Waspadai Bunuh Diri pada Anak Muda
Bunuh diri menjadi penyebab kematian kedua terbesar pada anak muda. Namun, kepedulian masyarakat dan pemerintah akan pencegahan bunuh diri masih sangat kurang akibat kuatnya stigmatisasi dan diskriminasi.
Tulisan berikut tidak dimaksudkan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan serupa. Jika Anda merasa depresi dan mulai berpikir untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke tenaga profesional, seperti psikolog atau psikiater. Meminta pertolongan mereka bukan berarti Anda lemah.
Bunuh diri adalah puncak persoalan kesehatan mental masyarakat, khususnya remaja dan dewasa muda. Kesedihan, bingung, kecewa, marah, atau perasaan kehilangan bisa memicu depresi dan keinginan bunuh diri. Namun, persoalan fatal ini masih luput dari perhatian serius masyarakat.
R (18), perempuan asal Tangerang Selatan, Banten, Selasa (13/9/2022) sore, mencoba bunuh diri. Dia melompat dari jembatan penyeberangan setinggi kurang dari 15 meter yang menghubungkan dua mal di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Dari percobaan bunuh diri itu, seperti dikutip dari Kompas.com, R selamat walau mengalami patah tulang punggung.
Kasus R hanyalah satu dari banyak percobaan bunuh diri remaja yang terungkap. Banyak kasus serupa yang luput dari perhatian masyarakat. Informasi yang terunggah di media pun umumnya berupa kasus bunuh diri yang sudah menyebabkan tewasnya seseorang, jarang yang berupa upaya percobaan bunuh diri.
Bunuh diri adalah fenomena gunung es. Banyak kasus tidak terungkap dan tidak terdata akibat buruknya pengelolaan data dan penanganan bunuh diri serta stigmatisasi. Akibatnya, pencegahannya pun nyaris tak banyak dilakukan dan sering kali disederhanakan hanya karena masalah ”kurang iman”.
Baca juga : Bunuh Diri Bisa Dicegah, Jangan Abaikan Stres dan Depresi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Dunia, 10 September 2022, menyebut, ada 703.000 orang bunuh diri setiap tahun. Artinya, ada 1 orang bunuh diri setiap 45 detik. Dari setiap kasus bunuh diri, ada 20 orang yang melakukan percobaan bunuh diri dan jauh lebih banyak lagi yang memiliki pikiran untuk bunuh diri.
Ada jutaan penduduk Bumi yang mengalami kesedihan mendalam yang menjadi salah satu pendorong bunuh diri. Bunuh diri menjadi penyebab kematian terbesar kedua pada penduduk usia 15-29 tahun dan 77 persen terjadi di negara berpendapatan rendah menengah. Selain itu, dari setiap kasus bunuh diri yang terjadi, menyisakan kepedihan mendalam bagi banyak anggota keluarga, teman, dan masyarakat sekitar.
Di Indonesia, mengutip data Kementerian Kesehatan 2019, ada 875 kasus bunuh diri yang dilaporkan ke polisi pada 2016 dan 789 kasus pada 2017. Jumlah itu jauh lebih kecil dibanding data WHO Global Health Estimates yang memperkirakan pada setiap 100.000 penduduk Indonesia pada 2016, sebanyak 3,4 orang di antaranya bunuh diri.
Bunuh diri pada laki-laki Indonesia pada tahun tersebut mencapai 4,8 orang per 100.000 penduduk, jauh lebih tinggi dibanding pada perempuan sebesar 2 orang per 100.000 penduduk.
Jika diasumsikan tingkat bunuh diri tersebut tidak berubah dan ada 273 penduduk Indonesia pada 2022, diperkirakan ada 9.300 kasus bunuh diri di Indonesia. Prevalensi bunuh diri tertinggi ada pada penduduk lanjut usia berumur lebih dari 60 tahun. Namun, untuk penduduk usia kurang dari 60 tahun, jumlah bunuh diri tertinggi ada pada penduduk umur 20-29 tahun.
Pematangan emosional
Tingginya kasus bunuh diri pada remaja dan dewasa muda terjadi karena pada rentang usia tersebut merupakan tahap kritis perkembangan manusia. Anak muda banyak menghadapi kesulitan fisik, mental emosional, dan sosial yang membingungkan. Belum lagi perubahan hormonal yang memicu berubahnya emosi. Namun, semua itu terjadi saat otak mereka belum matang sepenuhnya.
