Awal yang Baru dari Sungai
Sungai bukan hanya menjadi identitas masyarakat Dayak, melainkan juga sumber kehidupan. Namun, disayangkan kini banyak sungai utama di Kalimantan Tengah dalam kondisi kritis.
Selama tahun 2021, warga Kalimantan Tengah diterjang banjir bertubi-tubi. Setidaknya dalam setahun empat kali bencana banjir melanda, di satu sisi pandemi Covid-19 belum berakhir. Ancaman-ancaman itu menjadi alarm untuk mulai melirik kondisi lingkungan yang rapuh. Semuanya bisa dimulai dengan menjaga sungai-sungai kunci yang kian kritis.
Ramang (36), warga Palangkaraya, Sabtu (1/1/2022) pagi, mengajak beberapa anggota keluarganya ke Sungai Kahayan yang tak jauh dari rumah mereka. Mereka pun berhenti di Taman Tugu Soekarno, lalu turun ke pinggir sungai yang dulunya merupakan dermaga perahu kayu. Tempat itu kini jadi lokasi wisata, bahkan beberapa warung kopi tersedia.
Tempat itu memang menarik karena berlatar belakang sungai dan Jembatan Kahayan yang menjadi ikon Kota Palangkaraya. Namun, mereka ke sana bukan untuk berwisata. Hari pertama di tahun yang baru mereka awali dengan tradisi leluhur Dayak yang mereka sebut dengan nyelu tehat.
Dalam satu DAS ada banyak anak suku, tetapi mereka menjadi satu ketika menyebut orang Barito atau orang Kahayan.
Tradisi itu mengungkapkan rasa syukur atas apa yang mereka dapatkan di tahun 2021. Mereka juga berdoa agar tahun yang baru bisa jauh lebih baik.
Ramang mengenakan ikat kepala merah, begitu juga anggota keluarganya. Mereka mencucui muka di pinggir sungai, menyiram beras, juga darah ayam yang menjadi hewan kurban.
Ritual melempar sesajen ke sungai itu bertujuan untuk memberikan sesembahan kepada roh yang hidup di sungai sambil melantunkan doa kepada Empunya kehidupan.
”Setiap awal tahun baru biasanya memang seperti ini, dan harus di sungai. Ke mana pun kami berada saat awal tahun baru harus mencari sungai, untuk laksanakan ritual ini,” ungkap Ramang saat ditemui di sela-sela ritual oleh Kompas.
Baca juga : Deforestasi Kian Masif, Sungai-sungai Kunci di Kalteng Makin Kritis
Ramang dan keluarganya tak hanya membasuh wajah, tetapi juga tangan dan kaki. Wangi dupa juga langsung menyengat ke dalam hidung. Dupa jadi pelengkap ritual di tiap ibadah masyarakat dengan kepercayaan Kaharingan.
Bukan tanpa alasan ritual dilaksanakan di sungai. Masyarakat Dayak percaya bahwa sungai merupakan sumber kehidupan sehingga terdapat sebutan danum kaharingan yang berarti ’air kehidupan’. Tonggak peradaban pun dimulai dari sungai, ratusan tahun lalu rumah-rumah suku Dayak hanya dibuat tak jauh dari sungai.
Antropolog Dayak di Kalimantan Tengah, Marko Mahin, menjelaskan, sungai menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Dayak. Tak hanya sebagai tempat mencari nafkah, tetapi juga menjadi sarana transportasi hingga ritual adat. Kerusakan yang terjadi saat ini tentunya juga berdampak pada aktivitas masyarakat Dayak.
Hal itu ia jelaskan di sela-sela kegiatan diskusi publik akhir tahun yang diselenggarakan oleh Borneo Nature Foundation (BNF) dengan tema ”Mengenal Sungai sebagai Ibu Kehidupan Borneo” di Palangkaraya, Kamis (30/9/2021).
Menurut Marko, begitu vitalnya peran sungai bagi masyarakat adat Dayak karena menghimpun beratus-ratus anak suku Dayak. Atas dasar itu, sungai membentuk identitas bersama orang Dayak yang berada daerah aliran sungai (DAS) yang sama.
”Dalam satu DAS ada banyak anak suku, tetapi mereka menjadi satu ketika menyebut orang Barito atau orang Kahayan,” kata Marko.
Baca juga : Saatnya Melirik Hutan-hutan Kalteng yang Rapuh
Meski demikian, di satu DAS yang sama, tidak mesti punya sistem nilai dan tradisi yang sama. Dalam satu sungai, lanjut Marko, transaksi budaya di antara kelompok bisa terjadi. Dalam beberapa catatan, orang dari hulu yang sedang paceklik bisa ke pesisir untuk ikut panen. Ini karena antara hulu dan muara beda masa panennya.
Warga yang tinggal di muara biasa bersawah karena wilayahnya pasang surut. Mereka panen sekitar Agustus-September. Adapun warga di hulu yang berladang musim panennya sekitar Juni-Juli. Sungai bukan sekadar identitas ataupun sumber kemakmuran bagi orang Dayak.
”Orang Kalimantan mengenal danum kaharingan atau air kehidupan. Mereka melihat sungai merupakan bagian dari air kehidupan. Dalam konsep danum kaharingan ini, orang yang mati kalau dipercikkan air itu bisa kembali. Dalam beberapa cerita rakyat, kembali itu bisa di alam berikutnya (surgaloka) atau di alam nyata ini,” kata Marko.
