Monsinyur Vincentius Sutikno Wisaksono, ”Gembala Arek Suroboyo” Itu Berpulang
Uskup Surabaya Monsinyur (Mgr) Vincentius Sutikno Wisaksono berpulang karena sakit. ”Gembala arek Suroboyo” itu meninggalkan 145.000 umat Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya.
Uskup Surabaya Monsinyur (Mgr) Vincentius Sutikno Wisaksono semasa hidup merayakan tahbisan episkopal pada 2020.
SURABAYA, KOMPAS — Uskup Surabaya Monsinyur (Mgr) Vincentius Sutikno Wisaksono berpulang dalam perawatan di Rumah Sakit Katolik St Vincentius a Paulo (RKZ), Surabaya, Jawa Timur, Kamis (10/8/2023), pukul 10.29. Uskup wafat di usia 69 tahun 318 hari, diduga terkait kanker yang dideritanya bertahun-tahun.
Kepergian Uskup meninggalkan duka bagi sekitar 145.000 umat Katolik di Keuskupan Surabaya yang mencakup Jatim bagian barat ditambah Blora dan Rembang (Jawa Tengah).
Dalam keterangan tertulis, Sekretaris Keuskupan Surabaya RD (Reverendus Dominus) Paulus Febrianto menyatakan, jenazah Uskup ditempatkan di Kapel RKZ untuk prosesi doa oleh kalangan klerus, yakni pastor (romo), frater, bruder, dan suster.
Baca juga : Uskup Surabaya Mangkat
Kamis pukul 19.00, jenazah Uskup disemayamkan di Gereja Hati Kudus Yesus (Katedral) Surabaya. Selanjutnya, pukul 20.00, dilaksanakan misa arwah (requiem) oleh selebran utama Uskup Malang Mgr Henricus Pidyarto Gunawan OCarm.
Jumat (11/8/2023) pukul 18.00 kembali diadakan misa arwah dan penutupan peti. Pada Sabtu (12/8/2023) pukul 09.00 diadakan misa kemudian pemberangkatan jenazah menuju Mausoleum Pieta atau makam khusus untuk para uskup dan romo Keuskupan Surabaya di Goa Maria Pohsarang, Puhsarang, Kediri. Di mausoleum, Sabtu pukul 14.00, dilaksanakan misa pemakaman.
”Peristiwa meninggalnya Uskup Surabaya menjadi duka yang mendalam bagi kita semua. Mari kita bersatu dalam doa semoga Monsinyur Vincentius Sutikno Wisaksono beristirahat dalam damai bersama Bapa di surga,” kata Paulus Febrianto dalam keterangan tertulis.
Baca juga : Uskup Surabaya Tahbiskan Tiga Imam Serikat Sabda Allah
Dihubungi secara terpisah, Kanisius Karyadi, umat, aktivis 1998, dan penulis buku biografi Wisaksono, Sang Maestro dari Perak, menyatakan duka mendalam. Keuskupan Surabaya kehilangan gembala yang baik dan berkarakter arek Suroboyo.
”Bapa Uskup meskipun keturunan peranakan Tionghoa, tetapi nasionalis dan gayanya Suroboyo banget,” ujarnya.
Mengutip laman resmi Keuskupan Surabaya, Wisaksono merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dan lelaki satu-satunya dari pasangan Oei Kok Tjia (Widiatmo Wisaksono) dan Kwa Siok Nio (Mardijanti). Wisaksono terlahir dengan nama Oei Tik Hauw di Surabaya pada 26 September 1953.
Wisaksono menempuh pendidikan dini, dasar, dan menengah di ”Bumi Pahlawan”, julukan Surabaya, yakni TK Katolik St Anna, SD Katolik St Mikael, dan SMP Katolik Angelus Custos. Di masa kecil, Wisaksono dikenal sebagai pribadi pengalah dan penolong. Dalam suatu waktu, ia memberikan pakaian kepada teman yang busananya rusak sehingga pulang tanpa berpakaian.
Baca juga : Warga Surabaya agar Bangkit Lawan Pandemi Covid-19
Wisaksono dan keluarga menerima baptis Katolik pada 7 Mei 1966 saat ia masih di kelas IV SD. Wisaksono memilih nama baptis Vincentius dari Santo Vincentius a Paulo. Selepas SMP, Wisaksono melanjutkan pendidikan ke Seminari Menengah St Vincentius a Paulo atau Seminari Garum di Blitar.