Penyebab bunuh diri pada remaja beragam, mulai dari kesedihan karena ditinggal atau kurang diperhatikan orangtua, perundungan, hingga soal asmara. Akan tetapi, penyebab sebenarnya jauh lebih rumit dan kompleks. Di balik berbagai kesedihan yang mereka alami, ada rasa sakit hati, kehilangan, diabaikan, hingga malu yang mendalam.
Pendiri komunitas pencegahan bunuh diri Into The Light, Benny Prawira, seperti dikutip Kompas, 13 September 2016, menegaskan, tidak ada penyebab tunggal terjadinya bunuh diri. Karena itu pula, ”Bunuh diri tidak bisa disederhanakan hanya karena masalah salah asuh atau keimanan,” katanya.
Anak muda kerap merasa tak dipahami dan dibenci oleh orang-orang sekitarnya, tetapi mereka tidak tahu jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Orang muda juga sering memandang persoalan dunia secara hitam putih, tanpa tahu adanya pilihan lain dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Risiko itu makin meningkat jika mereka terpapar alkohol dan obat-obatan terlarang.
Dari semua persoalan itu, mereka pikir hanya mereka sendiri yang menanggungnya. Mereka menganggap orang-orang di sekitarnya tidak peduli atau tidak mau membantunya. Kondisi itulah yang kemudian memunculkan ide bunuh diri. Bunuh diri kerap dianggap solusi cepat jangka pendek untuk menyelesaikan semua masalah yang terjadi.
Menurut Benny, meski kehidupan remaja penuh tantangan dan gejolak, banyak orang dewasa di sekitar mereka tidak memahaminya. Banyak orang dewasa tidak peka dengan masalah yang dihadapi anak muda. Stereotipe anak muda yang dianggap banyak mengeluh, lemah, hingga tidak boleh stres membuat banyak orang dewasa menyepelekan masalah anak muda.
Remaja sering kali berusaha mencari perhatian dengan bertingkah laku kekanak-kanakan, padahal hal itu sebenarnya dilakukan untuk mencari bantuan. ”Semua yang dilakukan kaum muda bisa menjadi indikator ada masalah dalam diri mereka,” ujarnya.
Baca juga : Keinginan Bunuh Diri Jangan Dianggap Remeh
Di sisi lain, tekanan sosial pada anak muda saat ini sangat besar. Sebagai warga asli digital, mereka tumbuh dalam lingkungan teknologi digital yang serba cepat, serba mudah, dan instan. Semua itu meningkatkan stres, kecemasan, depresi, hingga risiko bunuh diri pada mereka.
Laporan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat menyebut, di antara penduduk dewasa (35-64 tahun), lanjut usia (lebih dari 75 tahun), dan anak muda (10-24 tahun), tingkat bunuh diri pada anak muda memang lebih rendah. Namun, pada anak muda, bunuh diri menjadi penyebab kematian terbanyak ketiga, bahkan terbanyak kedua untuk umur 10-14 tahun.
Kegawatan medis
Perwakilan Indonesia untuk Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional (IASP) yang juga psikiater di Rumah Sakit Umum Daerah dr Soetomo-Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Nalini Muhdi, seperti dikutip Kompas, 8 September 2016, menyebut, bunuh diri belum dianggap sebagai kegawatan medis dan kesehatan mental serius di Indonesia.
Selain lemah dalam pelaporan, pendataan bunuh diri di Indonesia pun masih sulit. Sebagian kasus bunuh diri sering dilaporkan sebagai kecelakaan lalu lintas, seperti karena kendaraannya menabrak pohon atau tersambar kereta. Padahal, kasus tersebut bisa saja terjadi karena sang pengendara sengaja menabrakkan kendarannya ke pohon atau kereta.
Kondisi ini tentu mengkhawatirkan mengingat bunuh diri banyak dilakukan oleh penduduk usia produktif, khususnya umur 15-29 tahun. Ini tentu menjadi ancaman serius mengingat saat ini Indonesia berada dalam puncak bonus demografi yang ditandai dengan kelimpahan penduduk usia produktif.
