Kasus Kelaparan di Papua Berulang, Penanganan Dinilai Belum Sentuh Akar Masalah
Pemicu kasus kelaparan di Papua tak semata karena cuaca ekstrem. Upaya penanganan yang dilakukan dinilai belum menyentuh akar masalah sehingga kasus kelaparan terus berulang.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Selama dua dekade pelaksanaan otonomi khusus di Papua, terjadi enam kasus kelaparan yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Kondisi itu dinilai terjadi karena sejumlah masalah, misalnya, tata kelola anggaran yang bermasalah dan pendampingan bagi masyarakat di perdesaan yang belum optimal.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman saat dihubungi dari Jayapura, Papua, Selasa (1/8/2023), mengatakan, selama ini, penanganan masalah kelaparan di Papua hanya bersifat jangka pendek dan belum menyentuh akar masalah. Akibatnya, masalah kelaparan terus berulang.
Armand memaparkan, salah satu penyebab berulangnya kelaparan di Papua adalah tata kelola anggaran dan kebijakan otonomi khusus yang bermasalah. Oleh karena itu, meski mendapat kucuran anggaran triliunan rupiah, program yang dilaksanakan pemerintah belum menyentuh akar masalah tersebut.
”Pengawasan proses perencanaan dan penganggaran juga terkesan hanya antara pemerintah daerah dan pusat. Hal ini berdampak terhadap kualitas pelayanan publik seperti dalam bidang kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat Papua belum optimal,” kata Armand.
Padahal, Armand menilai, perencanaan dan penganggaran sangat menentukan kualitas pelayanan publik. Selain itu, diperlukan pengawasan kolaboratif dalam perencanaan dan penganggaran yang melibatkan pemerintah, kelompok masyarakat sipil, akademisi, hingga media massa.
Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Universitas Cenderawasih, Avelinus Lefaan, berpendapat, terdapat dua masalah di balik kasus kelaparan yang terus terjadi di Papua. Pertama, belum efektifnya upaya pendampingan oleh pemerintah daerah bagi masyarakat di perdesaan yang 80 persen bekerja sebagai petani.
Avelinus menambahkan, masalah kedua berkait dengan kondisi petani di sejumlah pegunungan dan lembah di Papua yang belum beradaptasi untuk menghadapi perubahan iklim yang kini melanda dunia. Mereka masih bergantung pada sistem pertanian tradisional dengan menjadikan ladang sebagai lumbung pangan.
Oleh karena itu, saat terjadi cuaca ekstrem yang mengakibatkan gagal panen, masyarakat rentan mengalami kelaparan. Berdasarkan catatan Kompas, ada enam kasus kelaparan di Papua selama era kebijakan otonomi khusus.
Kasus kelaparan tersebut terjadi pada tahun 2003, 2005, 2015, 2022, dan 2023. Kasus terbaru terjadi pada Juli 2023 di Kabupaten Puncak, Papua Tengah.
Kasus kelaparan di Kabupaten Puncak itu terjadi karena bencana kekeringan di tiga distrik (kecamatan), yakni Agandugume, Lambewi, dan Oneri. Sekitar 10.000 jiwa terdampak bencana tersebut dan enam warga meninggal dunia karena sakit.
Bencana kekeringan di Kabupaten Puncak dipicu cuaca ekstrem dengan temperatur suhu udara di bawah 10 derajat celsius dan musim kemarau yang berkepanjangan. Kondisi itu terjadi sejak Mei lalu sehingga menyebabkan tanaman milik warga, seperti ubi dan keladi, gagal panen.
”Para petani belum dibekali cara dalam menghadapi perubahan iklim yang ekstrem, misalnya menyiapkan tempat lumbung pangan yang memadai. Seharusnya pemda berperan membantu petani dalam menghadapi tantangan iklim,” tutur Avelinus.
Sementara itu, Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pundak, Arisan Palamba, mengatakan, pada Selasa ini, pesawat dari maskapai Reven Global Airtranspor kembali mengirim bantuan untuk warga terdampak kekeringan. Bantuan berupa makanan dengan berat 800 kilogram itu dikirim melalui Bandara Agandugume, Kabupaten Puncak.
Dia menambahkan, BPBD Puncak telah menyiapkan upaya mitigasi untuk menghadapi dampak cuaca ekstrem. Salah satunya adalah menyiapkan anggaran untuk memberikan bantuan bagi masyarakat yang terdampak.
”Setiap tahun kami menganggarkan dana sekitar Rp 1 miliar untuk penanganan dampak bencana di wilayah Puncak. Kami juga selalu berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana apabila menghadapi kendala dalam penanganan masalah di lapangan,” ucap Arisan.
Seharusnya pemda berperan membantu petani dalam menghadapi tantangan iklim.