Air Mengalir dari Kumpulan ”Uang Receh” Warga Dusun
Anggota Karang Taruna di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, berinisiatif mengumpulkan uang receh untuk membeli air. Di Sleman, DI Yogyakarta, petani ”urunan” membuat sumur bor. Warga bergotong royong mengatasi kekeringan.
Bagi sebagian orang, mungkin uang senilai Rp 5.000 hingga Rp 10.000 seakan tiada artinya. Sekadar dianggap sebagai uang ”receh” uang kecil. Lain halnya dengan pandangan sekelompok pemuda dari Dusun Kalitlawah, Desa Ngaren, Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Lembaran uang kecil itu terasa lebih bermakna setelah mengalir dalam bentuk air bersih.
Sebuah truk terparkir di halaman rumah warga, di RT 012 RW 003, Dusun Kalitlawah, Desa Ngaren, Kamis (14/9/2023) sore. Sejumlah pemuda tampak sibuk memasang selang pada tandon air besar berwarna hitam. Sesaat kemudian, air bening mengalir deras dari sebuah selang ke penampungan air sederhana berbahan terpal.
Segera saja air itu diserbu sekelompok ibu yang sedari tadi menunggu di dekat penampungan. Wajah mereka tampak semringah ketika menciduk air dan memasukkannya ke jeriken, ember, ataupun galon bekas yang mereka bawa. Tanpa saling berebut, sebagian ibu lainnya menanti giliran untuk sama-sama menciduk air bersih tersebut.
Baca Juga: El Nino Menyebabkan Kekeringan hingga Oktober
Bantuan air bersih itu diberikan oleh sekelompok pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna Tua Karya Dusun Kalitlawah. Ada sebanyak 8.000 liter yang dibagikan kepada warga dalam kesempatan itu. Itu menjadi kali kedua pembagian air bersih dilakukan secara gratis di dusun tersebut.
”Alhamdulillah. Tentu saja kami sangat terbantu, apalagi air ini saya dapatkan gratis. Setidaknya kebutuhan sehari ini bisa terpenuhi,” kata Sri Handayani (32), warga Dusun Kalitlawah, seusai mengisi semua jerikennya.
Sudah dua bulan ini Sri kesulitan pasokan air bersih akibat kemarau yang melanda. Dalam sehari, setidaknya ia membutuhkan 10 jeriken hingga 12 jeriken air untuk berbagai kebutuhan rumah tangganya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ia rela mengangsu air dari Sungai Kedungsongo yang berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya.
Air yang tersisa di Sungai Kedungsongo juga tinggal sedikit. Tak tampak lagi aliran air. Hanya terlihat genangan dangkal. Oleh karenanya, warga sampai harus membuat luweng kecil agar air itu bisa diambil. Walau begitu, sejumlah warga masih memanfaatkannya karena tidak ada lagi sumber air bersih di sekitar kampung itu.
”Harapannya, bantuan air seperti ini bisa datang setiap hari. Bagaimana lagi? Air bersih adalah kebutuhan sehari-hari yang mesti dipenuhi,” kata Sri.
Hal serupa diungkapkan warga Dusun Kalitlawah lainnya, yakni Sutini (46). Sama seperti Sri, ia juga termasuk sebagai warga yang beruntung memperoleh bantuan air bersih tersebut. Ketika kemarau tiba, kekhawatiran soal kecukupan air bersih selalu dirasakannya. Lebih-lebih dusun tempatnya tinggal tergolong yang paling gersang.
Masalah air bersih sebenarnya pernah coba dicukupinya dengan membuat sumur. Ia pernah membuat sumur bor yang dalamnya sekitar 30 meter. Namun, sumurnya boleh dipastikan kering sewaktu kemarau. Terlebih jika kemarau berlangsung dalam durasi panjang.
Baca Juga: Tangani Dampak Kekeringan
”Rasa-rasanya membeli air juga tidak mungkin. Wong air itu digunakan setiap hari. Jadi, lebih baik cari-cari ke sumber mata air. Paling jauh pernah jaraknya kira-kira 5 kilometer dari rumah. Saya senang dengan bantuan air gratis begini,” kata Sutini.
