Satu Harapan untuk Bumi dan Masyarakat Adat
Harapan yang sama bagi masa depan bumi tercurahkan dari publik dan para pemangku kebijakan di Jambi. Warga pedalaman hingga mahasiswa melebur suarakan semangat menjaga bumi tetap lestari.
Pameran Foto Jurnalistik di Jambi, 25-27 Agustus lalu, menyatukan harapan besar, menjaga bumi untuk menjaga kehidupan manusia berikut seluruh masyarakat adat yang tersisa.
Harapan yang sama tercurah di sepanjang rangkaian Pameran Foto Jurnalistik Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi di Taman Budaya Jambi. Tak hanya disampaikan warga komunitas adat pedalaman, hal itu juga diungkapkan mahasiswa, pelajar, dan pejabat daerah.
”Orang Rimba bahagia menyambut musim buah tiba di hutan. Tapi, itu sudah berubah,” kata Mijak Tampung, anggota komunitas Orang Rimba, dalam seminar ”Menggali Inklusivitas Komunitas Adat untuk Masa Depan” yang menjadi salah satu sesi rangkaian acara.
Hal senada dikemukakan Juliana, perempuan rimba yang berjuang meraih pendidikan tinggi, serta pimpinan kelompok Orang Rimba, Temenggung Njalo, dan Mluring. Mereka duduk bersama Kepala Balai Taman Nasional Bukit Dua Belas Yunaidi yang turut mengungkapkan harapan serupa.
Menurut Mijak, perubahan hutan tempat komunitasnya bernaung tidak membuat sebagian Orang Rimba tak berdaya. Tahun ini paling dirasakan dampaknya. Agustus ini, dua anak Orang Rimba yang meninggal karena TB (tuberculosis) di wilayah Batanghari. ”Sekarang penyakit di Orang Rimba lebih banyak, bukan batuk atau pilek saja,” ujarnya.
Kehilangan hutan menyebabkan interaksi lebih tinggi dengan dunia di luar rimba. Mereka memercayai kondisi itu berakibat penyebaran penyakit yang makin luas serta masalah baru kesehatan yang makin kompleks. Tak mudah lagi diatasi dengan obat-obatan alam yang ada.
Tidak hanya di hutan, keluhan serupa terjadi di pesisir. Perwakilan Suku Duano, M Alif dan ayahnya, datang dari pesisir timur menuju Kota Jambi turut hadir menyaksikan pameran foto itu. Ia pun menyampaikan kekhawatiran masyarakat Duano. Selama turun-temurun mereka hidup bergantung pada hasil laut.
”Kalau dulu 50 kilogram kerang bisa mudah kami dapatkan. Kalau sekarang, untuk mendapatkan 15 kilogram saja butuh waktu seharian,” katanya.
Warga suku Batin Sembilan, Teguh Santika dan Kindo, yang mewakili suku Talang Mamak khawatir akan masa depan mereka. ”Dari nenek moyang sampai sekarang, sumber pencarian utama berasal dari hutan, tetapi situasinya kini sudah berubah,” kata Kindo.
Baca juga: Bumi Bukan Lagi Memanas, tetapi Mulai Mendidih
Kehancuran hutan turut dipicu ulah pendatang yang membakar, menebangi, hingga merambah. Keragaman vegetasi yang menjadi sumber pangan dan obat-obatan kini terancam oleh monokultur.
”Kami sampai harus berpatroli untuk melawan para perusak hutan,” kata Teguh Santika.
Adapun Juliana, perempuan pertama di komunitas Orang Rimba wilayah Pelepat, Bungo, beradaptasi lewat jalan pendidikan.
”Awalnya orangtua menentang karena perempuan pantang pergi jauh dari kelompok dan keluarga. Tapi, saya ingin menjadi contoh untuk adik-adik untuk punya cita-cita dan masa depan yang baik,” ucapnya.
Butuh kolaborasi
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Yunaidi mengatakan, butuh kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan komunitas adat itu sendiri. ”Kita butuh kolaborasi bersama untuk menjawab tantangan masyarakat adat dalam menghadapi dampak perubahan iklim,” katanya.
