Solidaritas Masyarakat Melayu Sumatera Utara untuk Pulau Rempang
Masyarakat Melayu Sumut menyampaikan solidaritas atas konflik di Pulau Rempang. Mereka mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat yang menolak direlokasi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Masyarakat adat dari berbagai komunitas Melayu di Sumatera Utara berunjuk rasa menyampaikan solidaritas atas konflik yang dihadapi masyarakat Melayu di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Mereka mengecam tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan aparat terhadap masyarakat yang menolak direlokasi dari Pulau Rempang.
Ribuan masyarakat adat Melayu dari sejumlah daerah berkumpul di depan Taman Makam Pahlawan Bukit Barisan, Medan, Jumat (15/9/2023). Mereka menyampaikan aspirasi dengan berorasi, membentangkan poster dan spanduk. Beberapa juga mengenakan pakaian adat Melayu sebagai bentuk solidaritas kepada masyarakat adat Melayu di Pulau Rempang.
”Kami meminta kepada Bapak Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melindungi hak-hak tanah adat masyarakat Melayu di Pulau Rempang,” ujar Tuanku Raja Metar Bilad Deli Tengku M Fauzi.
Fauzi mengatakan, masyarakat Melayu dari sejumlah daerah di Sumut merasakan kepedihan yang mendalam atas konflik yang dihadapi masyarakat Melayu di Pulau Rempang. Karena itu, aksi unjuk rasa tersebut dihadiri masyarakat Melayu dari sejumlah daerah di Sumut, mulai dari Melayu Deli, Langkat, hingga Kesultanan Bilah di Labuhanbatu, yang menempuh perjalanan sembilan jam untuk aksi unjuk rasa di Medan.
Fauzi mengatakan, negara melalui pemerintah seharusnya mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945. Di Pulau Rempang, ada 16 Kampung Tua atau masyarakat adat Melayu Tua yang sudah hidup turun-temurun di pulau itu.
Raja Urung Sukapiring Datuk Zulkifli menyebutkan, pihaknya menyesalkan sikap pemerintah yang mengerahkan aparat secara berlebihan untuk menangani konflik di Pulau Rempang. Akibatnya, tindakan kekerasan terhadap warga yang mempertahankan Pulau Rempang tidak terhindarkan pada Kamis (7/9/2023). ”Ini adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia,” ucap Zulkifli.
Kami meminta kepada Bapak Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melindungi hak-hak tanah adat masyarakat Melayu di Pulau Rempang.
Ketua Majelis Tuah Melayu Bilah dan Panai Mizwar Tanjung mengatakan, dirinya bersama puluhan masyarakat Melayu dari Labuhanbatu ikut unjuk rasa di Kota Medan karena merasakan sakit yang dialami oleh masyarakat adat Melayu di Rempang.
”Hal yang paling menyakitkan bagi masyarakat adat adalah diusir dari tanah adatnya. Kami tidak mengerti, bagaimana mungkin satu pulau yang sudah dihuni masyarakat adat secara turun-temurun harus dikosongkan dengan alasan investasi,” tutur Mizwar.
Mizwar mengatakan, mereka menempuh perjalanan selama sembilan jam dari Labuhanbatu ke Medan agar bisa ikut aksi solidaritas itu. Menurut dia, saat ini banyak masyarakat adat Melayu dan masyarakat adat dari komunitas lain menghadapi ancaman diusir dari tanah ulayatnya. Sebagian besar mempunyai pola yang sama, yakni demi kepentingan investasi.
Mizwar mendorong agar pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan kepolisian melakukan pendekatan yang humanis dalam menyelesaikan konflik agraria di Pulau Rempang. Dia juga mendorong agar pemerintah melakukan pemulihan psikis terhadap masyarakat, khususnya anak-anak, yang trauma akibat bentrok.
”Kami juga meminta agar Kepolisian Derah Riau dan Polrestabes Barelang membebaskan masyarakat yang ditangkap dan ditahan akibat bentrok di Pulau Rempang,” katanya.