Ketua Karang Taruna Tua Karya Dusun Kalitlawah Zaenuri mengungkapkan, rencana pemberian bantuan air bersih terjadi secara mendadak. Itu berangkat dari kondisi kekeringan yang diperkirakan bakal terjadi lebih lama dari tahun-tahun sebelumnya. Lantas, ia bersama sesama anggota karang taruna berusaha mengumpulkan iuran demi memberikan bantuan air bersih tambahan secara cuma-cuma bagi warga.
Adapun jumlah anggota karang taruna itu hanya sekitar 30 orang. Tak semuanya turut serta memberikan iuran. Perlu dimaklumi, rata-rata pekerjaan mereka serabutan. Pecahan uang yang dikumpulkan juga tergolong kecil hanya sekitar Rp 5.000 hingga Rp 10.000. Namun, ada juga yang menyumbang uang lebih dari pecahan tersebut.
“Kami sekadar ingin membantu biar uang yang kecil-kecil ini bisa dirasakan manfaatnya bagi warga sekitar. Soalnya, bantuan juga tidak datang setiap hari,” kata Zaenuri, yang baru berusia 25 tahun itu.
Zaenuri ingin agar penyaluran bantuan semacam itu bisa dilakukan setiap hari. Hanya saja, ia terkendala biaya. Pasalnya, pengumpulan iuran dilakukan secara sukarela mengingat keterbatasan kondisi perekonomian anggota karang taruna tersebut. Sedikitnya biaya yang dibutuhkan untuk sekali menyalurkan bantuan air bersih senilai Rp 200.000.
”Maunya, sih, setiap hari bisa seperti ini, tetapi itu sepertinya sulit. Dananya terbatas. He-he-he. Semoga ke depan bisa dilanjutkan. Paling tidak seminggu sekali,” kata Zaenuri.
Penyelamat petani
Upaya gotong royong warga juga terlihat dari upaya sejumlah petani di Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman. Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setiap musim kemarau, krisis air selalu menjadi masalah rutin membelit banyak petani. Tidak ada air hujan, seiring dengan makin mengecilnya debit sumber air, mereka pun harus membiasakan diri dengan pengaturan air irigasi secara bergilir.
Namun, di tengah kondisi tersebut, petani di Desa Tirtomartani bersyukur karena mereka tetap memiliki ”cadangan” air lainnya. ”Kami memiliki sumur bor di ladang yang bisa diandalkan untuk mengairi tanaman di ladang,” ujar Andreas Eko (47), salah seorang petani, anggota kelompok tani Rukun di Desa Tirtomartani.
Andreas memiliki 2.000 meter persegi lahan yang kini ditanami cabai. Lahan tersebut biasanya mendapatkan air dari irigasi tersier dan dari sumber air lainnya. Namun, di tengah musim kemarau seperti sekarang, air dari irigasi dan sumber air tersebut, hanya didapatkannya tiga kali dalam seminggu karena harus dibagi untuk petani-petani lainnya.
Saat tidak sedang mendapatkan alokasi air dan terdesak kebutuhan untuk menyirami tanaman itulah, Andreas kemudian merasa sangat lega karena masih bisa memanfaatkan air dari sumur bor. ”Air dari sumur bor tetap bisa saya sedot kapan saja bersama dengan teman-teman petani lainnya,” ujarnya.
Sumur bor tersebut adalah sumur milik Kelompok Tani Rukun, bantuan dari Pemerintah Kabupaten Sleman, yang dibangun sekitar 10 tahun lalu.
Sekalipun mendapatkan air dari sumur bor, tanaman di lahan memang tidak bisa diharapkan tumbuh seoptimal pada kondisi normal saat masih ada curah hujan. Selain karena siraman air irigasi tetap kurang optimal karena debit air dari sumber-sumber air lainnya menyusut drastis, pertumbuhan ideal pun tidak bisa diharapkan karena masih ada sejumlah hama pengganggu yang bermunculan. Namun, Andreas tetap merasa bersyukur karena sumur bor dapat membantu menghindari risiko terjadinya kekeringan.
”Setidaknya air sumur bor bisa membuat kami terhindar dari risiko gagal panen,” ujarnya.
Dengan adanya air dari sumur bor, hasil panen dari tanaman padi misalnya, bisa tetap dijaga tidak berkurang lebih dari 40 persen dibandingkan panen saat kondisi normal.
