Sulit Melepas Kebiasaan Menerima Bantuan
Warga miskin didorong untuk mandiri. Namun, mereka telanjur terbiasa dengan bantuan sosial dan berharap tetap mendapatkannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Setiap kelulusan biasanya menjadi hal yang menyenangkan. Namun, sorot gembira itu sama sekali tidak terpancar dari wajah Sri Murtini (47) ketika diingatkan bahwa dirinya akan segera dinyatakan ”lulus”, tidak akan lagi terdata sebagai penerima bantuan dari Program Keluarga Harapan pada tahun depan.
Keluarga Sri di Desa Birit, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, merupakan penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) sejak tahun 2013. Salah satu komponen persyaratan yang dipenuhi sebagai penerima bantuan adalah karena keluarga miskin ini memiliki anak bersekolah. Namun, karena tahun depan putri bungsunya akan lulus dari SMK, bantuan sosial pun dipastikan tidak akan lagi diterima pada tahun depan.
”Peringatan” tentang pemberhentian bantuan sosial PKH itu disampaikan oleh rombongan dari Staf Khusus Presiden, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta perwakilan dari jajaran Pemerintah Kabupaten Klaten saat mengunjungi rumahnya, Kamis (27/7/2023).
Sehari-hari, kebutuhan rumah tangga Sri ditopang oleh tiga orang, yakni suami dan dua anaknya yang semuanya bekerja sebagai buruh bangunan. Namun, pernyataan akan segera dihentikannya bantuan sosial tersebut tetap membuatnya terkesiap.
Beberapa tenaga pendamping PKH memastikan bahwa Sri sebenarnya siap untuk hidup tanpa menerima bantuan. Sri diingatkan bahwa putrinya, yang sebentar lagi lulus SMK dan sudah kerap praktik menjahit, bisa didorong untuk membuka usaha jahitan. Dengan demikian, bisa memberi tambahan pemasukan baru bagi keluarga.
”Oh, iya, ya, bisa membuka usaha menjahit baju,” ujarnya tersadar.
Sri sehari-hari adalah ibu rumah tangga. Dia juga ingin mencari pendapatan dengan membuka usaha. Bersama dengan ibu-ibu penerima bantuan lainnya, dia pernah menjalankan usaha membuat keripik usus ayam. Namun, usaha tersebut terhenti karena masalah kesehatan.
Sri mengalami gangguan kesehatan lemah jantung, tekanan darah tinggi, dan ada gangguan di lambung. Dia pun berobat rutin ke dokter, dengan ditanggung dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
”Berdasar kondisi kesehatan saya sekarang ini, dokter menyarankan saya supaya tidak terlalu lelah bekerja,” ujarnya.
Praktis, suami dan anak-anaknya yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Sebagai buruh bangunan, suami dan anak-anaknya memiliki penghasilan Rp 60.000 per hari. Sebagian besar pemasukan yang didapatkannya berasal dari penghasilan suami, sedangkan dua anaknya hanya memberikan uang sesekali.
Setiap minggu, Sri biasa menghabiskan uang Rp 200.000 untuk kebutuhan berbelanja kebutuhan rumah tangga. Selain dari penghasilan suami, sebagian uang belanja tersebut didapatkan dengan menyisihkan uang bantuan PKH.
Selain untuk kebutuhan sehari-hari, dana bantuan sosial itu digunakan untuk membiayai kebutuhan sekolah putrinya. Sesekali, sebagian uang juga digunakan untuk membiayai keperluan lain, seperti membeli pulsa dan kuota paket data di telepon seluler miliknya.
Walakin, dana dimiliki tetap saja tidak cukup untuk memenuhi semuanya. Ia pun berutang ke tetangga untuk menutup kebutuhan hidup. ”Utang saya banyak,” ujarnya sembari menutup wajah, malu. Dia sebenarnya berharap masih bisa terus mendapatkan bantuan sosial.
Harapan untuk bisa terus mendapatkan bantuan sosial juga diutarakan oleh warga penerima bantuan lainnya, Suryani (44). Ia memiliki usaha menyetrika baju dengan penghasilan kotor Rp 20.000-Rp 30.000 per hari. Dia juga acapkali mendapatkan kiriman uang Rp 400.000-Rp 600.000 per bulan dari putrinya yang bekerja di Tangerang.
Walakin, dia mengaku tetap berat untuk lepas dari bantuan. ”Saya baru bisa lepas setelah anak bungsu saya lulus sekolah,” ujar penerima bantuan PKH sejak tahun 2013 ini.
Saat ini, anak bungsunya duduk di bangku SMP. Dia berharap anaknya setidaknya masih bisa lulus SMA atau SMK, dan setelah itu bekerja seperti kakaknya.
Usaha menyetrika baju dijalaninya selama empat tahun terakhir. Inisiatif membuka usaha ini dilakukan setelah suaminya, Suharno (52), yang semula bekerja sebagai buruh bangunan, tidak lagi bisa bekerja karena kondisi fisiknya melemah dan sering sakit.
Selain untuk kebutuhan rumah tangga, sebagian dana PKH yang diterima Suryani juga digunakan untuk biaya operasional menjalankan usaha. Terkait usaha, dia tidak tertarik mengembangkannya dengan memakai uang pinjaman atau kredit dari bank. ”Saya tidak mau terlalu banyak berutang, nanti pikiran jadi tidak tenang,” ujarnya.
Dengan dalih ingin menjaga ketenangan hidup itulah, dia memilih cukup puas untuk menjalankan usaha seorang diri, sesuai dengan batas kemampuan serta kondisi kesehatannya. Oleh karena itu, dia pun tidak ingin berpromosi macam-macam untuk menambah pelanggan. Dana PKH yang diterima Rp 375.000 per bulan dibutuhkannya untuk mendukung usahanya.
