Kisah Korban Persetubuhan di Bawah Umur di Pontianak Menuntut Keadilan
Seorang remaja perempuan di Pontianak menjadi korban pencabulan oleh anggota Dewan Pendidikan Provinsi Kalbar. Korban disetubuhi beberapa kali dan dipaksa melakukan aborsi. Kini, korban berupaya menuntut keadilan.
Perasaan takut dan trauma masih menghantui D (18), remaja perempuan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, yang menjadi korban pencabulan oleh seorang anggota Dewan Pendidikan Provinsi Kalbar. Di tengah trauma itu, D berupaya berjuang untuk menuntut keadilan. Dia ingin sang pelaku diberi hukuman setimpal.
Pencabulan terhadap D dilakukan oleh pelaku berinisial HS (46) pada tahun 2022. Saat itu, D masih berusia 17 tahun sehingga tergolong sebagai anak di bawah umur. Korban waktu itu bersekolah di sebuah SMK di Pontianak. Adapun pelaku saat itu menjabat sebagai penasihat yayasan tempat korban bersekolah.
Saat ditemui Kompas, Rabu (9/8/2023) sore, D mengisahkan kronologi kejadian yang menimpa dirinya itu. Menurut D, dirinya mengenal pelaku sejak tahun lalu. Awalnya, HS membubuhkan tanda suka pada unggahan D di media sosial.
Setelah itu, HS mengirim pesan kepada korban melalui media sosial. ”Pelaku chat dan menanyakan bagaimana sekolah, lingkungannya bagaimana, dan ruang kelas bagaimana,” ungkap D.
Beberapa hari kemudian, pelaku menghubungi korban melalui panggilan video. Namun, korban tidak menjawab panggilan itu. Sesudah itu, D dan HS mulai berkomunikasi dengan aplikasi Whatsapp. ”Pelaku sering chat dan komen status saya,” tutur D.
Sesudah itu, HS mulai mengajak korban bertemu. D menuruti permintaan itu karena takut dengan status korban sebagai pembina yayasan sekolahnya. Jika tak menuruti ajakan itu, D takut nilainya di sekolah menjadi jelek. ”Sebab, saya tahu pelaku memiliki kuasa di sekolah,” tuturnya.
Suatu hari, HS mengajak D pergi ke daerah Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar. Dalam perjalanan pulang, HS memberi uang Rp 200.000 kepada korban. Meski D menolak, HS tetap ngotot.
Saat D liburan dengan keluarganya di Bandung, Jawa Barat, HS sering menghubungi dan menanyakan kapan korban pulang ke Pontianak. Waktu itu, HS juga mendesak korban untuk pulang ke Pontianak.
Baca juga: Berkas Kasus Pencabulan Siswi di Pontianak Dilimpahkan ke Kejaksaan
”Setelah saya pulang ke Pontianak, HS chat saya, menanyakan apakah saya bisa bertemu dia atau tidak. Waktu itu bertemunya di hotel. Saya ketakutan, tapi mau tidak mau saya harus ke situ,” kata D.
Di hotel itu, HS menyetubuhi D meski korban berupaya melawan. Setelah peristiwa itu, korban tak bercerita pada orangtuanya. Dia memendam ketakutannya sendiri.
Sesudah kejadian tersebut, D mengaku selalu dipantau dan diawasi oleh pelaku melalui CCTV sekolah. HS juga beberapa kali menyetubuhi D lagi. Menurut D, persetubuhan itu total terjadi lima kali. Dua di antaranya berlangsung di hotel, sedangkan sisanya terjadi di rumah pelaku.
Setelah rangkaian peristiwa itu, D hamil. Dia lalu memberitahukan hal itu kepada pelaku. HS kemudian meminta D melakukan tes kehamilan. Hasil tes mengonfirmasi kehamilan D. Namun, saat dia menunjukkan hasil itu, HS justru mengatakan janin di kandungan D itu bukan anaknya.
”Whatsapp saya sempat diblokir beberapa hari oleh pelaku. Tidak lama blokir dibuka lagi oleh pelaku, tetapi dia tetap bersikukuh itu bukan anaknya,” ujar D.
Keesokan harinya, pelaku mengajak korban bertemu di sekolah untuk membicarakan hal tersebut. ”Waktu itu saya meminta pertanggungjawaban pelaku. Saya bilang, bawa saya lari dari sini supaya bisa menyelamatkan anak di kandungan. Masalah sekolah saya ikhlas kalau tidak tuntas,” ungkap D.
Baca juga: Pelaku Pencabulan Siswi di Pontianak Akan Diberhentikan dari Dewan Pendidikan Kalbar
Namun, HS mengatakan tidak mau bertanggung jawab karena memiliki keluarga, jabatan, dan anak. Sesudah itu, D meminta pertolongan ke beberapa pihak, tapi dia tak berhasil memperoleh bantuan. ”Pada akhirnya saya menyerah,” ujarnya.
