Hilirisasi Nikel Semakin Gemerlap, Kemiskinan di Sultra Justru Melonjak
Industri pengolahan nikel di Sultra baru menghasilkan produk setengah jadi. Padahal, sejak awal industri ini ditujukan untuk pengolahan hingga tahap akhir.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Di tengah gemerlap aktivitas pertambangan dan hilirisasi nikel, angka kemiskinan di Sulawesi Tenggara justru merangkak naik. Data Badan Pusat Statistik, persentase penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 11,43 persen atau 321.530 orang. Pembangunan yang tidak inklusif, inflasi, hingga semakin menurunnya sektor pertanian dan kelautan dinilai jadi penyebab.
Persentase penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 11,43 persen itu naik 0,16 persen dibandingkan September 2022 dan naik 0,26 persen dibandingkan Maret 2022. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 321.530 orang, naik 6.790 orang dibandingkan September 2022 dan naik 11.740 orang dibandingkan Maret 2022.
Tidak hanya itu, angka ketimpangan di wilayah ini juga meningkat. Pada Maret 2023, rasio gini sebesar 0,371. Angka ini naik 0,005 poin jika dibandingkan dengan rasio gini September 2022 yang sebesar 0,366 dan turun 0,016 poin dibandingkan dengan rasio gini Maret 2022 yang sebesar 0,387.
Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Sultra Suharno berpendapat, meningkatnya angka kemiskinan, juga ketimpangan di wilayah ini, bisa disebabkan beberapa hal. Penyebabnya mulai dari dampak pandemi Covid-19 yang masih terjadi, inflasi, hingga tingginya angka pendatang.
Selain itu, ia juga tidak memungkiri bahwa pembangunan dan sebaran perekonomian belum inklusif atau merata. ”Sultra sekarang jadi magnet ekonomi dengan kekayaan sumber daya alam. Tapi, itu adalah industri yang padat modal, bukan padat karya. Fenomena kemiskinan dan ketimpangan itu menjadi pekerjaan kita semua,” kata Suharno yang juga Asisten II Pemerintah Provinsi Sultra, Jumat (21/7/2023).
Tumbuhnya industri pertambangan dan pengolahan nikel beberapa tahun terakhir, tuturnya, tidak serta-merta berdampak luas terhadap masyarakat. Dari tenaga kerja, misalnya, pihaknya selalu mendorong agar warga lokal mendapatkan prioritas. Hanya, hal ini juga terbentur banyak faktor, mulai dari kemampuan hingga syarat dari industri yang merupakan penanaman modal asing (PMA).
Saat ini, proses transformasi dan penyiapan tenaga kerja terus diupayakan. Pelatihan dan pemberian beasiswa digalakkan agar tumbuh tenaga kerja terampil dalam beberapa tahun ini.
Adapun industri yang saat ini hadir, ia melanjutkan, memang belum sampai ke tahap hilir. Pengolahan nikel di fasilitas pengolahan yang ada baru menghasilkan produk setengah jadi, seperti feronikeldan nickel pig iron (NPI). Padahal, diharapkan industri ini menciptakan lapangan kerja baru dengan pengolahan hingga tahap akhir.
”Saat ini proyek strategis nasional (PSN) untuk nikel telah ada lima di Sultra, dan yang benar-benar berjalan baru satu. Ke depannya, ketika semuanya beroperasi, kami berharap bisa memberikan efek yang lebih terhadap kesejahteraan masyarakat,” kata Suharno.
Terkait turunnya sumbangsih sektor pertanian dan kelautan terhadap perekonomian daerah, ia berpendapat, hal tersebut merupakan keniscayaan ketika sektor lain juga turut bergerak. Perubahan lahan dan tenaga kerja yang terjadi membuat sektor ini turun dibandingkan pertambangan yang meningkat.
Akan tetapi, sektor tersebut tidak berarti ditinggalkan oleh pemerintah. ”Kami malah mendorong agar sektor utama itu juga bergerak ke arah industrialisasi. Tapi, sampai sekarang belum ada yang jalan meski banyak yang mengurus izin. Harusnya sektor pertanian dan kelautan ada industrinya juga untuk bisa mendorong penciptaan lapangan kerja baru, hingga produksi,” tuturnya.
