Saat Tambang Belum Mampu Tekan Angka Kemiskinan di Sulteng
Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang lebih dari 15 persen pada 2022 membuat pemerintah begitu mengagungkan tambang. Namun, nyatanya tambang tak bisa menekan angka kemiskinan dan bahkan menciptakan kesenjangan.
Pertambangan nikel yang tumbuh pesat di Sulawesi Tengah tak ubahnya dua sisi koin. Satu sisi membawa investasi modal triliunan rupiah dan menghasilkan aktivitas ekonomi luar biasa. Di sisi lain, tingkat kemiskinan bertambah pula.
Darma Kusuma (32), warga Desa Bente, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, mengatakan, sejak beberapa bulan terakhir harga sejumlah kebutuhan pokok melonjak tinggi. Sebagai contoh, harga elpiji ukuran 3 kilogram Rp 70.000 per tabung, jauh di atas harga normal sekitar Rp 20.000 per tabung.
”Bahkan, pernah sampai Rp 100.000 per tabung. Sayur-mayur, seperti kangkung dan bayam, sebelumnya Rp 10.000 per tiga ikat, sekarang seikat kecil Rp 5.000. Harga mulai tinggi sejak kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak),” katanya.
Darma menyebutkan, walau kondisinya demikian, hingga saat ini hampir setiap hari gelombang pencari kerja selalu berdatangan. Keberadaan industri nikel membuat orang-orang dari luar Morowali, bahkan luar Sulawesi Tengah, berdatangan mencari kerja.
”Rumah-rumah kos penuh. Setiap hari di lokasi proyek orang-orang antre memasukkan lamaran kerja. Banyak yang berdatangan walau tidak serta-merta mereka diterima bekerja,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menyatakan, inflasi, tingkat pengangguran terbuka, hingga belum tuntasnya penyaluran bantuan sosial adalah sebagian dari penyebab meningkatnya angka kemiskinan. Intervensi kebijakan penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai upaya pemulihan pascabencana dan pandemi Covid-19 juga belum mampu mendorong produktivitas sumber daya di kawasan perdesaan.
Hal itu dikatakan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulteng Christina Shandra Tobondo, Jumat (21/7/2023). Dia merespons rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) terkait meningkatnya angka kemiskinan di Sulteng.
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di Sulteng pada Maret 2023 sebesar 395.660 orang atau bertambah 5.950 orang dibandingkan dengan September 2022. Persentase penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 12,41 persen, naik 0,11 persen ketimbang September 2022, dan naik 0,08 persen daripada Maret 2022.
”Ada banyak faktor penyebab naiknya angka kemiskinan, di antaranya kinerja perekonomian daerah Sulteng pada triwulan I-2023 mengalami pertumbuhan minus 0,79 persen. Selain itu, progres penyaluran bantuan sosial untuk program sembako tahap I-2023 baru 88,2 persen,” katanya.
Kondisi ini diperparah tingkat pengangguran terbuka Februari 2023 sebesar 3,49 persen, naik ketimbang Agustus 2022 yang sebesar 3 persen. Di tengah tren meningkatnya tingkat pendidikan pencari kerja, nyatanya tak banyak yang terserap di sektor lapangan usaha.
Baca juga: Kemiskinan Naik di Sentra Pengolahan Nikel, Efek Ganda Hilirisasi Belum Optimal
Jumlah penduduk Sulteng tahun 2022 sebanyak 3,06 juta jiwa atau bertambah 44.264 jiwa dari tahun 2021. Pertambahan penduduk terbanyak terdapat di Kabupaten Morowali sebanyak 8.334 jiwa (18,83 persen), Kabupaten Sigi 5.136 jiwa (11,60 persen), dan Kabupaten Banggai 4.747 jiwa (10,72 persen). Morowali merupakan sentra tambang dan industri nikel sehingga banyak orang berdatangan ke daerah itu.
Pertumbuhan semu
Sebenarnya tahun lalu pertumbuhan ekonomi Sulteng berada di angka 15,17 persen. Capaian tersebut menempatkan provinsi ini menjadi daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di Indonesia setelah Maluku Utara.
Tak hanya pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah (PAD) juga meningkat signifikan dari Rp 900 miliar pada 2021 menjadi lebih dari Rp 1,7 triliun tahun lalu. Angka-angka pertumbuhan ini diakui banyak disumbang sektor tambang terutama nikel. Ini pula yang membuat Pemprov Sulteng membuka lebar pintu untuk tambang.
Mestinya paradigma pembangunan itu sudah menuju pada pertumbuhan berkeadilan, dari growth oriented menjadi equity for growth. Jika paradigmanya pertumbuhan dan angka-angka, pasti orientasinya sumber daya alam, salah satunya pertambangan.
Dalam wawancara dengan Kompas pada akhir Maret lalu, akademisi Fakuktas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako, Ahlis Djirimu, menyebutkan, angka-angka pembangunan yang dibangga-banggakan ini sebenarnya semu. Selama pemerintah hanya mengejar pertumbuhan belaka dengan bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam, ke depan pembangunan hanya akan membenamkan.
Baca juga: Mengejar Pertumbuhan di Tengah Risiko Bencana
Presiden Joko Widodo, Jumat (29/5/2015), meresmikan Pabrik Nikel Pig Iron PT Sulawesi Mining Investment di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Pabrik ini menjadi kawasan industri pengolahan nikel terbesar di Indonesia bagian timur. Presiden berharap, ke depan, pabrik ini bisa mengolah bahan jadi dari nikel agar memberi nilai tambah.
”Pemerintah Sulteng masih mengagungkan pertumbuhan ekonomi. Mestinya paradigma pembangunan itu sudah menuju pada pertumbuhan berkeadilan, dari growth oriented menjadi equity for growth. Jika paradigmanya pertumbuhan dan angka-angka, pasti orientasinya sumber daya alam, salah satunya pertambangan,” tuturnya.
Dia melanjutkan, di Morowali yang menjadi pusat industri tambang, nyatanya kemiskinan masih tinggi. Begitu juga penganggur. ”Kenapa? Karena yang mendorong lapangan pekerjaan bukan padat karya, tapi padat modal, yakni industri di Morowali. Lalu, angka IPM yang tahun lalu di atas 70, menurut saya, itu semu. Karena lebih banyak hanya dipengaruhi oleh paritas daya beli. Angka IPM ini mendapat dorongan positif dari Morowali karena tahun 2002 pendapatan per kapitanya mencapai 500 juta. Lalu Morowali Utara 100 juta,” papar Ahlis.
Baca juga: Kala Pertanian Kalah Pamor oleh Tambang
Menurut dia, indikator daya beli yang mendorong naiknya angka IPM justru tidak merata, hanya berputar pada golongan tertentu. Dia mengingatkan, ada sejumlah indikator yang memengaruhi keberhasilan pembangunan. Indikator itu adalah pertumbuhan ekonom, IPM, kemiskinan, ketimpangan, angka pengangguran, dan indeks kualitas lingkungan hidup.
Di Sulteng, keberhasilan pembangunan baru pada PAD dan pertumbuhan ekonomi. Sementara indikator keberhasilan lainnya masih dipertanyakan. Tak heran jika angka kemiskinan masih tinggi.