Membangun Wirausaha Muda Berbasis Pangan Lokal di NTT
Pengembangan pangan lokal tidak hanya menuntut pengembangan produksi di tingkat petani, tetapi juga inovasi produk setelah panen sehingga bisa bersaing dengan gempuran pangan olahan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN, AHMAD ARIF
·4 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS— Pengembangan pangan lokal tidak hanya menuntut pengembangan produksi di tingkat petani, tetapi juga inovasi produk setelah panen sehingga bisa bersaing dengan gempuran pangan olahan. Untuk meningkatkan nilai lebih pangan lokal, anak-anak muda di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, dilatih kewirausahaan.
Selama empat hari, Minggu hingga Rabu (6-9/8/2023), sebanyak 38 anak muda dari enam desa di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata mengikuti pelatihan kewirausahaan di Sekolah Alam Agro Sorgum Flores di Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat. Kegiatan ini digelar oleh Koalisi Pangan Baik, yang terdiri dari Yayasan Kehati, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Keuskupan Larantuka, dan Yayasan Ayu Tani.
Selasa (8/8/2023), anak-anak muda itu diminta untuk mengolah beragam pangan lokal dari desa masing-masing. Hampir semua anak muda ini menampilkan aneka makanan nonberas, mulai dari jagung, sorgum, jewawut, hingga beragam umbi-umbian dan pisang.
Maria Loretha, pegiat sorgum dan pangan lokal di Flores Timur yang terlibat dalam pelatihan ini, mengatakan, banyaknya pangan nonberas yang ditampilkan menunjukkan bahwa pangan pokok di NTT di masa lalu sangat beragam. ”Dengan beragam pangan ini, masyarakat seharusnya bisa memenuhi pangannya sendiri. Namun, pergeseran pola makan menjadi dominan beras menyebabkan masyarakat NTT sekarang tergantung beras dari luar pulau,” katanya.
Sebagian produk ini sudah diolah dan dikemas dengan menarik. Andika Kilog (26) dari Desa Tapo Bali, Kecamatan Wulandoni, Lembata, misalnya, telah membuat produk olahan sorgum menjadi kopi sorgum, beras sorgum, sereal sorgum, dan tepung sorgum.
Selain itu, anak-anak muda dari Tapo Bali ini juga menampilkan berbagai olahan protein laut yang difermentasi. Beberapa produk itu seperti siput mata tujuh yang difermentasi dengan garam dan cuka lontar sehingga bisa bertahan hingga berbulan-bulan.
Siput diambil dari pesisir Laut Sawu, perairan di hadapan desa tersebut. ”Kondisi perairan kami sering gelombang tinggi, makanya siput ini kami awetkan beberapa bulan lalu. Kami awetkan dengan proses fermentasi. Banyak hasil laut kami fermentasi untuk menjaga sumber makan tetap ada sepanjang tahun,” kata Andika.
Salah satu tantangan para pegiat pangan lokal adalah kurangnya insentif ekonomi yang diperoleh sehingga terkadang gerakan kampanye yang dilakukan tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, mereka perlu diajarkan untuk berwirausaha.
Sementara itu, kelompok dari Desa Hokeng, Kabupaten Flores Timur, mengolah makanan mereka seperti jagung bungkus dan ubi cincang dengan cara memasukkan ke dalam bambu kemudian dipanggang. Durasi pemanggangan memerlukan waktu sekitar 45 menit. Oleh masyarakat setempat, proses pengolahan itu dinamakan loma.
Magdelena Tuto Tolo yang mengolah loma itu menuturkan, cara pengolahan tersebut sudah jarang dijumpai saat ini. Pengolahan loma hanya dilakukan pada saat upacara adat. ”Pengolahan dengan cara ini tidak menggunakan minyak goreng. Menurut kami, lebih sehat, ” ujarnya.
Pengawetan
Pengawetan hasil laut di Tapobali dan loma di Hokeng merupakan bagian dari pengolahan pangan yang dilakukan oleh masyarakat suku Lamaholot. Suku Lamaholot mendiami wilayah bagian timur Pulau Flores.
Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan yang memberikan pelatihan tersebut, mengatakan, para pemuda diajak untuk mengenali terlebih dahulu potensi yang dimiliki di setiap desa. Dengan begitu, mereka diarahkan untuk menetapkan langkah-langkah pengolahan hingga promosi dan pemasaran.
Salah satu tantangan para pegiat pangan lokal adalah kurangnya insentif ekonomi yang diperoleh sehingga terkadang gerakan kampanye yang dilakukan tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, mereka perlu diajarkan untuk berwirausaha. Di akhir kegiatan itu, para peserta dilatih menyusun rencana bisnis berbasis pangan lokal.
Menurut dia, insentif ekonomi dapat diperoleh jika mereka melakukan inovasi produk sesuai dengan selera anak muda baik dari sisi bentuk maupun rasa. ”Ubi goreng kalau ditambah dengan keju itu akan lebih menarik anak muda ketimbang ubi goreng polos,” katanya.
Sementara itu, Maria Loretha mengingatkan, seorang wirausaha tidak boleh menyerah dengan keadaan. Ia mencontohkan, sorgum yang ia jual pernah tidak laku selama empat tahun. Ia tidak menyerah, kini dirinya menjadikan ikon pegiat sorgum nasional.
Ia menambahkan, komunikasi produk pangan lokal juga menjadi kunci untuk meyakinkan orang agar tertarik mengonsumsi pangan lokal. ”Promosikan juga tentang manfaat produk itu dari sisi kesehatan karena konsumen pasti ingin mau hidup sehat,” katanya.