Petani sayur di Kabupaten Magelang saat ini terkendala kesulitan air untuk lahan. Mereka akhirnya terpaksa membeli air.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Di tengah kondisi kelangkaan air pada musim kemarau, sebagian petani di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terpaksa membeli air untuk mengairi lahan. Hal ini dilakukan karena sumber-sumber air di sekitarnya tidak lagi bisa diandalkan karena sudah mengering.
Sudarto, salah seorang petani sayur di Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, mengatakan, aktivitas membeli air sudah dilakukannya selama tiga bulan terakhir, dengan frekuensi pembelian air yang sudah tidak terhitung lagi.
”Saya biasanya membeli satu tangki kecil berkapasitas 1.000 liter air dengan harga Rp 100.000. Satu tangki tersebut biasanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan menyiram tanaman selama tiga hari,” ujarnya, saat ditemui Minggu (10/9/2023).
Air tersebut dibelinya dari warga sekitar, yang menawarkan jasa mengambil air dari sumber air, kemudian mengantarkannya hingga ke lahan pertanian milik petani. Upaya membeli air ini terpaksa dilakukannya karena dua sumber air di sekitar lahannya tidak lagi mengalirkan air selama musim kemarau.
Dia juga tidak bisa mencari dan mengambil air sendiri karena tidak memiliki tangki dan tidak punya mobil bak terbuka untuk mengangkutnya. Sudarto memiliki lahan pertanian seluas 2.500 meter persegi. Lahan tersebut sebelumnya ditanami sawi dan kubis, yang baru saja dipanennya sekitar dua minggu lalu.
Tambahan biaya bertani yang harus Sudarto keluarkan untuk membeli air terasa makin memukul karena harga sayuran saat ini tidak terlalu menggembirakan. ”Hasil panen sawi beberapa hari lalu hanya laku terjual Rp 400 per kg,” ujarnya. Hasil panen sawi yang didapatkannya sekitar 2 ton.
Upaya mencari air serupa juga dilakukan oleh Mulyono, petani sayur asal Desa Banyuroto, Kecamatan Sawangan. Namun, karena memiliki tangki air, dia kemudian mencari sumber air sendiri di Desa Wonolelo.
Mengambil air dari sumber air milik pribadi warga, dia kemudian sebatas membayar uang Rp 15.000, sebagai pengganti biaya bensin, yang menjadi BBM dari mesin diesel yang dipakai untuk menyedot air dari sumber air.
”Meminta air dari warga lain sudah menjadi hal yang rutin kami lakukan setiap musim kemarau,” ujarnya. Namun, di musim kemarau kali ini, upaya meminta air baru sebatas dilakukan satu kali ini. Meminta air menjadi alternatif yang terpaksa ditempuh setelah sumber air di sekitar lahan akhirnya mengering beberapa pekan lalu.
Panut, warga Desa Wonolelo lainnya, mengatakan, dirinya tidak memiliki kendaraan ataupun tangki air. Kendatipun demikian, dia kemudian tidak membeli air dan memilih untuk mencari dan mengangkut air sendiri dari sumber air di lain dusun.
Panut memiliki 1.000 meter persegi lahan yang kini ditanami tanaman cabai berumur tiga bulan. Pernyiraman tanaman dilakukannya seminggu sekali. Adapun dalam satu kali penyiraman, dia mengambil air hingga 10 jeriken.
”Karena hanya mengambil dengan sepeda motor, pengambilan air tersebut saya lakukan dengan 10 kali bolak-balik dari lahan ke sumber air,” ujarnya. Satu jeriken air yang digunakannya berkapasitas 30 liter air. Jarak sumber air dengan lahannya berkisar 1 kilometer.
Sumarni, pemilik sumber air di Desa Wonolelo, mengatakan, kebiasaan berbagi air sudah dilakukannya pada musim kemarau. Warga yang meminta air sudah mulai berdatangan sejak Juli 2023, dan mulai bertambah ramai sejak Agustus lalu.
”Jika sebelumnya hanya berkisar dua hingga lima tangki, mulai Agustus lalu, penyaluran air terpaksa kami batasi hanya 10 tangki per hari,” ujarnya.
Karena lebih berniat membantu, Sumarni tidak menetapkan harga pembelian air. Dia hanya meminta uang sebagai pengganti pembelian bensin yang dibutuhkan untuk mesin diesel, dengan besaran biaya berkisar Rp 12.000-Rp 15.000 per tangki.
Pembatasan tersebut terpaksa dilakukan untuk menjaga kebutuhan air untuk rumahnya tetap tercukupi.
Karena demikian ramainya permintaan, Sumarni sempat menolak permintaan yang masuk. ”Beberapa waktu lalu, saya sempat menolak permintaan untuk mengisi tiga tangki air. Waktu itu, penyaluran air sudah mencapai 10 tangki dan kebutuhan air sedang tinggi karena kebetulan saya juga sedang membantu untuk kebutuhan hajatan dari salah seorang tetangga,” ujarnya.
Tidak hanya datang dari warga sekitar, permintaan air ini juga berdatangan dari warga lain desa, lain kecamatan yang berjarak lebih dari 15 kilometer dari Kecamatan Sawangan, seperti dari Kecamatan Pakis. Selain dari petani, air juga diberikan kepada mereka yang menjadi penjaja air keliling ke lahan-lahan petani.