Habiskan Anggaran Ratusan Miliar, Sentra Perikanan Natuna Belum Berfungsi Optimal
Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu Natuna di Kepulauan Riau belum berfungsi optimal. Pembangunan pelabuhan perikanan terpadu yang menghabiskan anggaran ratusan miliar itu pun terkesan mubazir.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
NATUNA, KOMPAS — Empat tahun setelah rampung dibangun, Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) di Natuna, Kepulauan Riau, belum dapat berfungsi secara optimal. Kemitraan pemerintah daerah dan nelayan tradisional untuk mengelola fasilitas di SKPT dinilai bisa menjadi solusi untuk mengoptimalkan pelabuhan perikanan terpadu itu.
Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda, Senin (4/9/2023), mengatakan, pembangunan SKPT Natuna terkesan mubazir. Sejumlah fasilitas di SKPT, seperti tempat penyimpanan ikan (integrated cold storage) dan tempat pelelangan ikan, belum berfungsi.
”Sebenarnya, nelayan akan datang ke SKPT kalau di sana harga dan fasilitasnya memadai. Namun, kini nelayan masih memilih menjual tangkapannya kepada pengepul lokal karena mereka menawarkan harga dan kerja sama yang lebih menguntungkan,” kata Rodhial.
Pembangunan SKPT Natuna yang selesai pada Oktober 2019 itu menghabiskan anggaran Rp 221,7 miliar. Pelabuhan perikanan terpadu dengan luas 5,8 hektar di sisi selatan Pulau Natuna itu dilengkapi dengan tempat pelelangan ikan, integrated cold storage, fasilitas air bersih, dan stasiun pengisian bahan bakar (Kompas, 9/1/2020).
Berdasarkan pantauan di SKPT Natuna, Selasa (29/82023), kurang dari 10 kapal yang melakukan bongkar muat di lokasi tersebut. Kapal-kapal itu pun hanya menimbang muatan di SKPT Natuna lalu ikan hasil tangkapan langsung dimasukkan kembali ke kapal untuk dibawa ke Jawa.
Syahbandar Perikanan di SKPT Natuna, Sholihin, mengakui, SKPT Natuna baru memberikan layanan yang bersifat administratif, seperti penerbitan izin layar dan surat laik operasi. Adapun aktivitas pelelangan dan pengolahan ikan belum berjalan.
”Sebelumnya, integrated cold storage di SKPT dikelola oleh Perindo (PT Perikanan Indonesia). Namun, kini mereka hengkang karena merugi saat pandemi Covid-19,” ujar Sholihin.
Menurut Sholihin, SKPT diharapkan bisa berfungsi lebih maksimal setelah Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berlaku penuh. Menurut peraturan tersebut, kapal-kapal penangkap ikan diwajibkan bongkar muat di pelabuhan terdekat yang telah disepakati.
”Setelah kapal-kapal ikan yang beroperasi di Laut Natuna Utara diwajibkan bongkar muat di SKPT, harus segera dipikirkan ke mana ikan tangkapan itu kemudian akan dipasarkan. Itu yang masih menjadi soal,” ujar Sholihin.
Terkait hal itu, Rodhial menilai, pemerintah pusat harus membidik pasar ekspor untuk menjual hasil tangkapan nelayan dari Laut Natuna Utara. Sebab, ikan demersal yang ditangkap nelayan amat diminati dan harganya tinggi di luar negeri.
”Sebenarnya mudah saja kalau SKPT ingin cepat menghasilkan uang. Bikin bandara perikanan internasional. Singapura dan Hong Kong merupakan dua pasar yang paling potensial untuk menampung ikan segar dari Natuna,” kata Rodhial.
Rodhial menambahkan, sektor kelautan dan perikanan di Natuna perlu segera dioptimalkan mengingat situasi keamanan Laut Natuna Utara yang terus bergolak. Dia mengingatkan, laut Indonesia harus dipenuhi dengan kapal nelayan dan kapal niaga agar sumber dayanya tidak diambil kapal berbendera asing.
”Kalau laut penuh kapal nelayan, selesai urusan illegal fishing. Tak perlu kapal berukuran besar, kapal kecil pun bisa asal jumlahnya banyak,” ujar Rodhial.
Persoalan SKPT Natuna yang tidak kunjung dapat berfungsi dengan optimal sebenarnya sudah berulang kali dibicarakan. Saat berkunjung ke Natuna pada awal Januari 2020, Presiden Joko Widodo juga berjanji akan memperbaiki fasilitas di SKPT Natuna agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat nelayan.
Sebenarnya, nelayan akan datang ke SKPT kalau di sana harga dan fasilitasnya memadai.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan, seharusnya pemerintah dapat merangkul pengepul ikan lokal di Natuna untuk bermitra dengan SKPT. Ia menilai, hal ini bisa dimulai dengan pembentukan semacam koperasi nelayan oleh pemerintah daerah.
”Dulu, yang terjadi justru SKPT bersaing dengan pengepul. Akhirnya SKPT kalah karena sudah turun-temurun nelayan di Natuna bergantung dengan para tauke (pengepul ikan) mereka,” kata Hendri.
Ketergantungan nelayan kepada tauke ini dimulai dari mereka membeli kapal dengan pinjaman dari tauke. Di Natuna, relasi nelayan dengan tauke ini tidak selau bersifat seperti pengusaha dan buruh. Sebab, tauke sering kali juga mengurus kebutuhan lain nelayan, seperti biaya pengobatan keluarga nelayan atau kebutuhan sekolah anak nelayan.