Di Tengger, Toleran sampai Kuburan
Buat warga Tengger Ngadas, toleransi tidak perlu lagi dikatakan. Merasuk dalam keseharian, hingga sampai ke pemakaman. Toleran sampai kuburan.
Saat banyak pihak mengampanyekan toleransi dan meneriakkan keberagaman, di sini, toleransi sudah bukan lagi hal yang harus diperbincangkan. Di tempat ini, toleransi dibawa sampai mati.
Jika berkunjung atau sekadar melintas ke Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sempatkan menengok ke permakaman di tepi jalan desa. Lokasinya berada di tepi jalan utama desa.
Makam desa itu sekilas tampak biasa. Namun, bila dicermati, deretan makam itu menggambarkan toleransi. Di desa tertinggi sisi timur Kabupaten Malang itu, toleransi membumi, tanpa harus dielu-elukan atau diteriakkan.
Sekilas, permakaman itu tak jauh beda dengan lainnya. Namun, ada hal menarik di sana, yaitu ada beberapa makam keluarga yang arah makamnya tak beraturan, bahkan bertolak belakang. Ada makam di mana bagian kepala berada di sebelah utara dan tubuh menghadap ke selatan, serta ada yang sebaliknya, yaitu kepala di selatan dan menghadap ke utara.
Baca juga: Sepenggal Cerita dari Desa Ngadas...
Apa artinya? Bagi umat Islam, tentu tahu bahwa makam orang beragama Muslim adalah selalu kepala di sisi utara dan mengarah ke selatan (jenazah diarahkan ke kiblat/barat). Lalu, untuk makam dengan bagian kepala di selatan dan mengarah ke utara, itu adalah untuk orang beragama Hindu atau Buddha. Sebab, mereka menganggap suci Gunung Semeru sehingga gunung itu menjadi tonggak kehidupan mereka.
Di desa ini, tak ada pemisahan makam sesuai agama. Makam dikelompokkan sesuai keluarga. Di setiap kelompok keluarga, makamnya bisa berbeda-beda arah.
”Di sini makamnya ya hanya satu itu. Semua agama jadi satu, baik Islam, Kristen/Katolik, Hindu, Buddha, atau lainnya. Tidak dibeda-bedakan. Kalau makamnya dibeda-bedakan, kami meyakini akan ada pagebluk (malapetaka),” kata Kepala Desa Ngadas Mujianto (51), awal September lalu.
Baca juga: Merawat Keberagaman Melalui Tayub Tengger
Desa Ngadas merupakan desa dihuni warga Tengger di wilayah Kabupaten Malang. Menurut kepercayaan Tengger, terkait makam, adalah tidak baik memisahkan ”seseorang” dengan leluhurnya. Itu sebabnya, makam desa hanya satu dan dibuat berkelompok per keluarga.
”Kedua, kami meyakini kalau kami memisahkan makam sesuai agama, misalnya, maka kami artinya harus membuat makam baru. Kepercayaan kami, kalau membuka makam baru, akan ada pagebluk sehingga makam baru itu terisi,” kata Mujianto. Rata-rata lama usia warga Desa Ngadas sekitar 80 tahun.
Kepercayaan itu bagi mereka bukan isapan jempol. Sebab, sebelumnya ada kasus di desa sebelah (wilayah Kabupaten Pasuruan). Suatu ketika, desa itu membuat makam baru dengan alasan makam lama berada di desa lain yang letaknya jauh.
”Saat itu akhirnya benar-benar terjadi pagebluk sehingga banyak warga meninggal. Betul saja, lahan makam baru yang sebelumnya mereka buat akhirnya benar-benar langsung diisi,” kata Mujianto.
Mujianto mengibaratkan, keyakinan membuat makam baru itu ibarat membuat garasi, di mana akan berusaha untuk diisi.
Desa Ngadas merupakan salah satu desa penyangga kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Lokasinya berada di ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan luas area 395 hektar. Topografi Desa Ngadas berbukit-bukit karena berada di kaki Gunung Semeru dan di dekat Gunung Bromo. Suhu udara di Ngadas cenderung dingin, antara 0 derajat hingga 20 derajat celsius.
Baca juga: Wisata Anggrek dan Burung, Destinasi Baru Kawasan Bromo Tengger Semeru
Sebagian besar warga Desa Ngadas bekerja sebagai petani. Jika dilihat dari keyakinan masyarakat, 50 persennya merupakan pemeluk agama Buddha-Jawa, 40 persen pemeluk Islam, dan 10 persen pemeluk agama Hindu.
Di desa berhawa dingin ini, nyatanya kehidupan sosial mereka cukup hangat. Mereka hidup dengan menghidupi adat dan budaya Tengger, bahkan sekuat tenaga menahan gempuran beragam sekat-sekat pemisah, termasuk agama.
”Bagi kami, keyakinan itu milik masing-masing sehingga kita tak bisa memaksakan keyakinan kepada orang lain,” kata Mujianto.
Petinggi desa tersebut mencontohkan hal itu pada keluarganya. Ibu Mujianto beragama Hindu, mertua Mujianto Buddha, dan Mujianto seorang Muslim.
