Dibentuk, Kelompok Sukarelawan untuk Pencegah Kasus Bunuh Diri di Gorua Selatan
Kelompok sukarelawan kesehatan mental saat ini mulai dibentuk di Desa Gorua Selatan. Kelompok ini diharapkan berperan menjadi petugas pemberi pertolongan pertama untuk mencegah kasus bunuh diri di desa tersebut.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
HALMAHERA UTARA, KOMPAS – Kelompok sukarelawan kesehatan mental saat ini mulai dibentuk di Desa Gorua Selatan, Kecamatan Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara. Pembentukan ini dilakukan sebagai antisipasi pencegahan terjadinya kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri yang berkali-kali terjadi di desa tersebut.
Pembentukan kelompok sukarelawan itu menjadi salah satu program yang dijalankan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) selama berlangsung program Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN PPM) kolaborasi UGM bersama dengan Universitas Halmahera di Kecamatan Tobelo dan Universitas Khairun di Kota Ternate, Maluku Utara, sejak 23 Juni hingga 11 Agustus 2023.
Afina Suryaningratri, salah seorang peserta KKN, mahasiswa Fakultas Psikologi UGM yang menangani program terkait kesehatan mental dan pembentukan kelompok tersebut, mengatakan, para sukarelawan yang semuanya kaum muda, termasuk pelajar, ini bertugas memberikan bantuan ketika ada warga yang mulai menunjukkan tanda-tanda ingin bunuh diri, sekaligus memberikan pertolongan ketika percobaan bunuh diri mulai dilaporkan terjadi.
”Para relawan ini diharapkan nantinya bisa berperan menjadi personel yang memberikan pertolongan pertama untuk mencegah agar bunuh diri tidak berulang terjadi,” ujar Afina, Sabtu (5/8/2023).
Pembentukan kelompok sukarelawan sebagai pertolongan pertama ini, menurut dia, dinilai penting karena layanan kesehatan mental tidak tersedia di desa atau di lingkup Kecamatan Tobelo. Kondisi tersebut ditandai oleh tidak adanya keberadaan psikolog di puskesmas atau rumah sakit terdekat.
Saat ini, jumlah sukarelawan baru terdata lima orang. Namun, dia dan rekan-rekan akan terus melakukan sosialisasi untuk menambah jumlah sukarelawan yang akan bergabung.
Para sukarelawan ini, lanjutnya, dibekali materi, cara-cara untuk melakukan pencegahan ketika mengetahui ada warga yang mulai menunjukkan tanda-tanda depresi, ingin bunuh diri. Bantuan pencegahan yang bisa dilakukan adalah melakukan upaya pendampingan serta memberikan layanan konseling atau konsultasi.
Ketika kemudian melihat adanya upaya percobaan bunuh diri, para sukarelawan diharapkan bisa langsung bertindak, melakukan tindakan lanjutan, termasuk mencari pertolongan ke puskesmas atau rumah sakit sekitar.
Nimas Lara Dhatu, mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, peserta KKN lainnya, mengatakan, selain sebagai sukarelawan, dirinya bersama Afina juga terus melakukan edukasi perihal kesehatan mental kepada kalangan pelajar dan ke rumah-rumah warga.
Kepada kalangan murid, mereka memberikan materi manajemen pengendalian diri, termasuk cara untuk mengendalikan stres dan upaya untuk menyelesaikan masalah dengan tenang.
Adapun di rumah warga, kepada keluarga terutama orangtua, para sukarelawan memberikan materi bagaimana melakukan metode pengasuhan dengan baik tanpa melakukan kekerasan kepada anak.
”Banyak warga cenderung ringan tangan, sering melakukan kekerasan fisik, memukul, sebagai bentuk teguran bagi anak-anaknya. Tindakan kasar seperti inilah yang membuat suasana menjadi tidak menyenangkan dan akhirnya rentan membuat anak-anak merasa tidak nyaman. Ketika mendapatkan masalah, mereka pun cenderung mudah mencari jalan pintas penyelesaian dengan cara bunuh diri,” tutur Nimas.
