”Sungai itu dalam kepala saya, ya, soal buaya, sungai dalam, naga, dan banyak lagi cerita yang saya dengar,” ungkapnya di Palangkaraya, Sabtu (19/8/2023).
Andre dan 12 mahasiswa lainnya memulai perjalanan itu dari Desa Talio Hulu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Minggu (6/8/2023), dan berakhir pada Rabu (16/8/2023). Hari pertama mendayung semuanya tampak mudah. Namun, ancaman datang pada hari-hari berikutnya saat memasuki wilayah Desa Gohong, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng.
Tepatnya di bawah jembatan, arus sungai yang seharusnya mengalir dari hulu ke hilir berbalik arah. Mereka mendayung melawan arus mempertahankan perahu karet sewaan dari Basarnas Palangkaraya untuk tetap berada di tengah.
Semuanya tegang. Puluhan kali mendayung perahu karet hanya bergeser beberapa sentimeter. Begitu terus selama delapan jam mendayung.
Setelah arus deras bisa dilalui, mereka berhenti di desa terdekat memasang kemah dan mulai berbincang dengan penduduk setempat. ”Rasanya itu tanah masih bergoyang, rumah-rumah juga ikut bergoyang,” kata Andre mengingat kembali momen itu.
Di hutan tempat mereka memasang kemah, Andre dan kawan-kawannya menelusuri hutan mencari apa pun yang mereka bisa makan. Sebagian besar merupakan buah-buahan hutan, mulai dari asam hingga mangga hutan.
Sejauh itu, bagi Andre, kondisi wilayah yang dilalui tampak baik-baik saja. Semuanya berubah ketika mereka mulai memasuki wilayah Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau. Di situ, setiap mendayung, mereka melihat abrasi di mana-mana, pohon-pohon tumbang, sampah berserakan di sungai, hingga penambangan-penambangan ilegal. Baik penambangan emas maupun penambangan pasir di sana mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) dari Comodo Mapala Universitas Palangkaraya melakukan ekspedisi mengarungi Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah, sejak Minggu (6/8/2023) lalu hingga 16 Agustus 2023. Selain mengarungi sungai, mereka juga singgah di 10 desa sekitar sungai untuk memotret kehidupan masyarakat pinggir sungai.
Kengerian itu mereka potret bukan lewat kamera saja. Mereka turun dari perahu karet, melepas jaket pelampung, lalu berbincang dengan masyarakat. Mereka mencari penyebab kerusakan lingkungan yang parah di situ.
Cristian David (20), Ketua Pelaksana Ekspedisi Kahayan II, mendapatkan jawaban itu setelah berbincang-bincang dengan warga, bahkan juga mengikuti kegiatan mereka. Mulai dari mencari ikan di sungai, sampai mencari getah pohon damar (Agathis dammara).
”Mereka (petambang ilegal) terdesak untuk melakukan itu karena memang tidak punya banyak pilihan untuk menyambung hidup,” ungkap David.
Selain itu, ia menambahkan, melakukan aktivitas ilegal mendatangkan banyak cuan lebih cepat. Warga sejatinya sadar jika penambangan ilegal itu merusak lingkungan. Dampaknya nyata, sungai menjadi keruh, tanah pasir yang naik ke permukaan, sampah di mana-mana, hingga abrasi.
”Warga sekarang tidak bisa lagi mengonsumsi air sungai yang keruh, seperti bau besi berkarat. Hal yang 10-20 tahun lalu masih bisa dilakukan sekarang tidak bisa lagi. Bahkan, air pun beli,” katanya. David yang berasal dari daerah aliran sungai (DAS) Barito melihat keresahan yang sama terjadi di hampir setiap DAS di Kalteng.
Baca juga: Mari Melirik Kehidupan di Sungai Kahayan
Di sela-sela kegiatan, para mahasiswa pencinta alam itu singgah di sekolah-sekolah untuk mengenalkan cara menjaga lingkungan dengan sederhana, yakni dimulai dari mengelola sampah. Mereka juga mengingatkan siswa dan anak-anak muda terkait dampak buruk dari penambangan ilegal tersebut.
Sungai adalah urat nadi kehidupan, karena itu harus dirawat dan dijaga. Merusak sungai berarti merusak kehidupan. Sungai rusak, maka kehidupan di sekitar sungai pun rusak. (Marko Mahin)
Ekspedisi itu berlangsung selama 11 hari mengarungi sungai dengan total panjang 220 kilometer. Setiap hari mereka menghabiskan 8-9 jam mendayung di atas perahu karet. Setidaknya mereka singgah di 10 desa di sepanjang DAS Kahayan yang mereka arungi.
