Saatnya Membereskan Pekerjaan Rumah Terkait Tata Ruang di Jateng
Memasuki usia ke-78 pada Sabtu (19/8/2023), Jawa Tengah masih menghadapi sejumlah pekerjaan rumah. Salah satunya adalah problem tata ruang yang memicu terjadinya bencana.
Pelanggaran aturan tata ruang masih banyak terjadi di berbagai wilayah Jawa Tengah. Hal itu memicu bencana yang menimbulkan kerugian material dan jatuhnya korban jiwa. Persoalan itu menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan,
Margiyanti (44) belum bisa melupakan banjir bandang dengan ketinggian 2 meter yang melanda tempat tinggalnya di Perumahan Dinar Indah, Kelurahan Meteseh, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jateng, tujuh bulan lalu.
Saat itu, Margiyanti dan ratusan warga Perumahan Dinar Indah harus menanggung kerugian materiel hingga ratusan juta rupiah. Bahkan, seorang tetangganya meninggal karena terjebak di dalam rumah saat banjir melanda.
Margiyanti menyebut, banjir bandang itu terjadi akibat tanggul Sungai Pengkol, yang berbatasan dengan Perumahan Dinar Indah, jebol sepanjang 50 meter. Jarak antara sungai dan perumahan itu sangat dekat, kurang dari 5 meter, sehingga perumahan tersebut rutin dilanda banjir sejak tahun 2015.
Banjir di Perumahan Dinar Indah pada awal tahun 2023 itu menyita perhatian banyak pihak. Belakangan, pemerintah menyebut perumahan itu didirikan tanpa izin. Pembangunan perumahan itu juga melanggar aturan tata ruang yang mengharuskan pembangunan hunian berjarak setidaknya 10 meter dari tepi sungai.
”Saya tidak tahu kalau perumahan ini tidak berizin atau melanggar aturan. Soalnya, pas saya sampai di sini, ada puluhan rumah yang sudah berdiri. Saya juga beli rumah ini pakai kredit pemilikan rumah (KPR) dari bank pemerintah sehingga saya pikir (perizinannya) beres. Kalau tidak beres, tidak mungkin dongbank mau membiayai kreditnya,” ujar Margiyanti, Sabtu (12/8/2023).
Baca juga: Penegakan Aturan Tata Ruang Penting untuk Cegah Banjir Berulang
Tak hanya di Semarang, pelanggaran aturan tata ruang juga terjadi di lereng Pegunungan Kendeng, Kabupaten Pati, Jateng. Daerah tangkapan air itu seharusnya ditanami tanaman berbatang keras dengan akar yang kuat.
Namun, beberapa tahun terakhir, tanaman keras dibabat dan diganti dengan tanaman semusim, seperti jagung. Padahal, jagung yang berakar serabut dan tidak berbatang keras tidak mampu menahan air. Akibatnya, banjir tak dapat dihindari.
Alih fungsi lahan yang melanggar aturan tata ruang juga terjadi di lereng Gunung Slamet, Kabupaten Tegal, dan di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo. Di kawasan itu, tanaman-tanaman keras ditebangi. Warga lalu menanam kentang.
Secara ekonomi, menanam kentang dinilai lebih menguntungkan bagi warga di wilayah itu. Kendati demikian, bagi warga di wilayah hilir, alih fungsi lahan membuat mereka menderita. Sebab, saat hujan tiba, banjir dan longsor hampir selalu terjadi.
Baca juga: Jawa dalam Sengkarut Tata Ruang dan Alih Fungsi Lahan
Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Pusdataru) Jateng Dyah Purbandari mengakui, pelanggaran aturan tata ruang masih kerap terjadi. Pelanggaran yang banyak terjadi antara lain berupa peralihan fungsi lahan pertanian menjadi permukiman dan lahan pertanian menjadi tempat usaha.
Dyah mengklaim, pelanggaran-pelanggaran itu tidak lantas didiamkan. Para pelanggar diberi sanksi untuk menimbulkan efek jera. Sanksi yang diberikan itu berupa sanksi administrasi yang didahului surat peringatan pertama hingga ketiga.
”Setelah peringatan ketiga, kami minta pelanggar membongkar sendiri bangunannya atau kalau itu tempat usaha, kami tutup usahanya. Selain itu, ada juga sanksi administrasi dalam bentuk denda,” kata Dyah saat ditemui di kantornya, Jumat (11/8/2023).
Menurut Dyah, berbagai upaya telah dilakukan untuk membereskan persoalan pelanggaran aturan tata ruang di Jateng. Dia menyebut, Dinas Pusdataru Jateng tak bekerja sendiri dalam mengawasi dan memastikan aturan tata ruang wilayah ditaati.