Penduduk usia produktif itu seharusnya menjadi tumpuan pembangunan ekonomi. Namun, jika kesehatan mental mereka bermasalah, apalagi sampai bunuh diri, tentu justru akan membebani ekonomi.
Meski demikian, bunuh diri sebenarnya bisa dicegah. Orang yang ingin bunuh diri umumnya menunjukkan gejala atau perubahan perilaku yang sejatinya bisa dirasakan atau diamati oleh orang-orang di sekelilingnya.
Penyebab bunuh diri yang terlihat pada remaja beragam, mulai dari kesedihan karena ditinggal atau kurang diperhatikan orangtua, perundungan, hingga soal asmara.
Peneliti bunuh diri yang juga psikiater di RSUD Wonosari Gunung Kidul, DI Yogyakarta, Ida Rochmawati, di Kompas, 9 September 2016, menyebut, sekitar 80 persen orang yang ingin bunuh diri menunjukkan gejala depresi mayor, seperti murung, hilang minat, dan mudah lelah. Tanda itu biasanya diikuti gejala minor, seperti kurangnya nafsu makan, gangguan tidur, merasa harga dirinya rendah, merasa bersalah berlebihan, dan muncul ide pesimistis pemicu bunuh diri.
Orang yang ingin bunuh diri biasanya juga menunjukkan tanda-tanda atau pesan kematian, seperti menulis keinginan untuk mati atau permintaan maaf, menasihati orang lain tentang makna hidup, atau memberikan barang kesayangannya kepada orang lain.
Saat gejala itu muncul, penderita seharusnya segera ditangani secara medis oleh tenaga profesional kesehatan mental. Semua itu membutuhkan dukungan serta kepedulian keluarga dan masyarakat sekitar.
Namun, pegiat dari Lembaga Kajian dan Pencegahan Bunuh Diri Kunang-kunang Al Qodir Yogyakarta, Wiranata Adisasmita, menegaskan, intervensi pencegahan bunuh diri hanya bisa dilakukan jika tidak ada stigmatisasi terhadap orang yang ingin bunuh diri.
Banyak orang menunjukkan kepeduliannya kepada orang yang ingin bunuh diri dengan cara yang keliru, seperti menyalahkan atau menyudutkan mereka yang ingin bunuh diri dan memberi nasaihat yang tidak tepat. Sikap itu tanpa disadari justru bisa membuat orang yang ingin bunuh diri makin menarik dari lingkungan karena merasa tidak dipahami hingga akhirnya benar-benar bunuh diri.
Banyak orang yang ingin bunuh diri justru mengalami diskriminasi dan pengucilan. Orang yang ingin bunuh diri umumnya melakukan percobaan bunuh diri terlebih dahulu hingga beberapa kali. Percobaan itu dilakukan karena bagaimanapun, membunuh diri sendiri itu tidak mudah. Dalam situasi ini, lingkungan seharusnya menjadi pelindung, bukan malah ikut menekan.
Baca juga : Keterbatasan Akses Layanan Kesehatan Jiwa Perburuk Risiko Bunuh Diri
Berbagai kerumitan itu membuat sistem layanan kesehatan jiwa, khususnya untuk pencegahan bunuh diri di Indonesia, perlu segara diperbaiki. Selain memperbanyak pelatihan dan kesiapan tenaga kesehatan jiwa, adanya pusat layanan atau hotline yang bisa dihubungi oleh orang yang ingin bunuh diri sangat diperlukan. Layanan itu tentu perlu ditopang oleh tenaga profesional yang bisa memahami situasi bunuh diri sehingga mereka tidak hanya menjadi pendengar curahan hati orang yang ingin bunuh diri, tetapi juga bisa menggagalkan bunuh diri.
Beberapa tahun lalu, pemerintah pernah memiliki hotline pencegahan bunuh diri. Kini, layanan itu sudah berhenti dan belum ada penggantinya. Kini, sulit untuk bisa mencari layanan telepon khusus untuk pencegahan bunuh diri di Indonesia. Beberapa lembaga layanan kesehatan memang memiliki nomor telepon khusus, tetapi belum mencakup pencegahan bunuh diri.
Situasi itu sebenarnya cukup menggambarkan bagaimana sikap kita tentang bunuh diri di Indonesia. Lantas, sampai kapan anak-anak muda Indonesia harus menanggung derita jiwa dan mati sia-sia karena kurangnya kepedulian kita?