Dibandingkan data Jumat (24/6/2022), pada Minggu terjadi penambahan 29.026 ternak sakit PMK, 255 ekor mati, 311 ekor dipotong bersyarat, dan 8.497 ekor sembuh. Selain itu, bertambah satu kabupaten/kota tertular PMK.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Jumlah kematian hewan ternak yang terinfeksi penyakit mulut dan kuku atau PMK terus bertambah. Kendati tingkat kematian akibat PMK relatif tergolong rendah, di bawah 5 persen, kalangan peternak meminta perhatian terhadap hewan ternak ini diberikan hingga pulih sepenuhnya. Sebab, bermunculan kasus sapi mati mendadak saat masa pemulihan.
Menurut data siagapmk.id, Minggu (26/6/2022) petang, total ada 272.759 hewan yang dinyatakan sakit. Jumlah itu mencakup 1.657 ekor mati, 2.636 ekor dipotong bersyarat, 87.760 ekor sembuh, dan 180.706 ekor belum sembuh. PMK telah menyebar di 217 kabupaten/kota di 19 provinsi.
Dibandingkan dengan data Jumat (24/6/2022), terjadi penambahan 29.026 ekor hewan sakit, 255 ekor mati, 311 ekor dipotong bersyarat, dan 8.497 ekor sembuh. Selain itu, bertambah satu kabupaten/kota tertular PMK.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Robi Agustiar, Minggu (26/6/2022), mengatakan, dari laporan yang diterima, di sejumlah provinsi, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur, ditemukan kematian sapi secara mendadak. Kematian justru terjadi pada masa pemulihan setelah terkena PMK.
”Selama ini, pemerintah selalu katakan hewan (bisa) sembuh. Namun, ada yang mati mendadak saat masa pemulihan, khususnya pada sapi perah dewasa. Kami harap obat-obatan ataupun bentuk-bentuk penanggulangan praktis lainnya untuk PMK ditingkatkan. Sebab, stok obat-obatan mulai kosong dan langka,” ujar Robi.
Dengan telah terbentuknya Satgas Penanganan PMK dari tingkat pusat, kata Robi, penanganan terhadap hewan ternak, hingga sepenuhnya pulih, diharapkan lebih cepat. Pusat kesehatan hewan di tingkat kecamatan mesti didorong untuk diaktifkan kembali.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Dedi Setiadi mengatakan hal serupa. ”Sekarang, muncul lagi kasus, yakni saat sapi menuju sembuh tiba-tiba mati. Ini yang menjadi kekhawatiran peternak,” ucap Dedi.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Ponorogo Masun menuturkan, mayoritas ternak mati tidak dalam kondisi sakit parah, tetapi dalam masa pemulihan kesehatan. Ternak tengah menjalani pengobatan simtomatik dan selesai diberi antibiotik, analgesik, bahkan vitamin. Bahkan, ternak sudah bisa berdiri dan makan dengan lahap.
Mayoritas ternak mati tidak dalam kondisi sakit parah, tetapi dalam masa pemulihan kesehatan.
”Akan tetapi, ternak tiba-tiba kejang dan langsung mati. Penyebab kematiannya sedang diteliti,” kata Masun. Tim kesehatan hewan dari Pusat Veteriner Kementerian Pertanian, lanjutnya, telah memeriksa ternak mati dan mengambil sampel organ tubuhnya untuk diteliti di laboratorium (Kompas.id, 24/6/2022).
Dehidrasi
Ahli patologi veteriner dari Fakultas Kesehatan Hewan IPB University, Vetnizah Juniantito, Minggu, mengatakan, kematian sapi saat menjalani masa pemulihan kemungkinan mengalami kekurangan cairan atau dehidrasi. Sebab, sapi yang terjangkit PMK mengalami luka, antara lain, di mulut dan lidah. Selain tak nafsu makan, juga terjadi hipersalivasi atau produksi air liur berlebih.
”Seringnya, saat sapi sudah mulai mau makan, konsumsi cairannya masih tetap rendah. Dehidrasi dalam waktu yang lama itu dapat menyebabkan kematian. Sapi perah lebih sensitif karena untuk menghasilkan susu, selain dari pakan, juga memerlukan lebih banyak air. Jadi, sapi perah lebih peka (akan penyakit) daripada sapi potong,” ujar Juniantito.
Sejumlah peternak menduga kematian hewan ternak mendadak diakibatkan oleh tiger heart. Namun, menurut Juniantito, tiger heart atau peradangan pada otot jantung umumnya terjadi saat hewan sedang sakit atau sebelum masuk masa pemulihan. Selain itu, mayoritas ditemukan pada pedet (anak sapi) atau hewan lain berusia di bawah enam bulan. Sementara di Indonesia, laporan kematian lebih banyak pada sapi dewasa.
