mau kami dipindah. Apa pun yang terjadi, kami akan mempertaruhkan nyawa,” kata pria yang bekerja sebagai nelayan, Selasa (19/9/2023).
Baca Juga: Warga Pulau Rempang Minta Aparat Ditarik
Arahim tak tertarik dengan janji-janji pemerintah mengganti rumah dan lahan di Pulau Galang serta kompensasi uang tunggu dan biaya sewa rumah. Ia lebih nyaman tinggal di kampungnya.
”Biar pun rumah kami bentuk gubuk begini, kami tak mau dipindah. Biarpun kadang ikan tak dapat, kami bisa makan enak dan tidur nyenyak,” ujarnya.
Arahim menegaskan warga setempat tidak hendak menghambat pembangunan. Ia mempersilakan investasi masuk asalkan tidak mengusik kampungnya.
Suhaida (42), warga Kampung Sembulang, Kelurahan Sembulang, juga menolak relokasi. Alasannya, keluarganya miliki ikatan kuat atas kampung yang telah mereka tempati sejak zaman leluhur. ”Datuk-nenek moyang kami yang membuka kampung ini. Kami tak mau pindah ke tempat baru,” katanya.
Menurut Suhaida, selain soal sejarah dan identitas, alasan lain ia tak mau dipindah juga sama dengan Arahim. Mereka tak percaya dengan janji-janji pemerintah dan politisi.
Surat perjanjian yang dikasih ke warga hanya bertanda tangan camat dan lurah. Rumah dan lahan yang dijanjikan sebagai ganti rugi investasi proyek strategis nasional (PSN) itu juga tak jelas bentuknya.
”Masa jabatan wali kota tinggal 2 bulan. Saat sudah tidak lagi jadi wali kota, kepada siapa kami menuntut kalau janji tak ditepati? Nanti tak dapat apa-apa lagi. Yang dijanjikan itu hutan, sekarang pemerintah baru buka jalan,” katanya.
Baca Juga: Sosialisasi Diintensifkan, Warga Pulau Rempang Enggan Mendaftar Relokasi
Pantauan di kampung tua terdampak seperti Pasir Panjang dan Sembulang, Selasa siang, penolakan warga terhadap rencana relokasi semakin menguat. Warga terdampak juga semakin resah dan waswas terhadap orang tak dikenal yang masuk ke kampung, termasuk jurnalis, karena dicurigai sebagai bagian dari pemerintah.
”Apa yang ditayangkan, kadang tak sesuai yang kami sampaikan saat wawancara,” kata Roziana, warga Kampung Sembulang.
Warga juga hampir putus asa karena aparat pemerintah seolah tak pedulikan aspirasi mereka. Saat bertemu dengan Menteri Bahlil pada Senin kemarin, warga tak diberi kesempatan berbicara.
Agar tidak stres dan bermenung sendirian di dalam rumah, warga terdampak, terutama perempuan, berkumpul dan saling menghibur. ”Dengan ini, kami bisa saling menguatkan,” ujar Roziana.
Tak mau kami dipindah. Apa pun yang terjadi, kami akan pertaruhkan nyawa.
Kondisi berbalik didapati pada organisasi paguyuban Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat), yang sebelumnya lantang menolak relokasi 16 kampung tua di Pulau Rempang, mulai berubah sikap. Sejak ditemui Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia pada 17-18 September kemarin, organisasi mulai mendukung PSN.
Juru Bicara Keramat Suardi menyosialisasikan soal investasi Rempang Eco City tersebut kepada 20-an warga di Kampung Pasir Panjang, Selasa siang. Umumnya warga yang hadir dalam sosialisasi menolak kebijakan relokasi terhadap kampung mereka.
”Jika memang masyarakat berkeras mempertahankan harkat, derajat, martabat, dan marwahnya, kami selaku penerima amanah dari kesepakatan (dengan Menteri Bahlil) semalam, Keramat akan menyampaikan langsung ke Pak Bahlil,” katanya.
