Di Tengah Polusi, Pilih Olahraga Dalam atau Luar Ruangan?
Polusi Jakarta membuat banyak perubahan pola keseharian masyarakat, termasuk dalam hal berolahraga. Ada yang mulai mengurangi berolahraga di luar ruang, dan ada yang tetap beraktivitas di luar dengan perlakuan tambahan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·6 menit baca
Setiap orang menyikapi berbeda kondisi polusi di Jakarta. Khususnya dalam hal berolahraga, masing-masing punya pertimbangan yang sifatnya sangat personal. Ada yang memilih mengganti olahraga dari luar ruangan menjadi olahraga dalam ruang, ada yang tetap berolahraga di luar ruangan dengan beberapa perlakukan tambahan.
Salah satu sosok memilih mengganti olahraga luar ruangan menjadi dalam ruang adalah pesohor Najwa Shihab (45). Pencinta olahraga lari tersebut sebelumnya rutin lari, apalagi saat pandemi, setidaknya 3-4 kali seminggu. Namun, sekarang ia bisa jadi hanya seminggu sekali. Itu pun dengan mengecek kondisi udara di luar ruangan terlebih dahulu.
”Saya memang salah satu yang mengurangi intensitas berolahraga di luar ruangan saat polusi udara mengkhawatirkan seperti ini. Sejak kualitas udara bikin waswas, saya dengan sengaja memilih treadmill di rumah atau mengganti jenis olahraga saya,” kata Najwa.
Olahraga pengganti dilakukan Najwa, panggilan akrabnya, saat ini adalah strength training dan pilates. ”Saya masih usahakan lari minimal seminggu sekali outdoor, tetapi dengan cek kualitas udara terlebih dahulu, apakah masih oke atau tidak. Atau, olahraga saya ganti dengan pilates dan strength training. Pilates yang sebelumnya hanya seminggu sekali, kini jadi seminggu 2-3 kali. Terus jika biasanya dahulu saya lari tiga kali lanjut strength training satu kali. Sekarang saya balik. Tiga kali strength training dan sekali lari. Karena buat saya, olahraga itu untuk sehat. Tapi, kalau pulang-pulang kena ISPA, ya, bagaimana? Bukannya sehat malah sakit,” katanya. Saat ini, setidaknya 80 persen olahraga Najwa dilakukan indoor.
Memilih olahraga dalam ruangan juga dilakukan oleh Andreas Hugo Pareira (59). Selain mempertimbangkan polusi udara Jakarta, olahraga di dalam ruangan juga merupakan pilihan praktis dan paling mudah bagi anggota DPR RI Komisi X yang memiliki jadwal kerja padat setiap saat.
”Dahulu memang masih suka olahraga outdoor, tetapi lama-kelamaan saya memilih indoor karena lebih praktis. Apalagi sekarang kondisi polusi seperti ini, tidak sehat. Banyak kawan saya juga mengalihkan olahraga dari olahraga luar ruangan menjadi olahraga di dalam ruangan,” kata Andreas.
Saat ditemui sedang nge-gym di apartemen Permata Senayan, Andreas praktis mencoba berbagai peralatan selama lebih kurang 2 jam. Baginya, tidak mungkin ia sama sekali berhenti olahraga dengan alasan polusi atau sibuk kerja karena hal itu akan justru membuat tubuhnya sakit dan tidak sehat.
”Itu sebabnya, saya selalu menyempatkan berolahraga setiap hari, baik usai pulang kerja maupun pagi hari. Jangan berhenti olahraga bagi yang sudah terbiasa karena nanti justru akan terasa sakit semua,” kata anggota Dewan dari daerah pemilihan Nusa Tenggara tersebut.
Memilih olahraga dalam ruangan juga diyakini Atilla (44), warga Hongaria yang kini tinggal sementara di Jakarta, karena ada tugas dari kantornya. Ia rutin berolahraga squash untuk menjaga daya tahan tubuh. Dari apartemennya di Kebayoran Lama menuju tempat latihan squash yang berjarak 2,5 kilometer (km), Atilla juga memilih berjalan kaki.
”Bermain squash itu hobi, untuk kesehatan. Apalagi udara di luar sedang tidak baik. Mungkin olahraga di dalam ruangan ini memang lebih baik. Tetapi, saya juga tetap sering berjalan kaki untuk menjaga kekuatan badan,” katanya.
Satu hal, menurut dia, penting dijaga. Kata Atilla, adalah tetap makan makanan bergizi, tidur berkualitas meskipun tidak panjang, dan mengistirahatkan pikiran. ”Kuncinya ada di sini. Kalau kita mau sehat, kita juga harus berpikir sehat,” katanya.
