Sebanyak 10 ekor sapi milik peternak mati mendadak, di Desa Kacangan, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Cuaca ekstrem diduga menjadi pemicunya.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SRAGEN, KOMPAS — Sebanyak 10 sapi milik peternak mati mendadak, di Desa Kacangan, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Pengujian laboratorium membuktikan tidak ada paparan penyakit antraks. Cuaca ekstrem yang berlangsung belakangan ini diduga menjadi pemicu terjadinya kasus tersebut.
Laporan kematian sapi secara mendadak, di Desa Kacangan, muncul sejak dua pekan terakhir. Pertama kali kasus tersebut mencuat pada 28 Agustus 2023. Ketika itu dilaporkan ada tujuh ekor sapi yang mati mendadak di desa tersebut. Jumlahnya bertambah menjadi 10 ekor hingga Rabu (13/9/2023).
”Gejalanya kejang-kejang langsung mati begitu. Sebelumnya, juga mau makan. Tetapi, tahu-tahu saja muncul gejala seperti itu sampai mati,” kata Kepala Desa Kacangan Ladiyo, saat dihubungi, Rabu sore.
Ladiyo mengaku belum mengetahui secara persis penyebab utama kematian mendadak sejumlah ternak milik warganya. Untuk itu, ia segera melaporkan kasus itu kepada jajaran Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan Sragen. Pelaporan ditindaklanjuti dengan pengecekan dan pengambilan sampel guna dilakukan uji laboratorium.
Untuk sapi yang mati, jelas Ladiyo, para pemilik ternak telah menjualnya kepada pedagang daging. Hanya saja harga jualnya anjlok dibandingkan ketika sapi-sapi bisa dijual dalam kondisi hidup. Harga jual sapi menjadi sekitar Rp 500.000 hingga Rp 1 juta per ekornya.
”Padahal, itu sapi yang mati semuanya sapi dewasa. Kalau dijual di pasaran harganya bisa Rp 10 juta sampai Rp 15 juta,” kata Ladiyo.
Selanjutnya, Ladiyo mengungkapkan fenomena sapi mati mendadak disikapi sejumlah peternak dari desa tersebut dengan menjual sapi lebih dini. Para peternak khawatir jika kelak sapi mereka mengalami gejala yang sama. Apalagi jika harus mati dan terjual dengan harga yang sangat rendah. Namun, ia mengaku kurang mengetahui jumlah pasti peternak yang memilih untuk menjual ternak belakangan ini.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan Sragen Toto Sukarno mengungkapkan, pemeriksaan sampel pada sapi yang mati dilakukan untuk mengetahui risiko paparan antraks. Pasalnya, sapi-sapi itu mati secara tiba-tiba. Hanya saja, jumlah sapi yang dilaporkan mati mendadak kepada jajarannya sebanyak delapan ekor.
”Sampelnya semuanya sudah diperiksa. Dari delapan ekor sampel itu, semuanya menunjukkan hasil negatif antraks,” kata Toto.
Cuaca bisa jadi berpengaruh. Karena, kalau siang panasnya terlalu tinggi. Malam hari juga dingin sekali itu akan berpengaruh
Toto menjelaskan, pemicu matinya sapi bisa jadi disebabkan penyakit lain seperti bovine ephemeral fever (BEF) atau yang juga dikenal dengan demam tiga hari. Ada juga kemungkinan kematian disebabkan gejala perut kembung yang dialami sapi, tetapi tidak segera tertangani.
Di sisi lain, Toto turut menyoroti kondisi cuaca ekstrem yang berlangsung beberapa waktu terakhir di wilayah Jawa Tengah. Suhu udara cukup tinggi ketika siang hari, sedangkan malam hari ternak diterpa suhu yang relatif dingin. Perubahan cuaca yang sedemikian rupa mampu memengaruhi kondisi fisik ternak milik warga. Terlebih ada kebiasaan warga menggembalakan sapinya ketika cuaca panas.
”Cuaca bisa jadi berpengaruh. Karena kalau siang panasnya terlalu tinggi. Malam hari juga dingin sekali itu akan berpengaruh,” kata Toto.
Sebagai langkah antisipasi, lanjut Toto, pihaknya telah melakukan pemeriksaan kepada sapi-sapi lain yang terdapat di desa tersebut. Ada sekitar 200 sapi yang sudah diperiksa dan dicek kondisi kesehatannya. Sapi-sapi itu juga diberi obat antibiotik hingga suplemen tambahan seperti vitamin dan mineral.
”Kami terus mengedukasi dan menginformasikan kepada masyarakat untuk selalu menjaga kesehatan ternaknya. Asupan makanannya harus diperbaiki. Terlebih dalam musim seperti ini daya tahan tubuh ternak mereka mesti dijaga,” kata Toto.