Baca juga: Orang Rimba dan Penyembuhan dari Tengah Hutan
TNBD yang menjadi rumah bagi Orang Rimba coba dijaga dan ditata ruangnya bersama-sama. Hasilnya terangkum dalam dokumen zonasi TNBD yang menyelaraskan aturan formal dan hukum adat Orang Rimba.
Kita butuh kolaborasi bersama untuk menjawab tantangan masyarakat adat dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Pihaknya mendata Orang Rimba hidup berkelompok di TNBD. Ada 13 kelompok berpopulasi 2.960 jiwa yang bermukim selama turun-temurun. Setiap kelompok memiliki wilayah adat yang tercakup dalam keluasan 54.780,41 hektar di TNBD.
Yunaidi menambahkan, pengakuan atas adat Orang Rimba dan kearifan lokal diperkuat lewat serangkaian riset dan uji laboratorium. ”Telah dilakukan uji farmakologi pada 87 jenis tumbuhan obat Orang Rimba,” ucapnya.
Direktur Pundi Sumatera Dewi Yunita menyebut pendampingan dan pemberdayaan diperlukan bagi komunitas adat agar mandiri menghadapi perubahan. ”Mereka perlu mendapatkan hak-hak dasar sebagai warga negara melalui layanan adminduk (administrasi kependudukan), kesehatan, pendidikan, dan pengembangan ekonomi,” katanya.
Jaiharul Maknun, Pelaksana Proyek Komunitas Konservasi Indonesia Warsi menyebut, kekhawatiran dampak perubahan iklim pada Orang Rimba sangat tinggi. Berdasarkan penelitian kolaborasi yang dilakukan lembaganya bersama peneliti menunjukkan keragaman penyakit yang tidak mampu lagi ditangani secara tradisional, di antaranya malaria, demam berdarah, TB, dan Hepatitis.
Dampak langsung perubahan iklim dan alih fungsi hutan terhadap berkurangnya sumber pangan juga dirasakan komunitas pedalaman itu dari makin menipisnya madu hutan dan makin langkanya hewan buruan. Selain itu, produksi getah jernang, rotan manau, dan damar makin menyusut.
Perubahan ruang hidup dan ditambah iklim global membuat secara budaya Orang Rimba kehilangan sistem kehidupan (geger budaya), hilangnya kemampuan beradaptasi atau bertahan hidup dan hilangnya harapan masa depan.
Baca juga: Kala Obat Rimba di Ambang Punah
Kepala Polda Jambi Inspektur Jenderal Rusdi Hartono yang membuka Pameran Foto Jurnalistik PFI Jambi berpesan pentingnya melestarikan warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat adat. Salah satu kepedulian Polda direalisasikan lewat rekrutmen ”Polisi Rimba” yang mengakomodasikan anak-anak muda pedalaman menjadi polisi rimba.
Ia pun secara khusus menorehkan pesan tertulis yang disematkan pada pohon harapan bertuliskan ”semoga bumi kembali ke awal sehingga kita bahagia di atasnya”. Dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya masyarakat adat, kata Rusdi, para pihak selayaknya mengambil langkah-langkah kuat menghadapi perubahan iklim yang semakin nyata.
Pameran itu menyajikan 82 karya foto jurnalistik hasil karya para jurnalis di Jambi. Selain pameran, dilangsungkan seminar, talkshow suku-suku, pelatihan menganyam, lomba foto, beasiswa ”Bemalom” alias bermalam di suku anak dalam, serta pelatihan foto jurnalistik bagi mahasiswa dan publik. Pameran itu juga menyajikan karya-karya kerajinan tangan dan hasil alam dari pedalaman Jambi.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Imron Rosyadi menyebut, beragam jenis tanaman obat di rimba sangat penting untuk dilestarikan. Kepala Taman Budaya Jambi Eri Argawan menambahkan, kolaborasi pameran foto ini diharapkan menggugah kepedulian publik yang lebih luas untuk melakukan aksi peduli pada persoalan iklim, masyarakat adat, dan kelestarian lingkungan hidup. ”Khususnya generasi muda bisa terlibat aktif di dalamnya,” katanya.