Terima Gratifikasi Rp 4,7 Miliar dari Mafia Tanah, Kepala Dispertaru DIY Jadi Tersangka
Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY Krido Suprayitno menjadi tersangka korupsi penyalahgunaan tanah kas desa. Dia diduga menerima gratifikasi berupa uang dan dua bidang tanah dengan nilai sekitar Rp 4,7 miliar.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS – Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta menetapkan Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY Krido Suprayitno sebagai tersangka korupsi penyalahgunaan tanah kas desa. Krido diduga menerima gratifikasi berupa uang dan dua bidang tanah dengan nilai sekitar Rp 4,7 miliar dari pengusaha yang menyalahgunakan tanah kas desa.
”Tersangka sebagai pengawas (tanah kas) desa, tetapi malah justru bekerja sama dengan mafia tanah,” ujar Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY Ponco Hartanto dalam konferensi pers, Senin (17/7/2023) sore, di Yogyakarta.
Ponco menjelaskan, Krido ditetapkan sebagai tersangka korupsi terkait penyalahgunaan tanah kas desa di Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY. Dalam kasus itu, Kejati DIY telah menetapkan dua tersangka, yakni Direktur Utama PT Deztama Putri Sentosa, Robinson Saalino, serta Kepala Desa Caturtunggal, Agus Santoso.
Menurut Ponco, Krido diduga menerima gratifikasi dari Robinson dalam beberapa bentuk. Gratifikasi pertama adalah dua bidang tanah di Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman, dengan luas sekitar 600 meter persegi dan 800 meter persegi, dengan harga Rp 4,52 miliar. Dua bidang tanah yang diberikan pada tahun 2022 itu kini telah bersertifikat hak milik atas nama Krido.
Robinson juga menyerahkan sebuah kartu anjungan tunai mandiri (ATM) kepada Krido. Kartu ATM itu diisi secara bertahap oleh Robinson dengan saldo mencapai Rp 211 juta. ”Uang tersebut ditarik untuk kepentingan pribadi tersangka KS,” tutur Ponco.
Selain itu, Robinson juga menyerahkan uang kepada Krido, baik secara tunai maupun transfer ke rekening bank milik Krido. Ponco menyebutkan, berdasarkan penghitungan sementara, total nilai gratifikasi yang diterima Krido sekitar Rp 4,731 miliar. Jumlah itu masih dimungkinkan bertambah karena Kejati DIY terus melakukan pengembangan.
”Ini yang terkait dengan mafia tanah di Desa Caturtunggal. Kami masih melakukan penyelidikan lagi di desa-desa lain. Nanti dari pengembangan tim penyidik, nilai itu bisa lebih lagi,” ungkap Ponco.
Ponco menambahkan, setelah ditetapkan sebagai tersangka Krido langsung ditahan. Selain menahan Krido, Kejati DIY juga menyita barang bukti berupa uang tunai sekitar Rp 300 juta.
Komunikasi aktif
Ponco memaparkan, berdasar penyidikan Kejati DIY, Krido melakukan komunikasi secara aktif dengan Robinson terkait tanah kas desa. Apalagi, keduanya juga telah saling mengenal sejak tahun 2015. ”Dengan teknologi canggih, kami bisa kloning hasil pembicaraannya. Banyak pembicaraan aktif terkait urusan tanah kas desa yang dilakukan tersangka dengan Robinson,” katanya.
Sebagai Kepala Dispertaru DIY, Krido juga disebut mengetahui perbuatan Robinson yang menggunakan tanah kas desa di Desa Caturtunggal tanpa izin. Perusahaan milik Robinson, yakni PT Deztama Putri Sentosa, menggunakan tanah kas desa di Caturtunggal seluas 16.215 meter persegi untuk pembangunan hunian.
Padahal, perusahaan itu hanya memiliki izin untuk memanfaatkan tanah kas desa seluas 5.000 meter persegi. Selain itu, pembangunan hunian di tanah kas desa oleh PT Deztama Putri Sentosa juga dinilai melanggar aturan. Sebab, Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Desa melarang penggunaan tanah desa untuk rumah tempat tinggal.
Meski mengetahui pemanfaatan tanah kas desa tanpa izin itu, Krido ternyata membiarkan hal tersebut. Padahal, akibat penggunaan tanah kas desa di Caturtunggal tanpa izin itu, timbul kerugian negara sebesar Rp 2,952 miliar.
Akibat perbuatannya, Krido dijerat dengan pasal berlapis, antara lain Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dia juga dijerat dengan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Jerat lainnya adalah Pasal 12 B juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001.
Ancaman hukuman untuk Krido adalah pidana penjara seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun serta denda paling banyak Rp 1 miliar.
Berdasarkan penghitungan sementara, total nilai gratifikasi yang diterima Krido sekitar Rp 4,731 miliar.
Hormati proses hukum
Terkait penetapan Krido sebagai tersangka, Sekretaris Daerah DIY Beny Suharsono menyatakan, Pemerintah Daerah DIY menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Kejati DIY. Beny menuturkan, beberapa hari lalu, Krido menghadap dirinya terkait panggilan pemeriksaan oleh Kejati DIY.
Dalam pertemuan itu, Beny mengaku meminta Krido untuk kooperatif dengan proses hukum. ”Saya minta kooperatif dan apa adanya terkait apa yang diketahui oleh Mas Krido dan apa yang sudah dilakukan Mas Krido,” ujarnya.
Beny menambahkan, untuk menindaklanjuti penetapan Krido sebagai tersangka, Pemda DIY masih menunggu surat resmi dari Kejati DIY. Sebab, penetapan tersangka itu harus dilaporkan secara resmi kepada Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X.
Setelah adanya surat resmi itu, Pemda DIY kemungkinan bakal menunjuk pelaksana tugas untuk menjalankan tugas Kepala Dispertaru DIY. Hal ini agar kinerja Dispertaru DIY tidak terganggu.
”Yang jelas, lembaganya harus berjalan terus. Kemudian nanti dalam waktu dekat kalau suratnya sudah tersampaikan ke Pak Gubernur, kami akan menindaklanjuti secara operasional. Nanti mungkin perlu pengangkatan pejabat pelaksana tugas dulu sambil menunggu kepastian hukum,” kata Beny.