Pemerintah Janji Penuhi Hak Warga di Pulau Rempang
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia berjanji akan memenuhi hak-hak warga Pulau Rempang yang terdampak relokasi dari investasi di pulau tersebut. Nilai ganti rugi juga disesuaikan dengan nilai aset warga.
Oleh
YOLA SASTRA
·6 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, didampingi Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto (kiri), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (tiga dari kanan), Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto (dua dari kiri), Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad (dua dari kanan), dan Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam sekaligus Wali Kota Batam Muhammad Rudi (kanan) menjelaskan hasil rapat teknis di Kota Batam, Kepri, Minggu (17/9/2023), terkait kondisi Pulau Rempang yang akhir-akhir ini memanas.
BATAM, KOMPAS — Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia berjanji akan memenuhi hak-hak warga Pulau Rempang yang terdampak relokasi dari investasi. Proses penanganan gejolak penolakan warga atas relokasi itu juga dijanjikan akan dilakukan secara lembut dan baik.
Hal tersebut disampaikan Bahlil seusai memimpin rapat teknis di Kota Batam, Kepulauan Riau, Minggu (17/9/2023), terkait kondisi Pulau Rempang yang akhir-akhir ini memanas. Rapat itu juga diikuti Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/Kepala BPN) Hadi Tjahjanto serta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Selain itu, rapat juga dihadiri Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto, Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Ansar Ahmad, dan Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam sekaligus Wali Kota Batam Muhammad Rudi.
Bahlil menyebutkan, proses penanganan konflik di Pulau Rempang harus dilakukan dengan soft dan baik. Selain itu, penanganannya mesti tetap memberikan penghargaan kepada masyarakat yang sudah turun-temurun tinggal di sana. Pihak pemerintah pun harus melakukan komunikasi dengan baik.
Dia meminta warga yakin jika investasi dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. Investasi bakal menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan. Warga yang akan direlokasi juga akan diberikan hak-haknya.
”Pertama, ada tanah 500 meter langsung alas hak. Kedua, rumah tipe 45 seharga Rp 120 juta. Ketiga, uang tunggu transisi sampai rumah jadi, per kepala Rp 1,2 juta dan Rp 1,2 juta untuk sewa rumah per kepala keluarga,” ujar Bahlil.
Kemudian, bagi warga terdampak yang punya alas hak dan nilai bangunannya lebih tinggi dari rumah yang dijanjikan, Bahlil mengatakan, Kantor Jasa Penilai Publik akan melihatnya. Selisih harganya akan diselesaikan BP Batam.
Selain itu, tanaman, keramba, sampan, dan aset lainnya milik masyarakat terdampak, akan dihargai secara proporsional sesuai mekanisme dan dasar perhitungan.
Menurut Bahlil, total area Pulau Rempang sekitar 17.000 hektar. Dari jumlah itu, sekitar 10.000 hektar kawasan itu berstatus hutan lindung.
Jadi, areal yang bisa dikelola hanya 7.000-8.000 hektar. Adapun untuk investasi tahap pertama, lahan yang harus diklirkan 2.000-2.500 hektar. Jumlah warga yang terdampak untuk tahap awal lebih kurang 700 keluarga.
Bahlil melanjutkan, rumah dan lahan yang dijanjikan tersebut akan diselesaikan paling lama 6-7 bulan untuk warga yang terdampak investasi tahap awal.
Warga diminta tidak ragu. Alasannya, pada masa itu kepala BP Batam, gubernur Kepri, serta tiga menteri yang hadir masih menjabat. Jika pun pejabat berganti, janji tersebut tetap akan dilaksanakan.
”Orangnya boleh berganti, pemerintahan jalan terus. Kalau sudah jadi keputusan, landasan hukum sudah kuat, tidak perlu ada keraguan (atas janji) itu. Terkait permintaan 16 kampung tua (di Pulau Rempang tidak direlokasi dan) berdampingan dengan investasi, nanti kami bicarakan lagi,” katanya.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Polisi menyemprot air untuk membubarkan massa yang sebelumnya melakukan demonstrasi di depan Kantor Badan Pengusahaan Batam, Kepulauan Riau, Senin (11/9/2023).
Selanjutnya, terkait target pengosongan empat kampung tua di Pulau Rempang yang terdampak investasi tahap awal yang tenggatnya ditetapkan 28 September 2023, Bahlil menyebut, pemerintah akan melihat perkembangan dan sedang dibicarakan. Ia menyebut, yang terpenting bukan tanggalnya, melainkan cara-cara komunikasi yang baik.
Terkait relokasi warga yang terkesan buru-buru, bahkan rumah dan lahannya pengganti tuntas, Bahlil mengatakan, Indonesia harus berkompentisi dengan negara lain. Investasi asing langsung (foreign direct investment) di Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara tetangga. Investor belum tentu mau menunggu terlalu lama.
”Ini bukan dana APBN. Ini anggarannya tidak sedikit. Investasi ini totalnya Rp 300 triliun lebih. Tahap pertama sekitar Rp 175 triliun. Jika tahun ini lepas, itu berarti potensi pendapatan asli daerah dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk saudara-saudara kita di sini akan kehilangan peluang,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto mengatakan, sudah menyiapkan tempat di daerah Dapur 3 Sijantung di Pulau Galang untuk 16 kampung tua terdampak relokasi investasi Rempang Eco City. Total luasnya sekitar 500 hektar.