Melepas beban
Sementara itu, meski polusi udara masih cukup mengkhawatirkan, animo masyarakat berolahraga masih sangat tinggi. Selasa (5/9/2023) malam di GOR Soemantri Brodjonegoro, ramai orang berolahraga di dalam ruang maupun luar ruangan. Salah satunya adalah Rika (46), warga Pondok Labu, di mana saat itu berlatih muaythai indoor.
Beberapa kali, saat gilirannya, dengan lantang ia berteriak seiring kakinya menendang sasaran. Seolah tanpa lelah, ia lalu berganti meninju dengan tangan kanannya pada tangan sang pelatih. Hal itu diulang berulang kali, tetapi Rika tetap berteriak seolah ingin melepas beban bersama teriakan-teriakannya.
Perempuan berambut keriting itu mengaku belakangan ini lebih banyak berolahraga di dalam ruangan ketimbang berolahraga luar ruangan. Ia lupa persisnya kapan ia mulai mengurangi berlatih outdoor. Salah satunya, tentu karena selain kesibukan, juga karena polusi udara di Jakarta yang kian hari kian tidak sehat. ”Kalau olahraga di luar terasa sekali bahwa di badan rasanya lengket dengan debu. Sangat terasa tidak enak. Saya sudah merasakan cuaca Jakarta tidak enak begini sudah hampir setahun lalu,” katanya.
Menurut perempuan yang berkantor di kawasan Gelora Bung Karno tersebut, sebenarnya ia selama ini juga sering olahraga lari di GBK. ”Saya, kalaupun lari saat ini, memilih masih di lokasi-lokasi yang banyak tumbuhannya, yang masih terasa lebih segar. Tidak berlari di tengah kota yang memang rasanya membuat sesak,” kata Rika.
Namun, sejak pandemi lalu disusul polusi, maka saat ini Rika lebih sering membentuk stamina tubuhnya dengan muaythai. Dua kali seminggu ia berolahraga muaythai di GOR Soemantri. ”Saya harus olahraga karena kalau tidak olahraga, rasanya badan akan sakit semua,” katanya.
Meski banyak orang mulai mengurangi olahraga di luar ruangan, tidak sedikit juga yang tetap berolahraga di luar ruangan. Contohnya adalah Inan (43), warga yang tinggal di apartemen di kawasan Sudirman.
Ia sebenarnya sudah tahu bahwa polusi Jakarta kian parah. Bahkan, pukul 07.00 WIB, udara di luar membuat jendela kaca di lantai 10 apartemennya gelap seperti tertutup kabut. Hari-hari seperti itulah yang kini dirasakan oleh Inan, entah sejak berapa lama. Mau senang karena paginya seolah disambut kabut, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan karena itu bukan kabut.
”Itu polusi. Udara tidak sehat. Pantas saja setiap pagi sudah sangat sedikit orang berolahraga di depan apartemen,” kata perempuan berambut panjang sepunggung tersebut. Dahulu, setiap pagi banyak orang joging di depan apartemennya. Namun, belakangan jumlahnya terus berkurang.
Meski dengan kondisi udara seperti itu, Inan mengaku harus terus olahraga lari atau berenang untuk ”pengobatan” sakit di lututnya. ”Saya harus lari atau berenang sesuai dengan saran dokter. Sebab, saya ada sakit di lutut sehingga untuk meredakan sakit itu harus terus olahraga lari atau berenang. Jadi, mau atau tidak, ya, saya tetap harus olahraga di luar ruangan,” kata Inan.
Namun, ia menyadari bahwa aktivitas di luar ruangan dengan kondisi polusi memang berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu, ia dan keluarganya rutin mengonsumsi vitamin dan makan makanan sehat.
”Di luar udara buruk. Di dalam ruangan pun hawanya sangat panas. Makanya, saya memilih terus menyalakan AC seharian sehingga beban listrik bertambah dari Rp 1,3 juta sebulan jadi Rp 1,7 juta sebulan. Tapi, tidak apa-apa daripada kami kepanasan,” kata Inan.
Lolita, warga yang juga tinggal di kawasan Sudirman, mengaku bahwa ia juga tetap berolahraga tenis setiap hari. Bahkan, ia akan mencari di mana pun lapangan tenis kosong di berbagai lokasi demi bisa bermain. ”Tapi, memang udara Jakarta polusi sehingga sampai di rumah saya selalu tidur dengan pembaur esensial oil sebagai aromaterapy. Serta, saya juga gunakan air purifier,” katanya.
Begitulah rupa-rupa orang berolahraga di tengah polusi Ibu Kota. Ada yang memilih di dalam ruangan, ada pula yang tetap berolahraga di luar ruangan, tetapi dengan tambahan perlakuan. Kamu pilih yang mana?