Ancaman perpecahan seolah tak pernah berhenti menyerbu negeri yang bineka ini. Pancasila menepis semua ancaman itu. Presiden Ke-1 Soekarno kembali ”turun gunung” untuk merawat nilai luhur tersebut.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Ancaman perpecahan seolah tak pernah berhenti menyerbu negeri yang bineka ini. Namun, serangannya selalu mentah mengingat segenap anak bangsa memegang Pancasila sebagai pedoman hidupnya. Demi merawatnya, sang proklamator, Presiden Ke-1 Soekarno kembali ”turun gunung” untuk menyemai benih-benih nilai luhur dari filosofi tersebut dalam wujud lain.
Musik gamelan mengalun megah pada sore yang sejuk di Omah Petroek, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (23/8/2023) sore. Seorang penari menjemput putri Presiden Ke-1 Soekarno, Megawati Soekarnoputri, beserta rombongannya untuk melangkah bersama menuju ke sebuah patung besar pada salah satu sudut. Patung setinggi enam meter itu dibalut kain hitam.
Sesaat kemudian, Megawati sampai ke hadapan sebuah mimbar yang dipasangi tombol merah. Tanpa berlama-lama, ia memencet tombol itu. Terkuaklah sosok patung di balik kain hitam tersebut. Tampak Soekarno sedang berdiri tegap. Tangan kirinya menenteng buku, sedangkan telunjuk kanannya menunjuk ke bendera merah putih. Sorot matanya tajam seperti membawa suatu pesan.
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri berorasi saat menghadiri acara peresmian patung Bung Karno di Omah Petroek, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (23/8/2023).
Patung itu dibuat seniman asal Yogyakarta, Dunadi. Inspirasinya datang tiba-tiba sewaktu berkunjung ke Omah Petroek. Ia kagum dengan kesejukan yang penuh nuansa toleran dari sana. Ada sejumlah instalasi dan karya seni yang menggambarkan tema itu. Misalnya, ada beberapa titik dipajang patung Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang kiprahnya perihal kerukunan tak perlu diragukan lagi. Karya seni itu diberikan kawan-kawannya sesama seniman untuk tempat tersebut.
Dunadi terpikir untuk menyumbangkan patung Soekarno. Rencana itu diperolehnya setelah melihat koleksi perpustakaan di tempat itu yang memiliki berbagai buku tentang Pancasila. Apalagi, ia sudah sering membuat patung ”Sang Proklamator”. Sejak 1982, sudah ada sekitar 30 patung bertema bapak bangsa yang dibuatnya. Beberapa di antaranya pernah diresmikan pula oleh Megawati, seperti yang berdiri, di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta.
”Dengan maksud, beliau ini penggali Pancasila. Beliau membawa buku dan menunjuk bendera. Itu sedang memperingatkan kita,” kata Dunadi di sela-sela acara peresmian patung itu.
Dunadi memaknai lokasi berdirinya patung secara khusus. Kebetulan tempat itu berada di kaki Gunung Merapi. Menurutnya, seolah-olah Soekarno sedang turun langsung ke tengah-tengah masyarakat untuk mengingatkan kembali pentingnya bersatu melalui Pancasila.
”Desa ini ada di kaki gunung. Berarti, Bung Karno sedang turun gunung. Ini memberi petunjuk kepada kita semua, kepada generasi muda, bahwa Pancasila harus kita gali dan kita lestarikan,” ujar Dunadi.
Pimpinan Omah Petroek GP Sindhunata menyampaikan, kekokohan patung itu seperti mengingatkan anak bangsa untuk setia pada Pancasila. Demi menegaskan kekokohan itu, dipahatkan pula lima butir Pancasila pada lima batu dari Gunung Merapi. Lima buah batu itu diletakkan mengelilingi patung tersebut.
Secara artistik, letak patung itu semakin indah karena berada di atas sebuah batu besar. Itu merupakan batu Merapi, yang sebelumnya terdapat di Kali Boyong, di lereng Omah Petroek. Perlu diingat, Gunung Merapi sudah ada bermiliar-miliar tahun lamanya. Lantas, batu Merapi sekaligus mengandung makna kepurbaan dan keabadian.
”Demikian pula Pancasila adalah sebuah kepurbaan dan keabadian. Artinya, Pancasila itu ada, bahkan sebelum kita semua ada. Juga, Pancasila itu sudah ada sebelum kita terbentuk secara politik menjadi sebuah negara kesatuan Indonesia,” kata Sindhunata.