Pada 1974, Wisaksono melanjutkan studi ke Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta. Saat itu Keuskupan Surabaya belum memiliki lembaga pendidikan bagi calon imam diosesan. Justru di masa kepemimpinannya, Keuskupan Surabaya memiliki Seminari Tinggi Providentia Dei dalam kompleks Kampus 3 (Pakuwon City) Universitas Katolik Widya Mandala.
Pada 21 Januari 1982, Wisaksono menerima tahbisan imam diosesan oleh Mgr J Klooster CM, di Surabaya. Ia mengamini dua moto keimamatan, yakni dari Lukas 10:3 yang berbunyi, ”Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian supaya Ia mengirim pekerja-pekerja untuk tuaian itu". Serta dari 1 Korintus 9:8, yakni ”Upahku ialah bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah”.
Semasa hidup, Wisaksono pernah mengatakan, moto itu bermaksud perjuangan dan kerja keras menjadi imam tidak boleh ada imbalan atau upah karena imamat adalah tugas perutusan mulia.
Baca juga : Mari Bergandengan Tangan Menapaki Hari Esok
Wisaksono kemudian melanjutkan studi pascasarjana bidang psikologi ke De La Salle University di Manila, Filipina. Selepas studi itu, sejak 11 September 1991, Wisaksono dipercaya menjadi Rektor Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII, Malang, sekaligus Dewan Konsultores Keuskupan Surabaya.
Ceplas-ceplos
Setelah sedasawarsa memimpin San Giovanni XXIII, Wisaksono kembali ke Manila untuk studi doktoral. Dalam masa studi itu Mgr Yohanes Hadiwikarta, Uskup Surabaya saat itu berpulang atau pada 23 Desember 2004. Takhta Keuskupan Surabaya lowong (sede vacante) sampai pengumuman penunjukan Wisaksono sebagai Uskup Surabaya oleh Paus Benediktus XVI pada 1 April 2007.
Wisaksono menerima tahbisan episkopal pada 29 Juni 2007 di Stadion Wijaya Kusuma, Kodiklatal AAL, Surabaya. Wisaksono mengambil moto kegembalaan ut vitam abundantius habeant dari Yohanes 10:10, satu ayat sebelum ayat yang dipakai sebagai moto kegembalaan oleh Hadiwikarta.
”Sebagai arek Suroboyo, karakternya memang ceplas ceplos, tetapi itulah kepemimpinan gembala yang baik bagi umatnya,” ujar Karyadi.
Meski merupakan keturunan peranakan Tionghoa, Wisaksono dikenal karena larangan mengadakan misa khusus Imlek. Mengutip dari buku Redemtionis Sacramentum, Wisaksono mengatakan, tidaklah diizinkan mengaitkan misa dengan peristiwa profane atau duniawi yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, yakni sebagai pertunjukan atau upacara lain. Wisaksono tidak antibudaya leluhurnya, tetapi menolak mencampuradukan dengan liturgi. Imlek dapat dirayakan semeriah-meriahnya di luar gereja.
Sebagai arek Suroboyo, karakternya memang ceplas-ceplos tetapi itulah kepemimpinan gembala yang baik bagi umatnya. (Kanisius Karyadi)
Wisaksono juga ceplas-ceplos mengakui sebagai uskup yang mencermati masalah keuangan, bahkan dianggap pelit. Di masa kepemimpinannya itulah masalah keuangan Keuskupan Surabaya bisa dibereskan dan ditertibkan.
”Mungkin ini manfaat Uskup dari keturunan, teliti masalah keuangan,” kata Wisaksono dalam suatu masa ketika hidup.
Baca juga : Energi Kebangkitan Umat di Surabaya dari Pandemi
Saat memperingati 13 tahun tahbisan uskup (episkopal), Senin (29/6/2020), dalam masa pandemi Covid-19, Wisaksono memotong dan menikmati kue tar jip merah menyerupai mobil Daihatsu Taft 1982 yang diparkir di garasi wisma keuskupan. Kendaraan dengan julukan beken ”Taft Kebo” itu memang klangenan atau kesukaan Wisaksono sejak masih bertugas sebagai imam di Ngawi, menjabat rektor, dan terus dipakai sebagai kendaraan operasional sehari-hari.
”Kuat, tangguh, awet,” kata Wisaksono ketika itu. Karakter itulah yang diharapkan sebagai semangat para imam dan klerus serta umat di Keuskupan Surabaya.
Selamat jalan, Bapa Uskup.