Pada intinya, pemerintah daerah ingin agar pembangunan berjalan seiring dengan kesejahteraan masyarakat. Namun, masih banyak hal yang harus dilakukan dan diperbaiki ke depan. ”Kami tentu tidak ingin masyarakat seperti ayam yang mati di lumbung padi. Kita kaya nikel, tapi masyarakatnya tidak sejahtera, itu tidak kami inginkan,” katanya.
Sultra adalah salah satu daerah dengan cadangan nikel terbesar di Indonesia. Angkanya mencapai 97,4 miliar wet metric ton (wmt). Daerah ini terus digali untuk mengambil bijih nikel, lalu diolah di fasilitas pemurnian selama lebih dari satu dekade terakhir. Jumlah izin usaha pertambangan (IUP) nikel di wilayah ini juga yang terbanyak di Indonesia.
Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo, Kendari, Syamsir Nur menjabarkan, angka kemiskinan dan ketimpangan yang meningkat di wilayah ini menunjukkan timpangnya pembangunan dan aktivitas ekonomi. Terlebih lagi, jumlah penduduk miskin yang bertambah sebagian besar berada di kota.
”Kue ekonomi yang berputar di Sultra itu hanya dinikmati sebagian kalangan, utamanya yang memiliki modal. Sementara sebagian besar masyarakat bawah tidak memiliki akses dan kesempatan. Jadi, secara kasar kalau kita bisa bilang, industri dan pertambangan saat ini justru ciptakan jurang ketimpangan,” kata Syamsir.
Padahal, ia melanjutkan, tingkat urbanisasi semakin tinggi akibat daya tarik kota juga semakin gemerlap. Di perdesaan, daya dorong agar masyarakat keluar pun semakin tinggi akibat alih fungsi lahan hingga program pemerintah yang tidak tepat.
Hal itu terjadi akibat semakin melentingnya pertambangan dan industri pengolahan nikel selama beberapa tahun terakhir. Wilayah yang kaya akan nikel ini diolah dan terus mengalami perubahan baik secara ekonomi maupun lanskap wilayah. Daerah yang dulu wilayah pertanian dan kelautan perlahan bergantung pada pertambangan dan industri pengolahan skala besar.
Kue ekonomi yang berputar di Sultra itu hanya dinikmati sebagian kalangan, utamanya yang memiliki modal. Sementara sebagian besar masyarakat bawah tidak memiliki akses dan kesempatan.
Di satu sisi, sektor ini merupakan sektor padat modal yang tidak semua orang bisa mengaksesnya. Para pekerja di sektor ini juga disyaratkan memiliki keterampilan khusus. Dari banyak warga yang awalnya berharap bisa terlibat, hanya sebagian kecil yang terserap.
”Sultra itu tulang punggung ekonominya adalah pertanian dan kelautan. Puluhan tahun sektor ini menopang, namun dalam sepuluh tahun terakhir terjadi perubahan skala besar dan mulai digantikan sektor pertambangan dan pengolahan,” ujarnya.
Riset yang ia lakukan menemukan, selama periode 2010-2021, kontribusi sektor pertanian terus menurun. Pada 2010, kontribusi sektor ini terhadap produk domestik regional bruto Sultra mencapai 28,39 persen. Angka ini terus turun setiap tahun hingga menjadi 22,87 persen pada 2021. Sementara itu, kontribusi industri pengolahan menunjukkan angka rata-rata 6,40 persen. Angka per tahun terus tumbuh stabil hingga 7,09 persen pada 2021.
Menurut Syamsir, pemerintah harus mengambil langkah intervensi dengan program prioritas pada pertanian dan kelautan. Pengembangan pertanian dan perikanan dilakukan dengan fokus pada teknologi dan menjaga alih fungsi lahan. Di sisi lain, hilirisasi terus digenjot hingga bisa mencapai tahap produk turunan dan tidak hanya berhenti pada produk menengah yang kemudian diekspor. Hilirisasi pada tahap akhir bisa menciptakan berbagai lapangan kerja baru dan pengembangan sektor lain.
”Jika tidak ada intervensi kembali pemerintah pada sektor utamanya, saya khawatir ini akan menjadi masalah besar di kemudian hari. Sekarang baru peringatan dan ini harus menjadi perhatian bersama,” katanya.