Mereka hanya menggunakan satu perahu karet dengan total 5-6 pendayung. Mereka bergantian berada di perahu karet, hampir di tiap desa yang disinggahi. Mahasiswa yang tidak mendapat giliran mendayung di perahu menempuh perjalanan dari satu desa ke desa lain menggunakan mobil.
Mahasiswa Pencinta Alam dari Comodo Mapala Universitas Palangkaraya melakukan ekspedisi mengarungi Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah, sejak Minggu (6/8/2023) lalu hingga 16 Agustus 2023.
Puncak kegiatan ekspedisi dilakukan pada hari ke-12 di Desa Kiapak, Kahayan Kuala, Kabupaten Pulang Pisau, sekitar 127 kilometer dari Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng. Di situ mereka menanam 1.000 mangrove di muara Sungai Kahayan.
Ketua Umum Comodo Mapala Vini Brigita Saragih menjelaskan, puncak ekspedisi di akhiri bertepatan dengan HUT Ke-78 RI. Penanaman mangrove menjadi simbol gerakan menjaga lingkungan agar tetap lestari.
Selama ekspedisi, banyak kegiatan dilakukan, mulai dari sosialisasi lingkungan hidup, pelatihan ecobrick, brand audit sampah, dan pemetaan rawan bencana. ”Banjir menjadi ancaman paling banyak akibat kerusakan,” kata Vini.
Antropolog Dayak di Kalteng, Marko Mahin, mengungkapkan, bagi masyarakat Dayak sungai merupakan urat nadi kehidupan. Dahulu kala, sungai bukan hanya menjadi jalur transportasi utama, tetapi juga tempat orang Dayak hidup. Perkampungan dibangun selalu tak jauh dari sungai, yang jika ditelusuri sebagian besar kota-kota di Kalteng memiliki histori dengan sungai.
”Sungai adalah urat nadi kehidupan, karena itu harus dirawat dan dijaga. Merusak sungai berarti merusak kehidupan. Sungai rusak, maka kehidupan di sekitar sungai pun rusak,” ungkap Marko.
Mahasiswa yang tergabung di Comodo Mapala memberikan edukasi dan sosialisasi soal lingkungan hidup di salah satu sekolah dasar dalam kegiatan Ekspedisi Kahayan II yang dimulai sejak Minggu (6/8/2023) sampai Kamis (17/8/2023).
Sungai kritis
Kini sungai-sungai perkasa di Kalimantan Tengah menuju kritis. Dari data Greenpeace, tutupan hutan di sekitar Sungai Kahayan pada 1990 mencapai 969.836,1 hektar, lalu menjadi 570.847,7 hektar pada 2020 atau tersisa 63 persen. Sungai sepanjang 600 kilometer itu melintasi Kabupaten Pulang Pisau, Gunung Mas, dan Kota Palangkaraya.
Lalu, Sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur pada 1990 memiliki tutupan hutan mencapai 923.493,8 hektar dan tersisa 287.714,8 hektar pada tahun 2020. Tutupan hutan di sungai sepanjang 400 kilometer itu beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Sungai Mentaya paling kritis dengan hutan di sekitarnya tersisa 19,6 persen.
Tutupan hutan di sekitar Sungai Kaki pada 2020 hanya 26,4 persen. Selain itu, juga masih ada enam sungai besar lain yang melintas di 14 kabupaten dan kota di Kalteng dengan kondisi tidak jauh berbeda, antara lain Sungai Kapuas, Barito, Sebangau, Sebangau Kecil, Katingan, dan Seruyan.
”Kondisi sungai kini kian memprihatinkan. Jika sungai rusak, kehidupan juga ikut terancam,” ujar David.
Belasan mahasiswa itu mendapatkan pengalaman berharga setelah melakukan ekspedisi. Mereka tak hanya melihat, tapi juga merasakan keresahan di antara masyarakat dengan kritisnya sungai. Kehidupan terganggu, tetapi mereka percaya pada generasi berikutnya yang jika ditanami pemahaman baik soal lingkungan bisa mulai mengubah banyak hal yang dimulai dari menjaga sungai.
Baca juga: Awal yang Baru dari Sungai