Pembentukan kelompok sukarelawan mendesak dilakukan karena kasus bunuh di Desa Gorua Selatan sering terjadi. Dari hasil observasi yang dilakukan, banyak warga menyebutkan percobaan bunuh diri terjadi hampir setiap bulan. Sejak mengikuti program KKN pada 23 Juni hingga Jumat (4/8/2023), dia pun sudah membuktikan sendiri, dengan mendapatkan sekitar tiga laporan percobaan bunuh diri dari warga setempat.
Nimas menyebutkan, percobaan bunuh diri juga banyak dilakukan oleh kaum pelajar, warga yang masih berusia belasan tahun.
”Keinginan untuk bunuh diri sering kali diungkapkan sebagai bentuk gertakan atau ancaman. Ketika ada permintaan yang tidak dipenuhi atau ada situasi dalam rumah yang tidak sesuai keinginan, anak-anak biasanya kemudian langsung mengancam orangtuanya, mengatakan jika permintaannya tidak dituruti dia akan segera bunuh diri,” ucapnya.
Setiap upaya bunuh diri, baik yang sudah dilakukan maupun yang dapat digagalkan, menurut dia, biasanya juga akan dengan mudah memancing teman-temannya dari kalangan remaja untuk melakukan hal yang sama.
Keinginan untuk bunuh diri sering kali diungkapkan sebagai bentuk gertakan atau ancaman.
Hingga sejauh ini, Nimas mengatakan, pihaknya juga belum bisa mengetahui faktor dominan pemicu terjadinya upaya bunuh diri tersebut. Namun, sebagian kasus dilakukan pelaku saat dirinya dalam kondisi tidak sepenuhnya sadar karena dilakukan saat mabuk seusai mengonsumsi alkohol atau saat mengalami halusinasi setelah menghirup aroma lem.
Penyebab dan mitigasi
Kepala Desa Gorua Selatan Mirwan Idris mengatakan, sejak dirinya menjabat kepala desa tahun 2020 hingga sekarang, sudah terjadi enam kasus bunuh diri, dengan lima kasus dilakukan di salah satu ruangan di rumah dan satu kasus dilakukan di halaman rumah. Semua aksi bunuh diri itu dilakukan dengan cara gantung diri. Semula pelaku yang bunuh diri adalah laki-laki.
Di luar itu, dirinya pun sering kali mendapatkan sejumlah laporan percobaan bunuh diri.
Mirwan menyebutkan, dirinya tidak mengetahui secara jelas penyebab atau pemicu bunuh diri di Desa Gorua Selatan. Namun, menurut dia, kebanyakan kasus bermula dari masalah-masalah sepele saja.
Mirwan mengatakan, upaya bunuh diri bahkan pernah dilakukan salah seorang kerabatnya. Hal itu dilakukan setelah pelaku berselisih paham, dituduh berselingkuh oleh istrinya. Setelah melakukan pembicaraan yang melibatkan keluarga dan konflik tidak terselesaikan, pelaku yang kemudian kesulitan menghadapi masalah tersebut kemudian memutuskan bunuh diri.
Upaya bunuh diri juga dilakukan salah seorang warganga karena pelaku tersebut merasa tidak sanggup menghadapi tuntutan dan desakan untuk menikah dari kekasihnya. Hal itu terjadi karena yang bersangkutan merasa belum sanggup secara ekonomi, belum memiliki cukup uang untuk meminang dan menggelar pesta pernikahan.
Kebanyakan pelaku bunuh diri, menurut dia, dilakukan oleh kalangan masyarakat Kristiani. Oleh karena itu, dia kerap mengingatkan kepada kalangan rohaniwan dan umat Kristiani agar memperhatikan dan bersama-sama melakukan upaya pencegahan.
”Sebagai upaya mitigasi, kami pun mengingatkan, meminta agar masalah pengendalian diri dan kasus-kasus bunuh diri turut disampaikan dalam khotbah saat ibadah di gereja ataupun di lingkungan,” ujarnya.