Kerja sama dengan berbagai dinas dan lembaga terkait pun dilakukan, termasuk dalam mengedukasi masyarakat tentang dampak dari pelanggaran aturan tata ruang.
Lahan terbatas
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro, Anang Wahyu Sejati, mengatakan, fenomena alih fungsi lahan di sejumlah daerah, termasuk Jateng, dipicu oleh keterbatasan lahan. Hal ini karena jumlah penduduk terus bertambah, sedangkan lahan tersedia tak bertambah.
Menurut Anang, alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan aturan seharusnya segera dikendalikan. Selain itu, pemerintah perlu melibatkan masyarakat untuk membantu mengurangi risiko bencana yang mungkin timbul akibat alih fungsi lahan.
”Pelan-pelan dikasih tahu. Ajak masyarakat memetakan daerah mana yang berubah, daerah mana yang berisiko, sehingga mereka paham dampaknya tidak ke mereka tetapi ke yang lain di hilir,” ujar Anang.
Baca juga: Menelisik Problem Hulu-Hilir Pemicu Banjir Pantura Timur Jateng
Anang menambahkan, selain menggencarkan edukasi, pemerintah harus memberdayakan masyarakat atau memberi pelatihan keterampilan. Dengan begitu, warga punya alternatif pekerjaan sehingga mereka tak perlu memanfaatkan lahan yang tak sesuai peruntukannya.
Langkah lain untuk mengatasi lahan kritis di lereng gunung maupun dataran tinggi adalah rehabilitasi dengan melakukan reboisasi atau penanaman pohon kembali. Dalam beberapa kesempatan, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengajak masyarakat untuk melakukan reboisasi.
Ajak masyarakat memetakan daerah mana yang berubah, daerah mana yang berisiko, sehingga mereka paham dampaknya tidak ke mereka tapi ke yang lain di hilir.
”Upaya ini adalah wujud menyelamatkan lahan kritis, mencegah abrasi di daerah aliran sungai yang bisa berujung pada sedimentasi sungai, mencegah longsor dan banjir. Sudah menjadi tugas bagi semua elemen masyarakat untuk bersama menjaga lingkungan,” tutur Ganjar.
Ganjar juga pernah menjelaskan kepada masyarakat mengenai persentase tanaman yang ada di hutan, dataran tinggi, dan daerah aliran sungai. Sesuai peraturan, tanaman di wilayah-wilayah itu harus terdiri 50 persen tanaman keras, 20 persen multipurpose tree species (tanaman kayu-kayuan yang memiliki banyak manfaat), dan 30 persen tanaman perhutanan sosial.
Pesisir
Tak hanya dataran tinggi atau lereng pegunungan, di wilayah pesisir Jateng juga terdapat berbagai pelanggaran tata ruang. Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jateng Iqbal Alma mengatakan, di wilayah pesisir Jateng, pembangunan kawasan industri massif dilakukan.
Padahal, kondisi lingkungan di kawasan itu terus menurun karena sudah terlalu banyak dieksploitasi. Akibatnya, penurunan muka tanah tak bisa dikendalikan sehingga memicu terjadinya banjir rob yang semakin parah.
Tahun ini, Pemerintah Provinsi Jateng sedang melakukan revisi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW), baik di darat maupun di laut. Walhi Jateng berharap, revisi itu tidak ditunggangi oleh kepentingan pihak-pihak yang berpotensi membuat kondisi lingkungan semakin parah dan merugikan masyarakat.
”Revisi ini harus bisa menjawab beberapa hal, termasuk masalah kebencanaan yang ada. Selain itu, pemerintah harus memastikan rencana tata ruang itu mempertimbangkan aspek ketahanan terhadap krisis iklim, krisis pangan, dan krisis air,” kata Iqbal.
Dyah menuturkan, ketahanan bencana menjadi salah satu variabel yang dipertimbangkan dalam setiap rencana penyusunan tata ruang. Di daerah-daerah yang tergolong rawan bencana, masyarakat akan diedukasi terkait pengurangan risiko bencana.
Pemasangan alat peringatan dini di sekitar lokasi rawan bencana juga dilakukan. Dengan begitu, risiko timbulnya korban jiwa akibat bencana di wilayah-wilayah rawan itu bisa ditekan.
Dyah menyebut, revisi RTRW Jateng diharapkan dapat mewujudkan penataan ruang yang lebih aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan.
”Kami terus berupaya mencari mencari titik keseimbangan supaya pembangunan bisa meningkatkan perekonomian masyarakat tetapi juga tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup. Salah satu upaya yang bisa kami lakukan adalah memperketat aturan dan pengawasan terhadap penggunaan tata ruang,” kata Dyah.