Sebagaimana Soekarno pernah mengungkapkannya sendiri. Pancasila bukan ia ciptakan. Ia menggalinya jauh sampai dasar Bumi Nusantara dengan berbagai tradisi yang hidup di negeri ini. Kemudian, ia memperoleh lima butir indah yang sekarang menjadi pedoman hidup seluruh bangsa.
Sebagai perasaan bangsa, Pancasila kiranya mengandung pengalaman transendental bangsa. Itu tidak bisa disempitkan dalam agama. Karena itu, agama juga harus menghargai dan menghormatinya.
Lebih lanjut, Sindhunata memaknai Pancasila sebagai perasaan bangsa Indonesia. Konteks itu mendudukkan ideologi tersebut sangat manusiawi. Ada pihak-pihak yang bisa terluka jika Pancasila dilukai. Oleh karenanya, tak ada doktrin yang boleh melukai Pancasila. Tanpa terkecuali doktrin agama.
”Sebagai perasaan bangsa, Pancasila kiranya mengandung pengalaman transendental bangsa. Itu tidak bisa disempitkan dalam agama. Karena itu, agama juga harus menghargai dan menghormatinya,” kata Sindhunata.
Menurut Sindhunata, perasaan Pancasila tidak akan habis digali. Pasalnya, perasaan itu sedalam dan sekaya perasaan bangsa Indonesia. Meski demikian, ia merasa, seluruh anak bangsa hendaknya tak pernah berhenti menggali filosofi tersebut. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan menjadi jalan paling ampuh untuk melakukan penggalian itu.
Dengan begitu, lanjut Sindhunata, selaras sudah dipilihnya Omah Petroek sebagai lokasi berdirinya patung Soekarno. Sebagaimana Soekarno, ada banyak tokoh yang bersemayam di tempat tersebut melalui berbagai buku dan karya seni, seperti Driyarkara, Ernest Douwes Dekker, Dick Hartoko, Zoetmulder, Gus Dur, hingga Jakob Oetama.
”Semua mereka adalah intelektual yang tak terlepas dari buku. Seperti mereka, selain politikus dan negarawan, Bung Karno adalah intelektual dan kutu buku tulen. Itu terbaca dalam karya tulis dan pidatonya yang amat kaya wawasan,” kata Sindhunata.
Bagi Sindhunata, peresmian patung itu semakin istimewa karena dihadiri langsung Megawati. Ia tak menyangka, Megawati berkenan mendatangi acara yang digelar di desa pelosok. Lebih-lebih pergelaran acara cukup sederhana meski sosok yang dibahas ialah tokoh besar. Pihaknya menduga ada pesan yang ingin disampaikan semesta yang seakan mendukung terselenggaranya ajang tersebut.
Secara simbolik, ungkap Sindhunata, publik seperti diajak untuk terus mencintai Pancasila. Keberadaan patung di desa sederhana itu juga seolah memperingatkan semuanya untuk senantiasa memedulikan kecintaan Soekarno, yakni wong cilik. Apalagi, mereka yang miskin dan menderita.
”Maka, peristiwa hari ini bukanlah peristiwa politik, tetapi peristiwa budaya dan kemanusiaan. Peristiwa yang mengingatkan agar kita kembali kepada Marhaen, dan menggali kekayaan batinnya, potensinya, kekuatan produksinya, harapannya, tekadnya untuk melawan kemiskinan, serta cita-citanya akan keadilan dan pembebasan dari segala penindasan,” kata Sindhunata.
Dalam pidatonya, Megawati menyatakan agar rakyat tak perlu ragu untuk mengundangnya untuk mendatangi acara-acara sederhana semacam itu. Ia mengenang masa-masa sewaktu menjabat anggota DPR. Kala itu, ia menemui petani di pematang sawah. Bahkan, pihaknya tidak merasa keberatan jika sekadar duduk lesehan. Sudah semestinya seorang pemimpin itu tak menjadi sosok elitis.
Berada di Omah Petroek, Megawati juga teringat masa kecilnya yang dikenalkan kesenian oleh sang ayah. Sejak usia lima tahun, ia diminta ayahnya belajar menari hingga diharuskan menonton wayang. Baru setelah dewasa, ia menyadari pentingnya kesenian. Ada olahtubuh sekaligus olahrasa yang menimbulkan getaran di hati. Seperti halnya Pancasila hendaknya diresapi dengan perasaan ke dalam jiwa segenap anak bangsa.
”Saya beruntung masih ada tempat-tempat seperti ini. Ini artinya tidak mudah untuk menggeser kepribadian di bidang budaya. Sebab, perasaan itu menurut saya menimbulkan suatu getaran di hati,” kata Megawati.