Asuransi dan Kincir Air Jadi Amunisi Petani Hadapi Perubahan Iklim
Kreativitas dan literasi yang baik wajib dimiliki petani saat menghadapi iklim tidak bersahabat. Di Tasikmalaya, petani membuat kincir air. Di Indramayu, petani jadi peserta asuransi lahan.
Di pinggir Sungai Citanduy, Odo (71) semringah memperlihatkan kincir air yang dia buat bersama petani lain di Kampung Sukasirna, Desa Cimanggung, Kecamatan Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (13/9/2023). Dibuat awal Agustus 2023, kincir berdiameter 5,5 meter itu membuat dia dan puluhan petani Sukasirna tetap menanam padi di tengah iklim yang tidak mudah ditebak.
Odo menyebut, kincir hanya dibuat ketika kemarau untuk mengalirkan air Sungai Citanduy ke sawah mereka. Seperti saat ini, ketinggian air Sungai Citanduy berkurang tinggal menyisakan 50 sentimeter. Saat musim hujan, kedalaman sungai bisa 5 meter.
Panjang Citanduy 180 kilometer. Hulunya di Gunung Cakrabuana di Tasikmalaya. Muaranya di Segara Anakan di Cilacap, Jawa Tengah.
”Tidak ada saluran irigasi di kampung kami. Hanya kincir air yang membuat kami bisa tetap menanam di sawah tadah hujan ini,” kata Odo bercerita kondisi lahan garapan yang jaraknya sekitar 90 kilometer dari Kota Bandung itu.
Kisah kincir yang mengantarkan air setiap kemarau muncul tahun 1960-an. Kincir pertama dirintis kakeknya, Tamri, dan rekan-rekannya. Letaknya selalu di sisi Citanduy.
Akan tetapi, Odo tidak tahu dari mana kemampuan membuat kincir itu datang. Tidak ada cetak biru. Kemampuan warga membuat as dari kayu nangka hingga menganyam bambu untuk jari-jari kincir hanya diabadikan lewat ingatan.
Baca juga: Waspadai Krisis Air Kala Kemarau Memuncak
Awal Agustus 2023, saat kemarau datang lagi, ingatan itu kembali diamalkan. Odo menjadi ”arsitek” sekaligus salah satu penyandang dana. Dia mengeluarkan Rp 1,5 juta untuk biaya satu kincir.
Saat membuatnya, Odo tidak sendirian. Dia dibantu lebih kurang 30 warga petani di sekitar kincir. Dalam seminggu, mereka bisa membuat empat kincir untuk mengairi 4 hektar sawah.
”Tidak semua petani mengeluarkan dana. Namun, mereka menyumbangkan tenaga untuk membuat kincir ini bersama-sama,” kata pemilik sawah seluas 500 bata atau setara 7.000 meter persegi.
Jerih payah itu tidak sia-sia. Petani Sukasirna bisa tetap menanam dan yakin panen November 2023. Saat tidak banyak petani yang menanam, mereka berharap bisa panen minimal 6 kilogram per 14 meter persegi.
”Apabila gabah kering panen (GKP) laku Rp 7.500 per kg, saya mungkin bisa dapat sedikitnya Rp 20 juta,” katanya.
Adim (36), petani Sukasirna lainnya, mengatakan, kincir air jauh lebih hemat dibandingkan dengan mengairi sawah menggunakan pompa berbahan bakar bensin. Dengan pompa, warga harus mengeluarkan biaya Rp 80.000 per hari untuk membeli 8 liter bensin. Apabila dinyalakan setiap hari selama 90 hari saja, ongkos bahan bakarnya bisa mencapai Rp 7,2 juta.
Bahkan, Adim mengatakan, kincir ini bisa menjauhkan konflik antarpetani saat berbagi air. Atas kesepakatan bersama, sawah yang letaknya paling tinggi mendapat air terlebih dahulu.
”Kalau air hujan berlimpah, petani justru kesulitan membaginya. Ujungnya, petani berebut. Ingin menanam sama-sama justru rentan berkelahi,” kata Adim.
Dalam beberapa tahun terakhir, Odo mengatakan, inovasi ini juga menarik minat petani dari banyak daerah. Petani dari Jawa Timur, Sulawesi Tengah, hingga Papua pernah meminta Odo membuat kincir air.
”Kebetulan kami tolak. Kami ingin mereka belajar membuat sendiri di sini. Kalau dibuatkan begitu saja, khawatir mereka sulit merawatnya. Ujungnya, kincir mudah rusak, lalu tidak terpakai,” kata Odo.