D akhirnya mengikuti kemauan pelaku pergi ke Jakarta untuk melakukan aborsi. Kepada pihak yang melakukan aborsi, HS mengaku sebagai orangtua D. HS juga menyebut D dihamili teman sekelasnya. ”Dan terjadilah aborsi di Jakarta waktu itu. Sakit sekali rasanya,” ucap D.
Setelah aborsi, HS dan D menginap di sebuah hotel di Jakarta karena kondisi korban tak memungkinkan untuk langsung pulang ke Pontianak. Saat itu, di tengah rasa sakit yang mendera D seusai aborsi, HS melakukan sodomi terhadap korban dua kali.
Sesudahnya, pelaku dan korban pulang ke Pontianak. Menurut D, pelaku menghilang selama beberapa waktu. Namun, pada 10 Januari 2023, istri HS menghubungi D dan bertanya apakah remaja perempuan itu memiliki hubungan dengan sang suami.
Saat itu, D awalnya tak mau menjawab secara jujur karena pelaku meminta agar korban tak bercerita pada siapa-siapa. Namun, D akhirnya tetap menceritakan hubungannya dengan HS.
Saya ketakutan, tapi mau tidak mau saya harus ke situ.
Usai kejadian itu, mulanya D tak berani melapor ke kepolisian. Namun, dia kemudian menerima informasi bahwa korban pencabulan oleh HS diduga tidak hanya dirinya sendiri.
Hal itulah yang membuat D akhirnya berani melapor ke polisi. Sebab, dia tak ingin ada korban lagi yang bernasib sama seperti dirinya. Selain itu, D juga ingin menuntut keadilan terkait peristiwa yang menimpanya.
”Pelaku mungkin hanya dipenjara. Namun, saya ke depan mungkin tidak bisa memiliki anak. Saya yang paling banyak menanggung suatu saat nanti,” kata D yang membantah tuduhan pernah meminta uang kepada pelaku.
Setelah peristiwa itu, D juga pindah sekolah demi keamanan. Namun, di sekolah baru pun dia tak sanggup mengikuti pembelajaran karena masih didera rasa takut dan trauma. Akibatnya, kini dia tak lagi bersekolah karena kondisinya belum stabil.
Salah seorang penasihat hukum korban, Jojo, menyatakan, tim penasihat hukum mengajukan permohonan perlindungan korban kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Permohonan itu diajukan untuk menjamin keamanan korban.
”Kami meminta pendampingan kepada LPSK berupa rumah aman bagi korban. Permintaan itu sudah diproses. Dari rapat secara daring dengan LPSK, sepertinya mereka menyetujui,” tutur Jojo.
Pendampingan psikologi bagi korban juga dilakukan oleh psikolog. Pendampingan yang dilakukan sejak Januari 2023 itu dilakukan seminggu dua kali.
Proses hukum
HS pun telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor Kota Pontianak. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Pontianak Komisaris Tri Prasetyo menuturkan, berkas perkara itu sudah diserahkan kepada Kejaksaan Negeri Pontianak.
Menurut Tri, saat diperiksa, HS mengaku tidak pernah menyetubuhi korban. Namun, polisi telah mengantongi sejumlah bukti terkait kasus itu. Bukti yang dikumpulkan itu, antara lain, berupa barang-barang milik korban, keterangan saksi, serta beberapa dokumen, termasuk hasil visum korban.
HS juga telah diusulkan untuk diberhentikan sebagai anggota Dewan Pendidikan Provinsi Kalbar periode 2019-2024. Usulan itu disampaikan pengurus Dewan Pendidikan Provinsi Kalbar kepada Gubernur Kalbar.
Menanggapi usulan itu, Gubernur Kalbar Sutarmidji, Rabu (9/8/2023), menuturkan, surat keputusan pemberhentian HS sedang dibuat. Sutarmidji mengaku segera menandatangani keputusan pemberhentian HS sebagai anggota Dewan Pendidikan Provinsi Kalbar.
Sementara itu, anggota tim kuasa hukum HS, Alfonsius Girsang, Senin (7/8/2023) lalu, menuturkan, informasi yang beredar terkait kasus tersebut terlalu berlebihan. Dia juga mengklaim, informasi-informasi itu tidak sesuai dengan fakta sebenarnya. Namun, tim kuasa hukum menyerahkan penanganan kasus itu pada proses hukum yang berjalan.
Suarmin, anggota tim kuasa hukum HS lainnya, menambahkan, timnya sudah menyiapkan bukti-bukti terkait kasus itu. Dia menyebut, bukti-bukti tersebut akan dibuka di persidangan untuk mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi.