Solidaritas Masyarakat Melayu Jambi untuk Pulau Rempang
Masyarakat Adat Melayu Jambi desak pemerintah kedepankan nilai kearifan lokal dalam menjalankan pembangunan di Pulau Rempang. Kekerasan dan intimidasi apa pun agar dihentikan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·2 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Masyarakat adat melayu di Jambi sampaikan rasa solidaritas atas konflik yang dialami masyarakat melayu di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Masyarakat menolak segala bentuk kekerasan dan pemaksaan dalam rencana pembangunan di pulau itu.
”Sakit satu, sakit semua. Kami masyarakat di Jambi turut merasakan duka yang dialami masyarakat melaui di Rempang,” ujar Kemas, Ketua Serambi Bersatu, dalam aksi di Simpang Tugu Keris Kota Jambi, Jumat (15/9/2023).
Massa memulai aksi sekitar pukul 14.00. Sebagian besar pendemo berpakaian adat Melayu. Mereka turun ke jalan seusai shalat Jumat.
Sakit satu, sakit semua. Kami masyarakat di Jambi turut merasakan duka yang dialami masyarakat melaui di Rempang.
Selain berorasi, mereka juga menyajikan sejumlah peragaan pencak silat dan bela diri lainnya. Atraksi itu dibawakan dari perwakilan pemain silat dari Kota Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dan wilayah sekitarnya.
Koordinator aksi, Wawan Tahir, mengatakan, aksi itu sebagai sikap Masyarakat Adat Melayu dan belasan organisasi lainnya di Jambi. Mereka sampaikan sikap mendukung sepenuhnya pada pemerintah untuk mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal dalam menjalankan pembangunan. Pemerintah dan aparat didesak untuk memberi kesempatan bagi masyarakat lokal menyampaikan aspirasinya.
Massa juga meminta Presiden meninjau ulang dan mengkaji terlebih dahulu keberadaan 16 Kampung Tua di Rempang dan Galang. Perihal relokasi juga perlu diteliti kembali. ”Jangan sampai merugikan masyarakat adat di Pulau Rempang dan Galang,” katanya.
Selain itu, massa menuntut pelepasan warga lokal yang ditahan terkait insiden bentrok pekan lalu. ”Kami menolak keras tindakan represif dan kekerasan,” katanya.
Wawan menambahkan, pemerintah agar membangun kembali dialog dan membuat kesepakatan dengan masyarakat Melayu di kedua pulau.
Sebelumnya, dosen Program Doktor dan Magister Geomatika Universitas Gadjah Mada, Tjahjo Arianto, menilai warga asli Kampung Tua di Pulau Rempang semestinya tidak perlu direlokasi. Justru keberadaan mereka dapat dipertahankan sebagai nilai lebih dari rencana pengembangan pariwisata di Pulau Rempang.
Saat ini tak banyak daerah memiliki potensi budaya dan sejarah untuk memperkuat wisatanya. ”Selayaknya tetap dipertahankan,” tuturnya.
Kalaupun dengan alasan sesuatu yang sangat penting membuat masyarakat asli Kampung Tua harus relokasi, semestinya pemerintah tidak memberikan ganti rugi. ”Seharusnya berikan ganti untung, bukan ganti rugi,” katanya.