Tim Advokasi Minta Polisi Hentikan Kriminalisasi Warga Rempang
Tim Advokasi untuk Kemanusiaan Rempang menilai penangkapan dan pemanggilan sejumlah warga oleh kepolisian merupakan upaya pembungkaman. Polisi diminta menghentikan kriminalisasi warga yang menolak penggusuran kampung.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Tim advokasi yang terdiri atas sejumlah lembaga bantuan hukum meminta polisi menghentikan kriminalisasi warga yang menolak rencana penggusuran kampung-kampung adat di Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Saat ini, polisi telah menangguhkan penahanan delapan warga atas jaminan dari Wali Kota Batam.
Pada 7 September 2023 terjadi bentrok antara aparat dan warga di Jembatan Batam-Rempang-Galang (Barelang) IV. Kericuhan pecah saat ratusan warga menghadang sekitar 1.000 aparat gabungan yang akan melakukan pengukuran dan pematokan lahan di Pulau Rempang. Dalam peristiwa itu, delapan warga ditetapkan sebagai tersangka.
Warga yang kini ditahan di Polresta Barelang itu mendapat bantuan hukum dari Tim Advokasi untuk Kemanusiaan Rempang. Tim advokasi tersebut terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, LBH Mawar Saron Batam, dan Pusat Bantuan Hukum (PBH) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Batam.
Advokat dari YLBHI-LBH Pekanbaru, Noval Setiawan, Minggu (11/9/2023) malam, menyatakan, mereka mengecam penggunaan kekerasan dan gas air mata oleh aparat gabungan saat bentrok pada 7 September. Penggunaan kekuatan secara berlebihan mengakibatkan jatuhnya sejumlah korban, salah satunya siswa di dua sekolah yang mengalami sesak napas dan pingsan karena terkena gas air mata.
”Warga Rempang hanya ingin mempertahankan identitas Melayu berupa tanah dan kampung yang menjadi tempat tinggal mereka secara turun-temurun dari penggusuran terkait proyek Rempang Eco City,” kata Noval.
Bentrokan di Jembatan Barelang IV pada 7 September lalu merupakan buntut konflik agraria di Pulau Rempang yang terjadi sejak pertengahan 2023. Konflik itu bermula ketika Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana merelokasi penduduk Rempang yang berjumlah lebih kurang 7.500 jiwa.
Relokasi dilakukan untuk mendukung pengembangan investasi di Pulau Rempang. Menurut rencana, di sana akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.
Warga Rempang menolak rencana relokasi yang ditawarkan pemerintah karena di sana terdapat 16 kampung adat Melayu. Warga meminta pembangunan proyek Rempang Eco City dilakukan tanpa penggusuran karena 16 kampung adat hanya mengokupansi sekitar 10 persen dari total luas lahan di Pulau Rempang.
Noval menuturkan, belakangan semakin banyak warga Rempang yang mendapat surat pemanggilan dari polisi terkait dugaan pendudukan lahan secara ilegal, pemalsuan surat, pemerasan, perusakan terumbu karang, dan lain sebagainya. Hal itu disebut sebagai upaya kriminalisasi untuk membungkam warga yang menolak penggusuran.
”Tim Advokasi untuk Kemanusiaan Rempang meminta Polri menghentikan seluruh upaya pemidanaan terhadap warga yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan kampung mereka,” ujarnya.
Saya sebagai Wali Kota (Batam) yang menjamin agar saudara kami yang ditahan hari ini mudah-mudahan besok (sudah dapat) dikembalikan ke rumah masing-masing.
Penangguhan penahanan
Pada Minggu malam, polisi menangguhkan penahanan terhadap delapan warga Rempang yang ditetapkan sebagai tersangka. Hal itu diikuti dengan keputusan warga untuk membatalkan unjuk rasa lanjutan yang menurut rencana akan dilakukan pada 11 September.
Penangguhan penahanan diumumkan dalam konferensi pers yang dihadiri Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam Muhammad Rudi dan Kepala Polresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto. Selain itu, hadir juga Ketua Aliansi Pemuda Melayu Dian Arniandi.
”Saya sebagai Wali Kota (Batam) yang menjamin agar saudara kami yang ditahan hari ini mudah-mudahan besok (sudah dapat) dikembalikan ke rumah masing-masing,” kata Rudi.
Ia menyampaikan bahwa pembangunan di Rempang merupakan program strategis nasional. Hal tersebut merupakan perintah dari pemerintah pusat yang harus segera dilaksanakan. Oleh karena itu, pemerintah daerah akan segera mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang kini terjadi.
Adapun Dian menambahkan, Aliansi Pemuda Melayu membatalkan rencana demonstrasi pada 11 September. ”Kami tidak mau terjadi benturan di lapangan yang memicu hal-hal yang tidak diinginkan,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Nugroho mengatakan, situasi di Rempang sudah kondusif. Oleh sebab itu, aparat mengurangi pos pengamanan di Rempang dari sebelumnya tujuh pos menjadi lima pos. Setiap pos pengamanan dijaga oleh 20 personel aparat gabungan.
Direktur LBH Mawar Saron Mangara Sijabat mengungkapkan, penangguhan penahanan tidak menghentikan proses hukum. Oleh sebab itu, Tim Advokasi untuk Kemanusiaan Rempang meminta Kepala Polresta Barelang segera menerbitkan surat penghentian penyidikan terhadap delapan warga Rempang yang ditetapkan sebagai tersangka.
”Tujuh orang dijerat dengan pasal beragam, yang pada umumnya isinya tentang melawan petugas. Selain itu, ada satu orang dijerat dengan UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik),” kata Mangara.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Boy Even Sembiring menilai, tindakan yang dilakukan warga Rempang pada 7 September itu seharusnya tidak dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Menurut dia, sikap warga saat itu merupakan upaya untuk bertahan ketika hak-hak yang mereka miliki hendak dirampas.
”Siapa yang enggak marah ketika kampungnya didatangi pasukan sebesar itu dan dengan senjata lengkap itu,” ucap Boy.