Kreativitas petani Sukasirna jelas sangat dibutuhkan untuk menghadapi iklim yang kian tidak bersahabat. Tahun ini, kemarau panjang kembali datang dan mengancam kehidupan petani dan ketersediaan pangan.
Para petani tidak usah khawatir menanam padi di tengah kekeringan. Jika mereka gagal panen, ada klaim ganti rugi Rp 6 juta per hektar.
Data Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jabar menyebutkan, kurun April-Agustus 2023, sebanyak 2.804 hektar lahan pertanian terkena puso atau gagal panen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik di Jabar, pada 2022 tercatat 1,66 juta hektar. Kondisi itu dipicu minimnya air hujan dan pasokan irigasi.
Akan tetapi, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jabar Dadan Hidayat berharap petani tidak terlalu cemas. Data BPS menyebut, ketersediaan beras di Jabar pada Januari-Oktober 2023 surplus hingga 104.899 ton dengan produksi 4,6 juta ton. Dia juga menyebut, sekitar 70.000 hektar lahan pertanian di Jabar sudah terdaftar dalam Asuransi Usaha Tani Padi.
”Para petani tidak usah khawatir menanam padi di tengah kekeringan. Jika mereka gagal panen, ada klaim ganti rugi Rp 6 juta per hektar,” ujarnya.
Baca juga: El Nino Menyebabkan Kekeringan hingga Oktober
Asuransi tani
Tahun ini, Nursin (61), petani Desa Pranti, Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, menjadi satu dari ribuan petani yang berharap asuransi bisa meringankan bebannya. Perubahan iklim benar-benar menguji kesabarannya.
Ditemui di sawahnya, Selasa (12/9/2023), Nursin menatap nanar padinya yang kering kerontang. Padi yang sebelumnya hijau itu kini kecokelatan. Tanahnya retak-retak. Saluran irigasi di sekitarnya mengering, tersisa lumpur dan sampah plastik. ”Harusnya saya panen bulan ini,” ucapnya.
Nursin menanam padi bulan Juni lalu. Seperti petani lainnya, ia mempercepat masa tanam yang biasanya dimulai Juli. Selain tidak ingin kehabisan air, ia berharap segera panen.
Namun, pasokan air dari Bendung Rentang di Kabupaten Majalengka, Bendungan Cipanas di Sumedang, dan Waduk Jatiluhur di Purwakarta terus menyusut hingga tak sampai ke sawah garapannya. Padinya di lahan seluas 2 hektar pun mati perlahan di usia lebih dari 30 hari.
Padahal, ia baru saja memupuk dengan dua kuintal urea seharga Rp 552.000. Bapak dua anak dan kakek dua cucu ini juga telah mengeluarkan uang Rp 2,2 juta untuk biaya traktor sawah dan tanam padi. Jadi, modalnya yang keluar untuk musim ini hampir Rp 3 juta.
Seharusnya, jika tidak ada kekeringan, ia bisa memanen 10 ton GKP dari lahan 2 hektar. Dengan harga GKP Rp 7.600 per kg saat ini, ia berpotensi meraup Rp 76 juta. Ini cukup membayar sewa sawah setahun ke depan dengan harga Rp 28 juta.
Akan tetapi, itu hanya angan meski telah berusaha. Selang sepanjang 300 meter untuk menarik air ke sawahnya hanya teronggok di irigasi yang kering. Begitu pula dengan mesin pompa tidak bisa berfungsi.
Ia bersama petani lainnya juga sudah membuat sumur bor secara swadaya seharga Rp 18 juta. Dengan kedalaman lebih dari 20 meter, sumur itu menghasilkan air. Namun, yang keluar justru air asin. Sumbernya dari Laut Eretan, Kandanghaur.
”Padi enggak kuat hidup kalau air asin,” ucapnya.
Sawah Nursin pun puso, gagal panen akibat kekeringan. Ia tidak lagi mendapatkan gabah. ”Kalau karungnya, sih, banyak, tapi enggak ada gabahnya,” katanya.
Hingga Agustus, Kabupaten Indramayu menjadi daerah yang paling terdampak kekeringan di Jabar. Bahkan, lahan puso di Indramayu mencapai 2.269 hektar. Jumlah itu setara 80 persen dari total lahan puso di Jabar.
Meski demikian, kerugian Nursin kali ini tidak sebesar saat El Nino, peristiwa anomali di Samudra Pasifik yang ditandai menurunnya curah hujan, tahun 2015. Waktu itu, sawah garapannya seluas 2 hektar juga terkena puso. Ia merugi jutaan rupiah dari modal tanam.