”Masa saya mau bertengkar dengan ibu saya? Apalagi saya serumah dengan mertua. Kalau ibadah, ya masing-masing. Kalau sore, mertua saya ya semedi. Tidak ada masalah. Itu terjadi sudah turun-temurun,” kata Mujianto.
Baca juga: Desau Balabad dan Tayub Tengger
Menurut sejarahnya, di Desa Ngadas awalnya sebagian besar warga Tengger memeluk agama Buddha. Menurut Mujianto, agama Islam baru masuk ke Ngadas pada tahun 1979, sedangkan agama Hindu baru muncul tahun 1995.
Iket
Menariknya, sikap toleran warga Ngadas itu disimbolkan dari pemakaian udeng (ikat kepala) Tengger.
”Kami mengacu pada filosofi udeng atau iket. Kenapa kepala itu harus diikat? Sebab, kepala itu pusat pikiran manusia sehingga harus dikendalikan. Jadi, kepala diikat artinya kita berusaha mengendalikan pikiran kita,” katanya.
Dalam iket Tengger Ngadas, di bagian depan kepala ada bentuk segitiga. Bentuk segitiga itu, menurut Mujianto, adalah simbol kejujuran warga Tengger bahwa antara pikiran, perkataan, dan perbuatan harus sama. Udeng Tengger Ngadas pun bermotif batik, di mana melambangkan kemajemukan mereka.
Yang terpenting, menurut Mujianto, ada bagian udeng Tengger Ngadas berwarna polos atau putih, yang letaknya di belakang. Itu disebut modang.
”Modang berwarna putih atau polos itu letaknya di belakang. Menggambarkan bahwa keyakinan pada Tuhan itu jangan sampai kelihatan. Kita beribadah tidak usah sombong, toh yang menilai kita hanya Tuhan, bukan manusia,” kata Mujianto.
Baca juga: Toni Artaka, Anggrek yang Menggerakkan Konservasi Hutan
Mujianto berharap, nilai budaya Tengger terus lestari sebagaimana simbolisasi lipatan udeng berbentuk tunas kelapa di bagian belakang, yaitu agar adat budaya Tengger terus hidup melintasi zaman.
”Upacara adat Kasodo, karo, unan-unan, entas-entas, itu semua adat budaya Tengger, bukan milik agama. Jadinya, sebagai warga Tengger ya semua harus mengikuti,” kata Mujianto.
Dukun Tengger Ngadas, Sutomo (65), mengatakan bahwa selama ini tradisi Tengger tidak terkait agama. Justru, tiga agama yang ada di Desa Ngadas memperkuat adat budaya Tengger.
”Di sini, adat Tengger tidak terkait agama. Tiga agama yang ada di sini guyub rukun, hidup berdampingan dengan baik. Karena agama itu baik, tidak ada agama tidak baik. Yang tidak baik itu ini,” kata Sutomo menunjuk mulutnya.
Baca juga: Sepotong Cerita dari Desa
Menghormati
Jangankan terhadap manusia, dengan makhluk lain pengisi semesta pun, warga Tengger menghormati. Awal September lalu, warga Desa Ngadas sedang menjalani tradisi tumpeng gedhe sebagai bagian dari rangkaian perayaan hari raya Karo.
”Pada tradisi tumpeng gedhe, setelah tumpeng dikumpulkan dan didoakan, akan dijadikan sesaji dan dibawa ke tempat-tempat yang selama ini pernah kami masuki. Seperti tempat cari rumput, tempat cari kayu bakar, ke ladang pertanian, dan lainnya. Hal ini dilakukan agar makhluk yang ada di sana tidak mengganggu. Ini semacam terima kasih bahwa kita selama ini mendapatkan rezeki dari sana,” kata Sutomo.
Adat seperti ini bukanlah milik agama, melainkan milik suku Tengger. Kami percaya agama diatur sendiri-sendiri, di tempat ibadah masing-masing
Tradisi tumpeng gedhe adalah bagian dari hari raya Karo dari suku Tengger, di mana warga Tengger mengumpulkan makanan, buah, dan jajanan di satu tempat lalu didoakan oleh dukun Tengger. Berikutnya, tumpeng gedhe yang sudah didoakan akan diperebutkan oleh warga desa serta sebagian dibawa ke tempat-tempat yang selama ini mereka masuki.
”Adat seperti ini bukanlah milik agama, melainkan milik suku Tengger. Kami percaya agama diatur sendiri-sendiri, di tempat ibadah masing-masing,” ujar Senetram (50).
Senetram adalah dukun muda pelaksana adat Tengger Ngadas beragama Buddha. Mencampuradukkan adat Tengger dan agama, menurut dia, akan membuat perpecahan. Warga Ngadas sepakat tak mengutak-atik adat Tengger, termasuk dengan agama. Desa Ngadas diyakini sudah ada sejak tahun 1774.
Begitulah, warga Tengger Ngadas punya cara memaknai kehidupan sosial mereka. Semoga saja, budaya luhur ini terus lestari. Hong ulun basuki langgeng (Semoga Tuhan memberikan keselamatan untuk kita semua)....
Baca juga:Tradisi Mayu, Mantra Damai Warga Tengger