Konflik Pulau Rempang, Pemerintah Diminta Hentikan Pengerahan Aparat
Aparat gabungan mendirikan tujuh pos pengamanan di Pulau Rempang. Warga mengatakan hal itu membuat mereka semakin takut dan resah.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Suasana Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, masih mencekam, Jumat (8/9/2023). Warga cemas saat aparat gabungan menyiagakan pasukan dan mendirikan tujuh pos keamanan.
Juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang, Suardi, Jumat, meminta aparat gabungan kembali ke markas masing-masing.
”Saya heran, katanya mereka mau mengukur lahan dan memasang patok, tetapi kok sampai mengerahkan aparat sebanyak itu. Seharusnya tidak perlu sampai begitu bila pemerintah mau bermusyawarah secara terbuka,” kata Suardi.
Salah seorang warga, Kiptiyah (53), takut dan resah. Penyebabnya, banyak polisi tanpa seragam lalu lalang di kampungnya. Menurut dia, hal itu membangkitkan ingatan saat bentrok warga dengan aparat satu hari sebelumnya.
”Saya masih trauma kalau ingat kemarin, sampai lari ke hutan karena ditembak gas air mata. Sampai hari ini saya belum bisa ngapa-ngapain, badan rasanya lemas semua,” ujar Kiptiyah.
Konflik agraria di Pulau Rempang bermula ketika Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Rempang, yang jumlahnya lebih kurang 7.500 jiwa. Hal itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang.
Di Pulau Rempang akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata. Proyek yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080.
Sebelumnya, Ketua KERAMAT Gerisman Ahmad mengatakan, di Pulau Rempang terdapat 16 kampung tua atau permukiman warga asli. Warga asli yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat ini diyakini telah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834.
Menurut Gerisman, proyek Rempang Eco City seharusnya bisa dibangun tanpa menggusur permukiman adat. Luas 16 titik permukiman adat di Rempang tidak sampai 10 persen dari total luas pulau itu yang mencapai 17.000 hektar.
Konflik agraria di Pulau Rempang mencapai puncaknya saat terjadi bentrokan di Jembatan Barelang IV pada 7 September 2023. Peristiwa itu terjadi saat ratusan warga berupaya menghadang aparat gabungan yang akan mematok dan mengukur lahan terkait proyek Rempang Eco City.
Menurut Kepala Polresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto, ada 1.010 aparat gabungan yang dikerahkan untuk mengawal pengukuran dan pematokan lahan di Rempang. Aparat gabungan itu terdiri dari Polri, TNI, Satpol PP, dan Direktorat Pengamanan BP Batam.
Ia mengatakan, tujuh dari delapan warga yang ditangkap dalam bentrokan sebelumnya telah ditetapkan menjadi tersangka. Selain itu, tambah Nugroho, hari ini polisi juga mendirikan tujuh pos keamanan di Rempang.
”Pos ini kami bikin karena pada 28 September nanti, berdasarkan informasi dari BP Batam, Pulau Rempang harus sudah clean and clear untuk diserahkan kepada PT MEG,” ucapnya.
Terkait situasi di Pulau Rempang yang terus memanas, Gubernur Kepri Ansar Ahmad mengatakan telah menemui tokoh warga untuk mencari solusi atas konflik agraria ini. Menurut dia, pemerintah provinsi masih dalam tahap mendengarkan aspirasi warga.
Ia berharap, ke depan, warga dapat makin memahami upaya pembangunan ekonomi Rempang yang tengah diupayakan pemerintah. Rencana pengembangan investasi harus tetap berjalan demi meningkatkan kesejahteraan warga.
Ansar menyebutkan, persoalan di Rempang akan coba diselesaikan pemprov tanpa harus mengadu ke pemerintah pusat. ”Malu juga kami kalau harus ke pusat, karena ada gubernur dan BP Batam yang diberi kewenangan penuh,” ucapnya.
Anggota Komisi IV DPRD Kepri, Uba Ingan Sigalingging, mengatakan, pemerintah harus segera menarik aparat yang masih bersiaga di Rempang. Ia menilai kehadiran aparat dalam jumlah besar di Rempang merupakan bentuk intimidasi terhadap warga yang menolak penggusuran kampung adat.
”Kami akan menggalang koalisi masyarakat untuk mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo agar segera mengambil tindakan terkait penanganan konflik di Rempang,” ujar Uba.
Lewat pernyataan tertulis, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro mendesak penghentian pengerahan pasukan di Rempang. Selain itu, Komnas HAM meminta pemda memulihkan kondisi warga dan anak-anak korban kekerasan dan trauma.