Apresiasi dan Tantangan di Balik Pengakuan Sumbu Filosofi Yogyakarta
Penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia menghadirkan apresiasi sekaligus tantangan. Penetapan itu juga diharapkan ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
Tepuk tangan menggema di ruang Sidang Ke-45 World Heritage Committee atau Komite Warisan Dunia di Riyadh, Arab Saudi, Senin (18/9/2023). Sesaat sebelumnya, Chairperson World Heritage Committee, Abdulelah Al-Tokhais, mengetuk palu sebagai tanda penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta menjadi warisan budaya dunia yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO.
Di dalam daftar warisan dunia UNESCO, Sumbu Filosofi Yogyakarta tercatat dengan nama The Cosmological Axis of Yogyakarta and its Historic Landmarks. ”Selamat untuk Indonesia,” kata Al-Tokhais seusai mengetuk palu, seperti terlihat dalam video dokumentasi yang diunggah di akun Youtube Humas Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta itu disambut gembira delegasi Indonesia yang dipimpin Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi Abdul Aziz Ahmad. Dalam sidang itu, turut hadir Wakil Gubernur DIY Paku Alam X, Sekretaris Daerah DIY Beny Suharsono, Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Lakshmi Pratiwi, serta Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DIY Agus Priono.
Sumbu Filosofi Yogyakarta merupakan konsep tata ruang yang dibuat oleh raja pertama Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono I pada abad ke-18. Konsep tata ruang itu dibuat berdasarkan konsepsi Jawa dan berbentuk struktur jalan lurus yang membentang antara Panggung Krapyak di sebelah selatan, Keraton Yogyakarta di tengah, dan Tugu Yogyakarta di utara.
Sumbu Filosofi Yogyakarta beserta beberapa kawasan di sekitarnya merupakan perwujudan falsafah Jawa tentang keberadaan manusia. Beberapa falsafah itu, antara lain, terkait daur hidup manusia (sangkan paraning dumadi), kehidupan harmonis antarmanusia serta antara manusia dan alam (hamemayu hayuning bawana), hubungan manusia dengan Sang Pencipta serta pemimpin dengan rakyatnya (manunggaling kawula gusti), serta dunia mikrokosmik dan makrokosmik.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, persiapan pengusulan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia dilakukan selama hampir tiga tahun. Sultan pun mengucapkan terima kasih kepada pemerintah pusat, akademisi, dan pihak-pihak lain yang telah membantu hingga akhirnya Sumbu Filosofi Yogyakarta ditetapkan menjadi warisan budaya dunia.
Sultan menambahkan, setelah penetapan itu, Pemda DIY siap menjalankan rekomendasi dari UNESCO untuk menjaga kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta. Meski begitu, bukan berarti nantinya tidak boleh ada pendirian bangunan baru di kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta.
”Hanya masalahnya, bagaimana bangunan yang sudah ada dan dianggap bagian dari filosofi itu harus dijaga. Jadi, membangun boleh, hanya nanti ada batas-batas,” kata Sultan, Selasa (19/9/2023), di Yogyakarta.
Di sisi lain, proses revitalisasi bangunan yang dinilai penting di kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta juga akan dilakukan. Menurut Sultan, salah satu hal yang harus dijalankan sesudah penetapan itu adalah revitalisasi bangunan beteng atau benteng di sekitar Keraton Yogyakarta. Saat ini, proses revitalisasi itu sudah mulai berlangsung.
”Misalnya catatan yang sudah pasti disampaikan pada kami adalah beteng harus dikembalikan. Kami sudah mulai membangun kembali,” ujar Sultan.
Dampak ke masyarakat
Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana mengatakan, penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia diharapkan bisa meningkatkan kunjungan wisatawan ke Yogyakarta. Dengan demikian, penetapan itu juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta.
”Saya yakin, imbas ekonominya, imbas pariwisatanya, dan imbasnya bagi kesejahteraan masyarakat Yogyakarta akan sangat besar. Tidak hanya penetapan, tapi dampaknya diharapkan Yogyakarta menjadi destinasi wisata dari masyarakat seluruh dunia,” ujar Huda.
Guru Besar Perencanaan Kota Universitas Gadjah Mada Bakti Setiawan memaparkan, penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia menunjukkan apresiasi UNESCO terhadap filosofi dasar pembangunan Kota Yogyakarta yang disusun oleh Sultan HB I. ”Ini menunjukkan, kita pernah punya perencana kota yang memang diakui,” ujarnya.
Namun, penetapan itu juga menghadirkan tantangan untuk mengelola dan menjaga kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta. Bakti menyebut, dalam proses penetapan itu UNESCO juga mempertimbangkan rencana pengelolaan kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta yang telah disusun. Oleh karena itu, untuk mempertahankan status warisan dunia, rencana pengelolaan tersebut harus benar-benar diwujudkan.
Bakti menambahkan, kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta dan sekitarnya merupakan area yang terus tumbuh dan berkembang. Untuk menjaga warisan budaya dunia tersebut, proses pertumbuhan itu mesti dikendalikan sehingga bangunan dan area yang menjadi bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta tetap dapat dipertahankan.
Hanya masalahnya, bagaimana bangunan yang sudah ada dan dianggap bagian dari filosofi itu harus dijaga.
Di sisi lain, Bakti mengingatkan, kampung-kampung di kawasan Jeron Beteng atau sekitar Keraton Yogyakarta juga merupakan bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta. Keberadaan kampung-kampung di sekitar keraton itu menjadi perwujudan falsafah manunggaling kawula gusti. Oleh karena itu, keberadaan kampung-kampung tersebut mesti dipertahankan.
”Eksistensi kampung itu penting. Kalau kampungnya hilang, tidak lagi mencerminkan manunggaling kawula gusti,” ungkap Bakti.
Dengan demikian, upaya revitalisasi dan penataan kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta ke depan diharapkan tidak meminggirkan masyarakat, termasuk yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Apalagi, sejatinya Sumbu Filosofi Yogyakarta bukan hanya milik penguasa, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat.