Selesaikan Konflik Agraria di Air Bangis, DPRD Sumbar Didorong Bentuk Pansus
DPRD Sumbar didorong membentuk panitia khusus untuk menyelesaikan konflik agraria di Nagari Air Bangis, Pasaman Barat. Pansus dibutuhkan agar konflik itu bisa segera dituntaskan.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — DPRD Sumatera Barat didorong membentuk panitia khusus untuk menyelesaikan konflik agraria di Jorong Pigogah Patibubur, Nagari Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar, yang memanas akhir-akhir ini. Pansus dibutuhkan agar konflik agraria antara masyarakat dan koperasi serta pemerintah daerah bisa dituntaskan.
Usulan untuk membentuk panitia khusus (pansus) tersebut mengemuka dalam audiensi DPRD Sumbar dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar beserta Jaringan Pembela Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Sipil Sumbar, Selasa (22/8/2023), di Padang.
Kepala Biro Komunikasi dan Jaringan Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumbar Riki Hendra Mulya mengatakan, dalam konflik agraria di Air Bangis, ada indikasi kelompok tertentu ingin merampas lahan kebun sawit yang dikelola masyarakat secara turun-temurun dengan dalih proyek strategis nasional (PSN).
Pria yang karib dipanggil Warik itu menjelaskan, lahan yang dikelola warga dulunya adalah bekas izin hak pengusahaan hutan (HPH) di era Presiden Soeharto. HPH itu mengambil kawasan masyarakat secara paksa. Saat kawasan HPH ditelantarkan, warga kembali menggarap kawasan yang sekarang berstatus hutan produksi itu tanpa persoalan.
”Ketika tanah-tanah itu sudah produktif dan menghasilkan uang, justru menjadi sumber masalah. Jadi, siapa yang jahat dan merampok? Kami berharap kawan-kawan legislator membentuk pansus untuk konflik ini. Siapa sih penguasa tanah di Air Bangis ini?” kata Warik.
Konflik agraria di Nagari Air Bangis memanas beberapa tahun terakhir. Puncaknya, pada Sabtu (5/8/2023) lalu, aparat kepolisian memulangkan paksa warga Jorong Pigogah Patibubur yang beristirahat di Masjid Raya Sumbar di sela-sela menyampaikan aspirasi. Belasan warga, mahasiswa, dan aktivis sempat ditangkap aparat, bahkan beberapa di antaranya mendapatkan tindak kekerasan.
Sebelumnya, sejak Senin (31/7/2023), sekitar 1.500 warga Jorong Pigogah Patibubur didampingi mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sumbar di Padang. Ada sejumlah tuntutan yang mereka sampaikan, antara lain mencabut usulan PSN seluas 30.000 hektar yang mencakup perkebunan dan permukiman warga.
Massa juga menuntut agar lahan yang mereka kelola secara turun-temurun dikeluarkan dari status hutan produksi. Mereka menuntut pula agar anggota petugas Brimob yang menjaga lahan program hutan tanaman rakyat (HTR) yang dikelola koperasi serba usaha (KSU) di kawasan itu ditarik. Hal ini karena lokasi HTR juga tumpang tindih dengan lahan masyarakat.
Selain itu, massa menuntut agar dua orang yang ditahan Polda Sumbar karena membeli hasil panen petani dibebaskan. Keduanya ditahan karena dituding membeli hasil kebun sawit dalam kawasan hutan tanpa perizinan. Selama ini, hasil kebun sawit warga hanya boleh dijual ke koperasi dengan harga murah. Massa juga menuntut monopoli oleh koperasi dihentikan.
Warik juga menyoroti keberadaan koperasi yang memonopoli hasil kebun sawit warga. Izin hutan tanaman rakyat (HTR) yang dimiliki perusahaan dan dikelola koperasi semestinya hanya bisa menampung hasil tanam hutan nonkayu, seperti buah-buahan, cengkeh, rotan, manau, dan madu, bukan hasil kebun sawit. Walakin, tindakan koperasi justru didukung pemerintah dan aparat sehingga para pembeli lain dipidanakan.