Dehidrasi dalam waktu yang lama itu dapat menyebabkan kematian. Sapi perah lebih sensitif karena untuk menghasilkan susu, selain dari pakan, juga memerlukan lebih banyak air.
Namun, lanjut Juniantito, untuk mengetahui pasti, diperlukan lebih banyak data. ”Saat ini masih kurang. Memang dari laporan, ada tingkat kematian tinggi pada sapi-sapi perah dewasa di Ponorogo. Dimungkinkan karena kekurangan cairan parah atau memang ada penyakit yeng menyertai. Sebab, saat kekebalan menurun, penyakit lain mudah masuk,” ujarnya.
Yang utama adalah mengembalikan kondisi cairan hewan. ”Kalau sudah mau minum kembali, harus disediakan minum tak terbatas. Namun, sering kali meski sudah agak pulih, kondisinya lemas. Maka, idealnya adalah diberi infus, langsung ke pembuluh darah. Pemerintah dan dokter-dokter hewan yang menangani perlu mempertimbangkan (pemberian infus) ini,” kata Juniantito.
Harapan penggantian
Sementara itu, terkait rencana penggantian Rp 10 juta per ekor untuk hewan yang terpaksa dimusnahkan, Dedi Setiadi menuturkan, penggantian Rp 10 juta per ekor yang terpaksa dimusnahkan sangat berarti bagi peternak. Pasalnya, setelah PMK ini, akan terjadi depopulasi sapi perah yang tinggi. Uang penggantian akan membantu peternak untuk membeli sapi yang baru.
”Kami meminta yang diganti itu hewan yang dikubur mati ataupun dipotong paksa. Lalu jangan hanya sapi induk, tetapi juga pedet dan dara. Kami berharap pemberian bantuan dihitung ke belakang, artinya sejak awal PMK terjadi (bukan sejak kebijakan ditetapkan), karena jelas mereka yang terdampak dan rugi,” ucap Dedi, yang juga berharap mekanisme penggantian tidak sulit.
Di bawah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada harapan penanganan PMK lebih baik. Dengan pendataan seperti pada penanganan Covid-19, yakni hingga tingkat RT/RW, diyakini bakal optimal karena para peternak anggota koperasi berada di RT/RW.
Adapun populasi sapi perah yang menjadi anggota GKSI, yang tersebar di Jabar, Jateng, dan Jatim mencapai sekitar 375.000 ekor. ”Sebanyak 30 persen sudah kena (PMK), sedangkan 70 persen masih sehat. Sementara yang mati, data terakhir, sebanyak 1.012 ekor. Sapi-sapi yang sehat harus dijaga betul,” kata Dedi.
Pendataan harus segera diperbaiki agar data tersaji dengan benar dan lengkap, sehingga langkah penanganan PMK ke depan dapat ditentukan dengan tepat.
Dedi menambahkan, sapi perah, yang tingkat produksinya turun hingga 80 persen jika terkena PMK, memang sudah menjadi prioritas pemerintah. Ia pun berterima kasih karena vaksin PMK untuk dosis pertama sudah diterima GKSI. Adapun pelaksanaan vaksinasi akan diselesaikan dalam 4-5 hari ke depan.
Mengenai vaksin PMK, Kepala BNPB yang juga Ketua Satgas Penanganan PMK Letnan Jenderal Suharyanto mengemukakan, 800.000 dosis telah tersedia. Sebagai tahap awal, Jatim mendapat alokasi vaksinasi sebanyak 350.000 dosis. Vaksinasi menjadi salah satu upaya pembentukan kekebalan di dalam tubuh hewan ternak.
Sejumlah 350.000 dosis vaksin tersebut akan diprioritaskan bagi peternak dengan skala kecil atau yang dikelola secara pribadi. ”Sementara bagi peternakan skala besar dapat mendatangkan vaksinasi secara mandiri jika diperlukan,” ujar Suharyanto, dikutip dari situs BNPB, Minggu (26/6/2022).
Suharyanto, yang memimpin Rapat Koordinasi Penanganan PMK di Kantor Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, Sabtu (25/6/2022), juga menekankan pendataan hewan ternak harus dilakukan cepat dan tepat. Pendataan harus segera diperbaiki agar data tersaji dengan benar dan lengkap sehingga langkah penanganan PMK ke depan dapat ditentukan dengan tepat.