Sri dan Suryani terdata sebagai warga dengan kemiskinan ekstrem. Namun, dua orang ini tinggal di rumah layak huni yang semuanya dibangun dengan dana rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa tahun 2006.
Membeli rokok
Sugiman (79), salah seorang petani di Desa Birit, juga mengaku belum bisa lepas dari bantuan PKH. Kendati masih mendapatkan kiriman Rp 200.000 per minggu dan bantuan beras dari cucu, dia mengaku masih berharap bisa terus mendapatkan bantuan PKH.
Dana bantuan sosial digunakan, antara lain, untuk memenuhi kebutuhan uang saku dan membeli rokok, sekitar Rp 10.000 per hari. Sekalipun kondisi kesehariannya berkekurangan dan tidak memiliki tabungan, Sugiman mengaku tetap tidak bisa menghentikan kebiasaannya merokok. ”Saya bisa tidak makan dua hari, tetapi berhenti merokok satu hari saja, saya tidak bisa,” ujarnya.
Kepala Seksi Pembangunan dan Pemberdayaan Kecamatan Wedi Wiwit Any Wahyuni mengatakan, dana bantuan sosial dari pemerintah memang kerap ditunggu-tunggu dan diandalkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. ”Warga sudah sangat terbiasa menerima bantuan. Mereka menunggu-nunggu bantuan seperti menunggu gaji bulanan,” ujarnya.
Namun, menurut dia, tidak semua warga memanfaatkan bantuan untuk mencukupi kebutuhan pokok. Sebagian di antaranya bahkan memakai uang untuk membeli kebutuhan lain, seperti membeli paket data internet hingga beragam perhiasan.
Warga sudah sangat terbiasa menerima bantuan. Mereka menunggu-nunggu bantuan seperti menunggu gaji bulanan.
Oleh karena itu, dia pun sebenarnya berharap pemerintah mulai berpikir untuk mengganti bantuan tunai dengan bantuan program-program pelatihan untuk peningkatan kemampuan masyarakat. ”Dengan meningkatkan kemampuan dan keterampilannya, warga bisa meningkatkan pendapatannya sendiri tanpa mengharapkan adanya bantuan lagi,” ujarnya.
Baca juga: Keamanan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Disertifikasi
Warga antre untuk mengambil Bantuan Sosial Tunai tahap pertama di Kantor Pos Besar Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Senin (11/5/2020). PT Pos Indonesia (Persero) telah menyediakan enam Kantor Pos di Surabaya untuk menyalurkan bantuan bagi warga di 12 kelurahan di empat kecamatan.
Koordinator PKH Kabupaten Klaten Theo Markis mengatakan, di wilayahnya ada sekitar 200 kelompok usaha bersama yang beranggotakan ibu-ibu yang semuanya merupakan penerima bantuan sosial, di mana satu kelompok usaha bersama beranggotakan 10 orang.
Para tenaga pendamping juga sudah berupaya melakukan program pelatihan, pemberdayaan untuk mengembangkan usaha yang dijalani kelompok usaha bersama. Namun, karena keterbatasan anggaran, program pelatihan tersebut belum mampu melibatkan semua anggota kelompok usaha bersama.
Di satu sisi, pengembangan usaha juga terkendala karena kesulitan permodalan. Adapun modal biasa didapatkan para anggota dengan menyisihkan sebagian dana bantuan. Namun, pengumpulan iuran untuk modal juga sering kali terkendala ketidakmampuan keuangan para ibu.
”Ketika uang tidak mampu terkumpul banyak dan tidak mampu membiayai usaha, maka kegiatan produksi biasanya akan tiba-tiba berhenti dan baru berjalan ketika modal sudah bisa terkumpul lagi,” ujarnya. Aktivitas produksi yang tidak bisa kontinu tersebut pada akhirnya membuat kelompok usaha bersama sulit berkembang.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta mengatakan, angka kemiskinan ekstrem yang pada tahun 2022 terdata 2,04 persen, pada tahun 2023 menunjukkan tren menurun, dengan capaian 1,12 persen. Namun, angka ini diharapkan bisa terus ditekan, hingga akhirnya bisa mencapai target angka kemiskinan ekstrem nol atau mendekati nol persen pada tahun 2023.
Terkait dengan hal tersebut, warga penerima bantuan harus segera didorong mandiri agar tidak terus bergantung pada bantuan. Upaya mewujudkan kemandirian bisa dilakukan dengan program-program pelatihan yang seharusnya menjadi perhatian dari sejumlah pihak.
Masalah kemiskinan menjadi masalah serius yang harus segera dituntaskan karena selama ini bantuan sosial dan subsidi untuk warga miskin menyedot dana APBN yang cukup besar mencapai sekitar Rp 400 triliun per tahun.
Baca juga: Nilai Bantuan Makanan bagi Warga Lansia dan Disabilitas Mandiri Meningkat
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nunung Nuryartono mengatakan, masalah pelatihan, pemberdayaan untuk meningkatkan pendapatan warga, perlu mendapatkan perhatian serius.
Dalam hal ini, perlu dicermati secara tepat program-program apa yang bisa dilakukan untuk membuat warga penerima bantuan sosial menjadi warga yang benar-benar mandiri dan tidak bergantung pada bantuan lagi.
”Warga yang sudah berhasil mandiri, sudah lulus dari program bantuan sosial, harus diperhatikan agar mereka jangan sampai turun kelas, kembali jadi warga miskin penerima bantuan lagi,” ujarnya.