Ladang Warga Wawonii Kembali Diterobos Perusahaan Tambang
Aksi penyerobotan lahan penuh tanaman masyarakat kembali terjadi di Desa Sukarela Jaya, Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Dengan pengawalan aparat kepolisian, belasan alat berat masuk dan menerjang tanaman warga.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Aksi penyerobotan lahan penuh tanaman masyarakat kembali terjadi di Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Dengan pengawalan aparat kepolisian, belasan alat berat masuk dan menerjang tanaman warga.
Warga yang telah mengolah lahan selama puluhan tahun berusaha menghentikan pembukaan kawasan untuk jalan tambang dan terus bertahan di lokasi. Sementara, pihak perusahaan menyatakan lahan itu merupakan kawasan hutan produksi milik negara yang mereka pinjam pakai.
Labaa (78), salah seorang pengolah lahan, menuturkan, alat berat milik perusahaan masuk di lahan yang ia tanami selama puluhan tahun tersebut sejak Jumat (23/8/2019) dini hari. Padahal, warga sempat ke lokasi berjaga hingga pukul 22.00, tetapi belum ada tanda alat berat akan masuk dan merusak lahan.
“Ini pagi dapat kabar kalau alat berat sudah masuk. Artinya, mereka masuk saat tengah malam sampai dini hari. Awalnya, itu alat berat masuk di lahan milik Pak Amin, dekat lokasi saya. Habis itu, lahan saya juga dirusak. Di sana ada mete, cengkeh, kakao, pala, dan kelapa. Tidak tahu (kami) mau makan apa kalau sudah habis itu semua,” ucapnya, saat dihubungi dari Kendari, Jumat siang.
Kemarin kami sudah dipanggil ke Polda. Saya bilang tidak mau jual tanam tumbuhnya.
Menurut Labaa, lahan seluas hampir satu hektar yang telah dikelola selama 35 tahun itu adalah penghidupan utama keluarga. Hasil tanaman itu digunakan untuk biaya hidup sehari-hari dan kebutuhan lainnya. Hasil jambu mete saja bisa mencapai puluhan ton.
Oleh karena itu, ia tidak ingin menjual lahan untuk dijadikan jalan tambang oleh perusahaan. Sebab, selain menjadi mata pencaharian utama, tambang akan merusak lingkungan dan menghilangkan sumber-sumber mata air warga.
“Kemarin kami sudah dipanggil ke Polda (Sultra). Saya bilang tidak mau jual tanam tumbuhnya (kompensasi). Sudah itu yang kami harapkan. Ini sewenang-wenang lagi menyerobot lahan. Banyak polisi juga mengawal,” ucapnya.
Di lokasi lahan, kata Labaa, sudah ada belasan alat berat yang masuk dan menerjang tanaman. Kejadian ini bukan kali pertama terjadi meski warga telah keberatan. Sejumlah warga bahkan dilaporkan ke pihak kepolisian dengan sangkaan menghalangi proses investasi, termasuk dirinya.
Mando Maskuri, dari Front Rakyat Sultra Bela Wawonii, menuturkan, sekitar 18 alat berat milik perusahaan telah berada di lahan milik tiga orang warga, yaitu Labaa, Wa Ana, dan Amin. Sejumlah personel kepolisian dengan senjata lengkap juga ikut mengawal proses masuknya alat berat tersebut.
Padahal, warga hanya mempertahankan lahan yang telah dikelola selama puluhan tahun. Tawaran untuk menjual tanam tumbuh juga ditolak karena tidak ingin mata pencaharian hilang. Oleh karena itu, perusahaan tidak berhak masuk ke lahan karena warga tidak pernah menyetujui adanya perubahan fungsi dan tidak ingin mengambil penawaran tanam tumbuh tanaman.
Konflik warga di Desa Sukarela Jaya dengan perusahaan nikel PT Gema Kreasi Perdana (GKP) telah berlangsung beberapa lama. Warga yang bersikukuh mempertahankan lahan menghalau perusahaan untuk masuk membuat jalan tambang di lahan tersebut.
Kami ini punya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan terus membayar kewajiban. Saat ingin menggunakan hak, malah dihalangi dan dibilang menerobos.
Dihubungi terpisah, Direktur Operasional PT GKP Bambang Murtiyoso menjelaskan, pihaknya bingung jika disebut melakukan penyerobotan lahan. Sebab, lahan yang akan dijadikan jalan tambang tersebut adalah kawasan hutan produksi yang merupakan milik negara.
“Kami ini punya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan terus membayar kewajiban. Saat ingin menggunakan hak, malah dihalangi dan dibilang menerobos,” kata Bambang.
Menurut Bambang, dengan status lahan yang merupakan hutan produksi dan dengan IPPKH yang dimiliki, pihaknya berhak menggunakan lahan sesuai peruntukan. Jika masyarakat menganggap diri sebagai pemilik lahan, tentu akan berbenturan dengan aturan yang ada.
Upaya pembayaran tanam tumbuh milik masyarakat, katanya, telah berulang kali dilakukan. Pendekatan, sosialisasi, dan beragam upaya terus dilakukan agar masyarakat mau menerima pembayaran tanam tumbuh tanaman.
“Upaya musyawarah mufakat tidak berhasil, ya kami gunakan hak kami. Pendekatan kami lakukan berulang kali, tidak serta merta menyerobot. Kami ini mau investasi dan sudah melakukan kewajiban ke negara,” ucap Bambang.
Terkait dengan adanya aparat bersenjata lengkap, Bambang menyebutkan bahwa hal itu memang sesuai permintaan perusahaan yang bersurat resmi ke Polda Sultra. Permintaan pengamanan itu untuk menjaga agar tidak terjadi konflik yang lebih besar di masyarakat. Alat berat yang masuk pada malam hari dilakukan agar tidak terlalu terik dan tidak membuat emosi masyarkat bertambah tinggi.
“Kami ada surat perintah untuk aparat karena kami bersurat resmi. Ini malahan ada enam orang karyawan kami yang ditahan. Bayangkan kalau tidak ada aparat, sementara warga bawa senjata tajam. Ya, kami minta untuk menengahi dan meredam agar tidak terjadi apa-apa. Tapi, kami akan ambil langkah hukum terkait kejadian ini,” ucap Bambang.
Pihak Polda Sultra yang dihubungi mengaku belum mendapatkan informasi terkait kejadian ini. "Belum dapat infonya," ucap Kepala Subbidang Penerangan Masyarakat Humas Polda Sultra Komisaris Agus Mulyadi.