Kritis
Kini sungai-sungai perkasa yang memulai kehidupan orang Dayak itu menuju kritis. Dari data Greenpeace, tutupan hutan di sekitar Sungai Kahayan pada tahun 1990 mencapai 969.836,1 hektar lalu menurun menjadi 570.847,7 hektar pada tahun 2020 atau menurun sebesar 63 persen dan tersisa 37,1 persen.
Sungai Kahayan memiliki panjang 600 kilometer dan melintas di Kabupaten Pulang Pisau, Gunung Mas, dan Kota Palangkaraya. Sungai ini merupakan sumber kehidupan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Meluapnya sungai ini menyebabkan tiga kabupaten dan kota tersebut direndam banjir hingga hampir satu bulan.
Lalu, Sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur, pada tahun 1990 memiliki tutupan hutan di sekitarnya mencapai 923.493,8 hektar dan tersisa 287.714,8 hektar saja di tahun 2020. Tutupan hutan di sekitar sungai yang panjangnya 400 kilometer itu beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Sungai Mentaya menjadi yang paling kritis dengan sisa hutan di sekitarnya hanya tersisa 19,6 persen.
Baca juga : Kalteng Semakin Mudah Direndam Banjir
Tutupan hutan di sekitar Sungai Kaki juga di bawah 30 persen pada tahun 2020 atau tepatnya hanya 26,4 persen, dari sebelumnya 70,6 persen pada tahun 1990. Selain itu, masih ada enam sungai besar lainnya yang melintas di 14 kabupaten dan kota di Kalteng yang kondisinya tidak jauh berbeda, antara lain Sungai Kapuas, Barito, Sebangau, Sebangau Kecil, Sungai Katingan, dan Sungai Seruyan.
”Deforestasi didorong oleh perluasan pertanian skala besar dan penebangan berdampak pada daerah aliran sungai di Kalteng. Bentang alam menjadi lebih sensitif terhadap peristiwa iklim seperti kekeringan dan curah hujan yang tinggi,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas.
Menurut Arie, seharusnya pemerintah tidak menghapus aturan yang mengatur tutupan hutan harus tetap 30 persen. Namun, omnibus law menghapus aturan itu. ”Sebelum omnibus law aturan itu dilanggar, apalagi setelahnya,” katanya.
Arie menambahkan, dengan turunnya tutupan hutan itu bencana terus-menerus terjadi sejak tahun 1990 seperti banjir karena luapan sungai maupun banjir rob, bahkan kekeringan hingga menyebabkan kebakaran lahan di wilayah gambut yang rusak. Perlu ada evaluasi perizinan dengan basis pendekatan daerah aliran sungai untuk mengukur batas lahan atau kawasan hutan yang bisa dipertahankan karena karakteristik kehidupan masyarakat di Kalteng itu berpusat pada sungai.
”Jadi distop ekspansinya, dievaluasi izin konsesi berdasarkan DAS, lalu wilayah-wilayah yang kritis itu direhabilitasi,” ungkap Arie.
Banjir di bulan November tahun lalu melanda di 121 desa dan kelurahan yang tersebar di 36 kecamatan, pada enam kabupaten di Kalteng. Total terdapat 21.035 keluarga atau 67.508 orang yang terdampak banjir. Sebanyak 348 keluarga mengungsi ke posko darurat milik pemerintah. Banjir itu dinilai sebagai yang terburuk dalam 30 tahun terakhir.
Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Adiyaksa Prasidapati dalam diskusi bersama BNF mengungkapkan, pemerintah memproyeksikan Kalteng Hijau dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2021-2026. Artinya, segala bentuk program ke depan akan berbasis pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki pengelolaan lahan yang tidak berbasis lingkungan adalah dengan merevisi kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah.
Menurut Adiyaksa, perencanaan tata ruang tidak bisa lagi dibuat menggunakan pendekatan administrasi wilayah kabupaten ataupun provinsi semata, tetapi juga menggunakan pendekatan daerah aliran sungai (DAS). Hal itu dilakukan untuk menghindari berbagai bencana.
”Kalau berbicara pendekatan pola tata ruang yang pro terhadap lingkungan, basisnya adalah pendekatan DAS, agar tidak menjadi masalah di kemudian hari,” ungkap Adiyaksa.
Baca juga : Banjir Berulang, Saatnya Wujudkan Rencana Panjang Mitigasi di Kalteng
Menurut Adiyaksa, semua kegiatan pembangunan di Kalteng dalam lima tahun mendatang bisa dipastikan akan memperhatikan aspek-aspek lingkungan hidup. ”Sederhananya, kalau PUPR mau bangun jalan, setelah dilihat di tempat itu rawan longsor jadi ya koordinasi untuk mohon digeser,” kata Adiyaksa.
Sungai perlu dilirik lagi sebagai pusat kehidupan. Pemerintah maupun masyarakat mulai lupa betapa pentingnya menjaga sungai. Tak hanya kotor karena sampah, sungai di Kalteng juga mulai rusak karena tercemar aktivitas pabrik maupun jenis investasi ekstraktif lainnya.
Itu semua dilihat Ramang dan keluarganya. Mereka memulai kembali ritual yang sudah lama ditinggalkan banyak orang Dayak. Mereka kembali menghormati dan menyayangi sungai.