Sebagian petani di Sulawesi Selatan mengandalkan pompa. Kekeringan tahun ini lebih parah dibandingkan setahun sebelumnya.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·2 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Sebagian petani di Sulawesi Selatan susah payah menyelamatkan lahan garapannya yang terdampak kekeringan. Di tengah iklim yang tidak pasti, mereka bahkan kesulitan memperkirakan langkah tepat ke depannya.
Mastur Daeng Sitakka, petani di Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa, mengatakan, seiring dangkalnya air dari Bendungan Bili-Bili, ia mulai kesulitan mendapatkan air. Padahal, dia punya sawah yang masih membutuhkan banyak air. Oleh karena itu, ia terpaksa membuat sumur air baru.
Namun, keputusan itu membuatnya harus mengeluarkan biaya Rp 1,5 juta. Dia pasrah jika saat panen hanya mendapatkan sedikit keuntungan. ”Tahun lalu, bulan begini kadang masih ada hujan. Tetapi sekarang tidak ada sama sekali,” kata Mastur, Senin (4/9/2023).
Pada Kamis (31/8/2023), air di Bendungan Bili-Bili surut signifikan. Di bangunan pelimpah, air tak lagi bisa dipompa. Sebagian dasar bendungan sudah tampak. Kondisi tanahnya kering dan retak. Bendungan Bili-Bili di antaranya berfungsi menyediakan air untuk lahan pertanian.
Hermanto, petani sekaligus pemilik penggilingan padi di Kecamatan Paleteang, Kabupaten Pinrang, juga mengatakan, sebagian rekannya membuat sumur baru. Letaknya sengaja dipilih dekat dengan sungai.
”Kalau yang jauh dari sumber air, pasrah saja,” katanya.
Aswar (50), petani Kecamatan Ala Tengngae, Kabupaten Maros, juga pasrah. Dia mengatakan, kekeringan tahun ini lebih parah dari sebelumnya. Ia bahkan sudah tidak menanam palawija. Sungai Leko Pancing yang menjadi sumber air baku dan sebagian untuk lahan pertanian juga kering.
”Mau memompa air tanah juga tidak bisa, sudah kering,” katanya.
Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan Sulsel Muhammad Yunus bersyukur sebagian petani tidak membutuhkan banyak air karena sawahnya sebentar lagi panen. Namun, untuk musim tanam selanjutnya, dia tidak menyarankan petani menanam padi lagi. Untuk sementara, palawija bisa menjadi pilihan karena lebih sedikit membutuhkan air.
”Akan dilihat kondisinya, apakah masih ada air yang bisa dipompa atau tidak. Kalau tidak memungkinkan tanam padi, kami menganjurkan menanam palawija,” kata Yunus.
Sementara itu, di Makassar dan sekitarnya, terjadi kenaikan harga beras berkisar Rp 1.000-Rp 2.000 per kilogram. Beras kualitas rendah, misalnya, sebelumnya dijual Rp 10.000 per kilogram. Kini, harganya naik menjadi Rp 11.000-12.000 per kg.