Darurat Perkawinan Anak, Aktivis Perempuan Sumatera Dorong Pencegahan
Kasus perkawinan anak rentan menyebabkan kemiskinan, kekerasan, perceraian, putus sekolah, risiko anak tengkes, dan kanker serviks. Faktor terbesarnya adalah hamil terlebih dahulu, cinta, dan desakan orangtua.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Langkah strategis harus dilakukan semua pihak untuk menangani darurat perkawinan anak. Kasus perkawinan anak yang masih tinggi sangat rentan menyebabkan kemiskinan, kekerasan, perceraian, putus sekolah, meningkatkan risiko anak tengkes, hingga kanker serviks. Faktor terbesar perkawinan anak adalah hamil terlebih dahulu, cinta, dan desakan orangtua.
”Semua pihak harus menghindari segala bentuk dispensasi perkawinan anak, yakni usia di bawah 19 tahun,” kata Koordinator Konsorsium Perempuan Sumatera Mampu (Permampu) Dina Lumbantobing, di Medan, Sumatera Utara, Selasa (1/8/2023).
Dina menyebut, kasus perkawinan anak yang masih sangat tinggi sudah berada di tingkat mengkhawatirkan. Langkah-langkah strategis dan peta jalan pencegahan dan penanganan kasus perkawinan anak harus dibuat segera.
Untuk membicarakan kondisi darurat perkawinan anak itu, delapan anggota Konsorsium Permampu, yakni Flower Aceh, Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada) Sumut, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Sumatera Barat, Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita Sumatera (PPSW) Riau, Aliansi Perempuan Merangin (APM) Jambi, Women’s Crisis Centre (WCC) Cahaya Perempuan Bengkulu, WCC Palembang, dan Lembaga Advokasi Perempuan (Damar) Lampung, mengadakan diskusi bertajuk ”Ngobrol Kritis Anak Muda Sumatera, Perkawinan di Bawah 19 Tahun dari Sudut Pandang Anak Muda”.
Mengutip data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dina menyebut, perkawinan anak mencapai 11,21 persen pada tahun 2017 dan hanya turun sangat sedikit menjadi 10,82 persen tahun 2019.
Sementara, menurut data Komisi Nasional Perempuan, jumlah perkawinan anak pada 2019 mencapai 23.126 kasus. ”Di tahun 2020, saat puncak pandemi Covid-19, kasus perkawinan anak justru meningkat dua kali lipat menjadi 64.211 kasus,” kata Dina.
Dina menyebut, kondisi di semua provinsi di Sumatera kurang lebih sama. Kasus perkawinan anak yang terjadi masih jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yakni 8,74 persen.
Semua pihak harus menghindari segala bentuk dispensasi perkawinan anak yakni, usia di bawah 19 tahun.
Pencegahan pernikahan anak, kata Dina, sebenarnya sudah mempunyai fondasi baru dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. UU ini merupakan perubahan atas UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Perubahan mendasar UU ini untuk mencegah dan menghapuskan perkawinan anak. Usia perkawinan minimal menjadi 19 tahun untuk perempuan dan laki-laki.
Sebelumnya, dalam UU No 1/1974 batas usia minimal perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. UU ini dinilai diskriminatif pada perempuan dan menjadikan perempuan menjadi korban yang paling rentan pada kasus perkawinan anak.
Konsorsium Permampu juga mendorong percepatan program pencegahan dan penanganan perempuan korban perkawinan anak melalui revitalisasi one stop service and learning (OSS&L) di puskesmas, menggiatkan Gerakan Pembaharu Keluarga (Gaharu), serta melanjutkan gerakan perempuan yang intergenerasional (relasi antarkelompok usia) dan inklusif.
Wilda (19), dampingan LP2M Sumbar, menyebut, dia mempunyai teman seorang perempuan yang menikah pada usia anak karena hamil terlebih dahulu. Temannya itu mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Pasangan suami-istri itu juga kesulitan secara ekonomi karena tidak bisa mendapat pekerjaan dan pendapatan yang layak. ”Hampir setiap hari dia ribut dengan suaminya,” kata Wilda.
Faktor cinta dan kehamilan
Dalam siaran pers Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Mahkamah Agung Nur Djannah Syaf mengatakan, kasus perkawinan anak sudah sangat darurat dan mendesak untuk ditangani. Cinta kepada pasangan dan desakan orangtua untuk segera menikah menjadi faktor terbesar permohonan dispensasi perkawinan anak.
”Di tahun 2022, secara nasional ada sekitar 52.000 perkara dispensasi perkawinan yang masuk ke peradilan agama. Sebanyak 34.000 di antaranya didorong faktor cinta sehingga orangtua meminta ke pengadilan agar anak mereka segera dinikahkan,” kata Nur.
Lalu, 13.547 pemohon lainnya mengajukan dispensasi perkawinan anak karena sudah hamil terlebih dahulu dan 1.132 pemohon mengaku anaknya sudah melakukan hubungan intim. Faktor lainnya adalah karena alasan ekonomi, perjodohan, dan anak sudah akil balig.