”Untuk HPL (hak pengelolaan), tinggal menyerahkan saja. Kami sudah sampaikan ke wali kota sekaligus Kepala BP Batam agar lokasi yang nanti diberikan kepada warga untuk 16 titik lokasi untuk Pulau Rempang itu dari ATR BPN ingin langsung menyerahkan sertifikat,” katanya.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Nelayan bersiap melaut di Pantai Melayu, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (11/5/2023). Pemerintah menyerahkan pengelolaan pulau seluas 16.583 hektar kepada PT Makmur Elok Graha.
Hadi melanjutkan, ketika subyek di 16 titik kampung tua itu sudah diinventarisasi dan diidentifikasi, kementerian ingin langsung menyerahkan sertifikat sembari melakukan proses pembangunan dan diawasi oleh pemilik. Hadi juga sudah menyampaikan agar sertifikat itu disamakan dengan sertifikat 37 kampung tua lainnya di Kepri yang berstatus sertifikat hak milik (SHM) yang tidak boleh dijual.
”Untuk yang direlokasi ini nantinya juga kami minta supaya diberikan sertifikat hak milik atau SHM untuk masyarakat yang sudah diverifikasi dan diidentifikasi. Total lahan seluas 500 hektar dan masing-masing (keluarga) mendapat 500 meter. Sertifikat akan langsung kami berikan kepada orang yang bersangkutan,” ujar Hadi.
Kronologi
Konflik agraria di Pulau Rempang bermula ketika BP Batam berencana merelokasi seluruh penduduk pulau, berjumlah lebih kurang 7.500 jiwa, untuk mendukung pengembangan proyek Rempang Eco City (Kompas, 9/9).
Upaya ini ditentang masyarakat pulau yang merupakan warga asli. Warga asli terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat.
Mereka menempati 16 kampung tua di Pulau Rempang setidaknya sejak tahun 1834. Untuk tahap pertama proyek Rempang Eco City, pemerintah akan merelokasi warga di empat dari 16 kampung di Pulau Rempang.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Warga membopong seorang siswa SMPN 22 Galang yang kesakitan akibat terkena gas air mata akibat bentrok aparat dan warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023).
Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam Muhammad Rudi, Selasa (12/9/2023), mengatakan, sedikitnya 700 keluarga yang bermukim di empat kampung yang luasnya 2.000 hektar itu. Tiga kampung harus direlokasi karena lahannya akan digunakan untuk mendirikan industri kaca, investasi dari China. Adapun lahan satu kampung lain akan digunakan untuk pendirian menara ikon Rempang Eco City.
Adapun warga terdampak bersikukuh tidak mau direlokasi. Warga sudah hidup di kampung-kampung tua tersebut secara turun-temurun.
Selain itu, warga juga sangsi karena rumah dan lahan ganti rugi yang dijanjikan belum ada fisiknya dan tidak jelas rupanya. Apalagi sebentar lagi masa jabatan pemerintah segera berakhir.
”Nenek moyang kami sudah ada di Kampung Pantai Melayu. Ini kampung halaman kami. BP Batam belum ada, kami sudah ada di sini. Tolong penuhi hak-hak kami. Kami sudah bertahun-tahun mengurus sertifikat, tetapi tidak pernah diberikan. Jangan perlakukan kami seperti ini,” kata Saria (68), warga Kampung Pantai Melayu, satu dari 16 kampung tua di Pulau Rempang, Sabtu (17/9/2023).
KOMPAS/YOLA SASTRA
Rombongan Komnas HAM (atas tengah) mendengarkan aspirasi warga terkait konflik agraria dan bentrokan warga di Jembatan Barelang IV dengan aparat pada 7 September lalu, Kampung Pantai Melayu, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Kota Batam, Sabtu (16/9/2023). Warga tetap menolak relokasi dan menuntut pembebasan warga yang ditahan serta menuntut aparat ditarik dari Pulau Rempang.
Sementara itu, Amin, warga Kampung Sembulang Hulu, Kamis (14/9/2023), mengatakan tidak mau mendaftar relokasi karena tidak mau meninggalkan kampung halamannya. Dia juga menilai rumah dan lahan yang dijanjikan sebagai tempat relokasi itu tidak jelas karena belum ada bangunan fisiknya.
”Ternak ayam saja kalau kita tidak bikin kandang mana bisa pindah, apalagi manusia. Kasih rumah, kan, tampak. Ini bentuk rumahnya saja belum ada. Mau pindah ke mana kita?” kata Amin.
Hal senada dikatakan Mustafa (80), warga Kampung Sembulang Hulu. Dia menyebut masyarakat sebenarnya tidak menolak investasi. Namun, semestinya investasi tidak menyingkirkan masyarakat adat yang sudah menempati Pulau Rempang sejak ratusan tahun.
Menurut Mustafa, investasi dan permukiman masyarakat kampung tua bisa berdampingan. Pemerintah dan investor dipersilakan membangun, asalkan tidak mengusik perkampungan yang sudah ada.
”Ibarat pepatah, tariklah rambut di dalam tepung. Tepung jangan berserak, rambut jangan putus,” katanya, Kamis (14/9/2023).