Dalam audiensi dengan DPRD Sumbar, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumbar Wengki Purwanto menjelaskan secara menyeluruh duduk perkara konflik agraria di Air Bangis. Dia menyebut, warga sejak puluhan tahun mengelola dan bermukim di kawasan yang belakangan berstatus hutan produksi tersebut.
Konflik justru terjadi ketika ada program HTR seluas 1.590 hektar yang dikelola oleh koperasi. Kawasan izin HTR yang terbit tahun 2014 itu tumpang tindih dengan lahan kelola warga. Konflik meruncing ketika lahan kelola warga masuk dalam usulan PSN dari Pemprov Sumbar seluas 30.000 hektar. Sejumlah warga dan tauke dipidanakan karena dituding memanen dan membeli hasil kebun sawit di dalam kawasan hutan produksi tanpa izin.
”Ini sebenarnya mau investasi atau mau menarget apa di lahan seluas 30.000 hektar itu? Di satu sisi masyarakat dipenjarakan karena masuk kawasan hutan, di sisi lain perusahaan (yang menjalankan PSN) akan menyingkirkan hutan itu,” kata Wengki.
Wengki mengatakan, SPI sejak lama menawarkan skema tanah obyek reforma agraria (TORA) untuk penyelesaian konflik agraria di Air Bangis. Semua kawasan hutan berkonflik bisa diselesaikan melalui perhutanan sosial yang lebih mengedepankan hak asasi manusia.
”Akan tetapi aparat justru lebih bersemangat menegakkan hukum pidana. Semua laporan yang masuk model A, yaitu tindak pidana yang ditemukan aparat. Tauke kampung ditangkap, sedangkan koperasi yang dijaga aparat tidak ditangkap. Masyarakat sulit menjual sawit, sedangkan pemerintah mengarahkan jual ke koperasi,” ungkapnya.
Ketika tanah-tanah itu sudah produktif dan menghasilkan uang, justru menjadi sumber masalah. Jadi, siapa yang jahat dan merampok?
Menurut Wengki, kondisi tersebut sangat memprihatinkan. Saat pemerintah pusat mengampuni perusahaan-perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan dengan skala besar, aparat di Sumbar justru menangkap dan mempidanakan masyarakat kecil.
Selain penyelesaian konflik secara menyeluruh, Wengki juga meminta DPRD Sumbar mengupayakan agar Pemerintah Provinsi Sumbar memastikan masyarakat bisa memanen dan menjual hasil kebun tanpa dipaksa harus menjual ke koperasi. Selain itu, ia juga meminta DPRD berdialog dengan Polda Sumbar agar menarik Brimob dari lapangan.
Wakil Ketua Komisi I DPRD Sumbar Maigus Nasir mengaku setuju dengan usul pembentukan pansus untuk mendalami persoalan di Air Bangis. ”Kami setuju dibentuk pansus karena tidak bisa satu komisi menghadapinya, tetapi lintas komisi,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Sumbar Suwirpen Suib menuturkan, DPRD bersama Pemprov Sumbar akan mencarikan solusi terbaik bagi masyarakat Air Bangis. Terkait usulan membentuk pansus, dia menyebut, perlu ada rapat lebih lanjut.
”Kalau memang diperlukan (pansus), bisa saja (dibentuk), tetapi perlu kami pertimbangkan. Banyak yang harus kami mintai pendapat. Kami belum memutuskan membentuk pansus atau tidak, nanti kami musyawarahkan,” kata Suwirpen.
Adapun Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozarwardi Usama Putra mengatakan, pihaknya bakal akan mengomunikasikan hasil audiensi dengan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. ”Kami konsolidasikan dan laporkan dulu ke pimpinan. Nanti akan kami informasikan dan laporkan kembali ke pimpinan dewan,” katanya.