Pramit (44), salah seorang petani lainnya, mengatakan, minggu ini, dirinya akan segera memanen tanaman padi miliknya. Karena memulai tanam pada saat musim hujan, pertumbuhan tanaman padi tersebut masih bisa memanfaatkan air hujan dan air dari sumber-sumber air lainnya.
Adapun keberadaan sumur bor di ladang bisa membuatnya tetap percaya diri untuk terus melanjutkan aktivitas tanam tanpa harus menunggu turunnya hujan.
”Setelah panen padi minggu ini, saya akan segera mengolah lahan untuk segera ditanami cabai,” ujarnya.
Baca Juga: Cegah Krisis Pangan, Batang Bagikan Bibit hingga Siapkan Lumbung Padi
Menyadari begitu pentingnya manfaat sumur bor ini, sebagian petani akhirnya berinisiatif untuk membuat sumur bor sendiri.
Eko Jamal (45), petani, anggota dari Kelompok Tani Ngudi Mulyo Kedulan, mengatakan, ada empat hingga lima petani rekannya yang kemudian berinisiatif mengumpulkan iuran untuk bersama-sama membiayai dan membangun sumur bor mereka sendiri.
”Petani sudah terdesak kebutuhan air dan, di satu sisi, bantuan dari instansi pemerintah tidak bisa selalu diharapkan ada,” ujarnya.
Januriyanto, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tirto Sembodo di Desa Tirtomartani, mengatakan, Gapoktan Tirto Sembodo terdiri dari 17 kelompok tani, dengan total anggota mencapai 940 petani, dengan kepemilikan lahan mencapai sekitar 400 hektar.
Sumur bor di ladang di Desa Tirtomartani kini telah tersebar di sekitar 190 titik. Jika sebelumnya satu sumur bor digunakan untuk mengairi sekitar 10 hektar lahan, seiring dengan jumlahnya yang semakin banyak, air dari satu sumur bor kini dimanfaatkan hanya untuk mengairi 2-3 hektar lahan saja.
Dibantu pemda
Pembangunan sumur di Desa Tirtomartani dilakukan dengan dana dari berbagai sumber. Selain bantuan dari Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman dan Kelurahan Tirtomartani, sebagian sumur bor juga dibangun dengan dana swadaya, iuran dari para petani penggunanya.
Sumur bor di Desa Tirtomartani dibuat dengan kedalaman 12-13 meter. Biaya pembuatan sumur bor di ladang tersebut mencapai sekitar Rp 250.000 per meter kedalamannya.
Inovasi sumur bor ini muncul sekitar 10 tahun lalu. Bermula dari aliran air irigasi yang diputus di tengah jalan, ide pembangunan sumur bor muncul dari Pemerintah Kabupaten Sleman untuk mengatasi masalah krisis air di lahan pertanian.
Lihat Juga: Kekeringan di Juwangi
Kepala Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman Suparmono mengatakan, menghadapi dampak El Nino tahun ini, pihaknya sudah berupaya mempersiapkan sejumlah langkap antisipatif. Upaya pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan gerakan percepatan tanam padi pada 29 Maret 2023. Dengan cara ini, di musim kemarau ini diharapkan petani padi bisa terhindar dari masalah krisis air karena tinggal menunggu panen.
Tahun ini, Pemerintah Kabupaten Sleman juga sudah berupaya membantu petani untuk mendapatkan air dengan membagikan 53 unit pompa air. Selain itu, telah dipersiapkan bantuan dana alokasi khusus (DAK) fisik pertanian untuk pembangunan 5 unit irigasi air tanah dangkal (IATD), 35 unit sumur dangkal, serta rehabilitasi 34 jaringan irigasi tersier. Adapun total alokasi anggaran yang disiapkan untuk semua kebutuhan tersebut mencapai Rp 8,7 miliar.
Untuk musim hujan, di wilayah tadah hujan, seperti Prambanan, diharapkan warga bisa melakukan upaya penyimpanan atau panen air, dengan menggunakan bangunan-bangunan penampung air, yang di desa disebut sebagai embung cluwek. Tahun ini, Pemerintah Kabupaten Sleman juga telah membantu membangun empat unit embung cluwek di wilayah Prambanan.
Baca Juga: Kekeringan Ekstrem, Sejumlah Polres di NTT Bantu Air Bersih bagi Warga