Konflik Lahan di Wawonii Terulang, Puluhan Pohon Cengkeh Warga Diterjang Perusahaan
Konflik lahan di Wawonii, Konawe Kepulauan kembali terulang. Puluhan pohon cengkeh warga Desa Mosolo yang mulai berbuah habis diterjang alat berat. Perusahaan dituntut tidak memaksakan kehendak untuk menghindari konflik
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Konflik lahan di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, kembali terulang. Puluhan pohon cengkeh warga Desa Mosolo yang siap panen habis diterjang alat berat. Perusahaan dituntut tidak memaksakan kehendak dan mengikuti aturan untuk menghindari konflik yang lebih besar.
Bentrok antara warga dan perusahaan kembali terjadi di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Warga berusaha mempertahankan lahan kebun cengkeh siap panen yang diterobos oleh perusahaan pemilik izin usaha pertambangan (IUP) nikel di wilayah ini, PT Gema Kreasi Perdana (GKP).
Tahir (38), koordinator warga penolak tambang Desa Mosolo, Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, menceritakan, penerobosan lahan warga diketahui terjadi pada Rabu (9/8/2023) sore. Warga yang menerima laporan ini lalu menuju kebun yang berada di bukit, berjarak dua jam perjalanan.
”Saat warga tiba, ternyata kebun Pak Amiri yang diterobos. Ada 40 pohon cengkeh yang sedang berbuah tumbang diterjang alat berat. Cengkeh ini ditanam 20 tahun lalu dan menjadi tumpuan hidup. Warga tidak terima dan bertahan di kebun,” kata Tahir, dihubungi dari Kendari, Jumat (11/9/2023).
Pada Kamis pagi, ia melanjutkan, puluhan warga dari kampung mempertanyakan penerobosan lahan ini ke pihak perusahaan. Hanya saja, pihak perusahaan bersikukuh jika lahan tersebut telah dibeli sebelumnya.
Situasi menjadi kacau. Seorang warga diintimidasi oleh pihak perusahaan. Warga melawan dan berusaha bertahan. Sejumlah ibu-ibu tampak berlari mengusir alat berat dan pekerja. Dalam video yang beredar, warga dan pihak perusahaan bahkan terlihat hampir saling serang dengan senjata tajam.
Menurut Tahir, lahan milik Amiri tidak pernah dijual ke perusahaan. Akan tetapi, menurut perusahaan, lahan tersebut telah diberikan ganti tanam tumbuh melalui warga lainnya. Padahal, pemilik tanaman telah menegaskan tidak menjual lahan dan tanamannya tersebut dan telah menyampaikan ke pihak penjual untuk mengembalikan dana.
Penerobosan lahan
”Dan, penerobosan lahan ini bukan yang kali pertama terjadi. Tahun ini sudah dua kali terjadi. Kami bingung mau minta perlindungan ke siapa karena sudah berkali-kali mengalami, tetapi malah kami yang dilaporkan dan diperiksa,” ujarnya.
Harimuddin, kuasa hukum warga, menuturkan sangat menyesalkan tindakan PT GKP, pemilik IUP pertambangan nikel yang beroperasi di wilayah ini, yang menggusur kebun cengkeh siap panen warga. Sebab, warga pemilik kebun cengkeh tersebut tidak pernah menjual, terlebih menerima uang dari perusahaan.
Tindakan ini, ia melanjutkan, dikhawatirkan akan memicu konflik sosial jika terus dilakukan. Perusahaan dituntut tidak memaksakan diri dan melanggar aturan dalam proses operasi di lapangan. Terlebih lagi, kejadian penerobosan kebun warga telah berkali-kali terjadi.
”Kami meminta perusahaan tidak memaksakan kehendak. Apalagi, saat ini pembatalan IUP PT GKP masih berjalan di tingkat kasasi. Kami telah meneruskan hal ini ke tim percepatan reformasi hukum untuk memberi perhatian khusus agar tidak terjadi konflik sosial yang tidak diharapkan,” katanya.
Menurut Hamiruddin, secara aturan, perusahaan sebetulnya sudah tidak bisa melakukan penambangan. Sebab, pihaknya telah memenangi gugatan terkait Perda Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Konkep 2021-2041. Warga melakukan uji materi terkait dengan perda itu, khususnya Pasal 24 (d), Pasal 28, dan Pasal 36 (c).
Kami kedepankan langkah persuasif dan tentunya menghindari konflik dengan siapa saja, khususnya masyarakat (Marlion).
”Ini sudah incraht di Mahkamah Agung (MA). Lalu, ada putusan terbaru dari MA Nomor 14 P/HUM/2023, di mana ada seorang warga yang menggugat perda yang sama. Inti dari kedua putusan MA ini adalah pulau seluas 715 kilomer persegi ini tidak untuk ditambang,” katanya.
Di Pulau Wawonii, PT GKP memiliki IUP seluas 850,9 hektar atau menciut dari izin sebelumnya yang mencapai 950 hektar. Satu dari sejumlah perusahaan yang memiliki IUP pertambangan di Wawonii ini telah melakukan produksi hingga pengangkutan bijih nikel sejak pertengahan 2022.
Meski demikian, warga dan perusahaan ini beberapa kali terlibat konflik, utamanya terkait dengan persoalan lahan. Beberapa bulan terakhir, warga di Roko-roko Raya juga melakukan protes keras akan rusaknya mata air akibat aktivitas pertambangan di wilayah ini.
Koordinator Humas PT GKP Marlion menjelaskan, pihaknya tidak melakukan penyerobotan lahan, tetapi melakukan pembersihan area. Sebab, lahan tersebut berada dalam kawasan hutan yang telah diatur dalam izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang dimiliki perusahaan.
Di lahan yang bermasalah saat ini, ia melanjutkan, pihaknya telah melakukan ganti tanam tumbuh lahan sejak 2019. Perusahaan telah membayar sejumlah nilai yang disepakati kepada perwakilan keluarga pemilik tanaman. Kebun cengkeh tersebut diklaim milik keluarga dan semuanya telah setuju untuk menjual tanaman.
”Kami berdasar aturan, itu sudah punya IPPKH dan telah melakukan ganti tanam tumbuh. Jadi, kami merasa semua syarat telah terpenuhi untuk melakukan pembersihan area. Kalau di dalam pembayaran itu ada masalah internal, kami tidak tahu,” tuturnya.
Ia juga mengaku tidak mengetahui jika pemilik tanaman tersebut telah menegaskan tidak ingin menjual tanaman miliknya ke perusahaan.
Saat ini, tambah Marlion, perusahaan telah menarik diri dan mengambil langkah persuasif. Komunikasi akan dilakukan, khususnya kepada pemilik tanaman yang telah dibersihkan sebelumnya.
”Kami kedepankan langkah persuasif dan tentunya menghindari konflik dengan siapa saja, khususnya masyarakat. Malah dalam kejadian kemarin pekerja kami jadi korban terkena lemparan,” ucapnya.