Suardi menjelaskan, selama 8 bulan terakhir, organisasinya sudah berjuang agar 16 kampung tua di Pulau Rempang tidak direlokasi. Walakin, Keramat tak dapat menyelamatkan 4 kampung tua yang terdampak investasi tahap awal.
”Kami minta maaf betul. Kami tidak mempertahankan itu. Hasil perjuangan kami, warga digeser ke Tanjung Banon dan Dapur 6 (Pulau Rempang). Sifatnya belum final. Finalnya nanti setelah saya bertemu dengan deputi Kementerian Investasi,” ujarnya.
Baca Juga: Menteri Investasi Pertimbangkan Usulan Tempat Relokasi Tetap di Pulau Rempang
Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menemui tokoh-tokoh Keramat di kediaman, Gerisman Ahmad, ketua organisasi itu, di Kampung Pantai Melayu, Kelurahan Rempang Cate, Minggu (17/9/2023) malam. Kedua belah pihak berdialog dan menyepakati beberapa hal. Hasil kesepakatan disampaikan ke warga sehari kemudian.
Salah satu kesepakatannya, Bahlil mempertimbangkan usulan Keramat agar tempat relokasi 4 kampung tua terdampak investasi tetap berada di Pulau Keramat. Kemudian, kuburan para leluhur tidak akan dibongkar dan warga bebas berziarah kapan pun. Ia juga berjanji membuat museum untuk mengingat sejarah kampung tua terdampak investasi.
“Kami sepakat bahwa pergeseran-pergeseran (relokasi) itu masih dalam wilayah Pulau Rempang. Saya sampaikan kepada Gerisman dan Suardi (juru bicara Keramat), kalau ini memang kita lakukan untuk kebaikan dan masih dalam perkampungan Rempang, selama tidak mengganggu master plan (rencana induk investasi) yang ada sekarang, maka akan kita bahas bersama-sama,” kata Bahlil, Senin (18/9/2023).
Dalam kesempatan itu, Bahlil kembali menyampaikan bentuk ganti rugi bagi warga terdampak relokasi. Bentuknya, antara lain, rumah tipe 45 seharga Rp 120 juta, lahan seluas 500 meter persegi dengan status sertifikat hak milik. Jika aset yang dimiliki warga lebih dari nilai ganti rugi tersebut, Badan Pengusahaan (BP) Batam akan membayar kelebihannya.
Selain itu, kata Bahlil, warga juga diberi uang tunggu transisi sampai rumah jadi, yaitu Rp 1,2 juta per orang per bulan dan Rp 1,2 juta untuk sewa rumah per kepala keluarga.
Baca Juga: Pemerintah Janji Penuhi Hak Warga di Pulau Rempang
Kronologi Konflik agraria di Pulau Rempang bermula ketika BP Batam berencana merelokasi seluruh penduduk pulau tersebut yang berjumlah sekitar 7.500 jiwa untuk mendukung pengembangan proyek Rempang Eco City (Kompas, 9/9/2023).
Upaya ini ditentang warga pulau yang merupakan warga asli. Warga asli terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat. Mereka menempati 16 kampung tua di Pulau Rempang setidaknya sejak tahun 1834. Untuk tahap pertama proyek Rempang Eco City, pemerintah akan merelokasi warga di 4 dari 16 kampung di Pulau Rempang.
Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam Muhammad Rudi mengatakan, sedikitnya ada 700 keluarga bermukim di empat kampung seluas 2.000 hektar itu. Tiga kampung harus direlokasi karena akan dibangun industri kaca investasi asal China. Satu kampung lainnya juga harus direlokasi agar bisa dibangun menara ikon Rempang Eco City.
Rudi menyebut, pemerintah akan siapkan lahan seluas 450 hektar di Pulau Galang untuk relokasi warga Pulau Rempang. Sebanyak 2.700 rumah tipe 45 akan dibangun. Setiap rumah berdiri di atas lahan 500 meter persegi.
Selain perumahan, pemerintah juga akan menyiapkan instalasi air pipa, listrik, jalan, telekomunikasi, dermaga nelayan, dan pelabuhan bongkar muat. Khusus keluarga nelayan juga akan mendapat bantuan alat tangkap.