”Dulu, saya tidak punya asuransi (tani). Sekarang, saya sudah mengajukan asuransi lahan 2 hektar. Ini pertama kali saya ikut untuk jaga-jaga barangkali gagal panen. Ternyata benar, setelah tanam enggak ada air,” ujar Nursin yang mendapatkan info asuransi dari penyuluh pertanian.
Baca juga: Perkuat Asuransi untuk Usaha Tani
Ia termasuk dari 11 petani yang mengasuransikan sawahnya dengan total 18 hektar. Setiap petani membayar premi Rp 36.000 per hektar per musim tanam.
Biaya itu sudah termasuk bantuan pemerintah 80 persen. Mereka pun bisa mendapatkan pertanggungan Rp 6 juta per hektar.
Syarat mendapatkan ganti rugi, antara lain, ialah umur padi melewati 10 hari setelah tanam, intensitas kerusakan 75 persen lebih, dan luas kerusakannya lebih dari 75 persen setiap petak. Dengan luas lahan 2 hektar yang gagal panen, Nursin berharap menerima pertanggungan Rp 12 juta.
”Semoga (klaim asuransinya) bisa dicairkan untuk modal tanam rendeng (Oktober 2023-Maret 2024),” kata Nursin yang masih menunggu info dari perusahaan asuransi. Baginya, dana dari asuransi usaha tani padi itu dapat mengobati masalah kegagalan panen akibat kekeringan.
Sumantri (51), petani Kandanghaur, telah merasakan manfaat asuransi tani. Tahun 2020, dua hektar sawahnya tersapu banjir rob dari Laut Eretan.
”Saya gagal panen, cuma dapat setengah karung (25 kg) gabah. Padahal, modal tanamnya Rp 7 juta-Rp 8 juta per hektar,” ucapnya.
Beruntung, ia telah ikut asuransi dengan pembayaran premi sekitar Rp 72.000 untuk 2 hektar. ”Waktu itu, saya dapat (klaim asuransi) Rp 12 juta. Memang masih belum sesuai modal tanam sekitar Rp 16 juta. Tapi, setidaknya saya enggak sampai rugi total,” kata ayah satu anak ini.
Dana asuransi itu pun kembali ia putar sebagai modal tanam di musim berikutnya. Merasa program itu membantu, Sumantri telah mengikuti asuransi tani selama tiga kali musim tanam. Maklum, lahannya, katanya, memiliki risiko terkena banjir rob yang semakin sulit diprediksi.
”Musim tanam ini saya mengajukan asuransi lagi, tapi ditolak karena sudah tiga kali ikut. Kenapa mesti dibatasi? Kan, bencana tidak ada yang tahu,” ujarnya.
Berdasarkan aturan, lokasi yang telah tiga kali berturut-turut mendapatkan klaim tidak bisa mengajukan asuransi lagi.
Sunarto, Koordinator Penyuluh Balai Penyuluhan Pertanian Kandanghaur, mengatakan, minat petani mengikuti asuransi di daerahnya cukup baik. ”Saat ini, total 427 hektar yang diasuransikan. Ini tidak semua ikut. Banyak lahan tidak ditanami karena kekeringan,” ujarnya.
Bahkan, katanya, petani pernah mengasuransikan 800 hektar sawahnya untuk mencegah kerugian lebih besar. Apalagi, Kandanghaur kerap dilanda kekeringan dan banjir rob. Saat ini saja terdapat 1.601 hektar dari total lahan 4.898 hektar di daerah itu yang terdampak puso.
”Setiap sebelum masa tanam, kami mengumpulkan semua kelompok tani untuk mengantisipasi risiko kekeringan dengan ikut asuransi,” ucap Sunarto. Pihaknya juga mendampingi petani untuk mendaftarkan sawahnya secara digital via aplikasi Sistem Informasi Asuransi Pertanian (SIAP).
”Hanya saja, sekarang petani yang sudah mendaftar asuransi masih menunggu kejelasan apakah bisa mendapat ganti rugi atau tidak,” ujarnya.
Di tengah ancaman gagal panen akibat iklim yang terus berubah, adaptasi menjadi mitigasi yang berpeluang menolong petani. Saat semakin banyak yang menerapkannya, asa untuk sejahtera seharusnya bisa terus terjaga.
Baca juga: Nestapa Petani Jateng akibat Kekeringan