Sepekan Jadi Tersangka, KPK Masih Periksa Bupati Muna sebagai Saksi
Penyidik KPK memeriksa Bupati Muna La Ode M Rusman Emba dan belasan pihak lainnya pada kasus suap dana PEN di Muna, Sulawesi Tenggara. Meski begitu, ia masih diperiksa sebagai saksi dan belum ditahan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi melanjutkan penyidikan terkait kasus suap dana Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Belasan orang diperiksa, termasuk Bupati Muna La Ode M Rusman Emba yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka. Meski begitu, ia masih diperiksa sebagai saksi dan belum ditahan.
”Hari ini beliau (Rusman Emba) diperiksa di Polda Sultra sebagai saksi dalam kasus suap dana PEN Muna,” kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri, saat dihubungi dari Kendari, Senin (17/7/2023).
Selain Rusman, sejumlah pihak yang diperiksa pada Senin ini adalah Sekretaris Daerah Muna Eddy, Kepala Bappeda Muna La Mahi, Plt Kadis PUPR Muna M Aswan Kuasa, Kabid Anggaran BKAD Muna La Ode Abdul Salam, dan sejumlah pegawai di lingkup Pemkab Muna. Tidak hanya itu, sejumlah pihak dari Kemendagri juga diperiksa. Ada pula pihak swasta yang diperiksa.
Meski begitu, saat ditanya terkait pemeriksaan dan penahanan para tersangka, Ali tidak menjawab pertanyaan yang dikirimkan.
Sebelumnya, pada Rabu (12/7), KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus dana PEN di Muna. Mereka adalah Bupati Muna La Ode M Rusman Emba, kontraktor swasta La Ode Gomberto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna La Ode M Syukur Akbar, dan bekas Direktur Jenderal Bina Keuangan DaerahKemendagri Mochammad Ardian Noervianto. Dua orang terakhir telah ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus suap dana PEN di Kabupaten Kolaka Timur.
Sejak Selasa (11/7) siang, tim dari KPK memang menggeledah sejumlah tempat di Muna. Tim menyasar kantor Bupati Muna, rumah seorang kontraktor swasta, dan sejumlah kantor pemerintahan lainnya.
Saya tidak pernah bertemu dengan beliau dan tidak pernah memerintahkan apa yang dituduhkan.
Rusman Emba, di sela-sela pemeriksaan di Markas Polda Sultra, menjelaskan, ia menghargai proses penyidikan yang tengah berlangsung dan meyakini KPK akan mengambil keputusan yang profesional dalam kasus ini. Di sisi lain, ia juga meyakini tidak bersalah meski telah ditetapkan sebagai tersangka.
”Saya dituduh melakukan suap-menyuap terhadap saudara Ardian. Saya tidak pernah bertemu dengan beliau dan tidak pernah memerintahkan apa yang dituduhkan. Tentunya nanti akan ada proses pembuktian. Hari ini diperiksa sebagai saksi,” katanya.
Menurut Rusman, pihaknya memang mengajukan dana PEN pada 2021 ke pemerintah pusat. Total nilai yang diajukan dan disetujui sebesar Rp 233 miliar. Sebanyak Rp 210 miliar telah cair dan digunakan pada 2022.
Anggaran tersebut dialokasikan untuk berbagai kegiatan, mulai dari pembangunan jalan, pembuatan jaringan air bersih, lapangan sepak bola, hingga pabrik jagung. Ia mengklaim program tersebut bermanfaat untuk masyarakat.
”Dalam penyidikan KPK ini, ada dugaan pemberian suap terhadap saudara Ardian dalam pengajuan dana PEN tersebut. Saya tidak pernah tahu dan tidak pernah memerintahkan terkait apa yang dituduhkan tersebut,” ujar Rusman.
Penyidikan dana PEN di Muna merupakan pengembangan dari kasus yang sama di Kolaka Timur pada 2022. Saat itu, KPK menetapkan sejumlah orang menjadi tersangka, mulai dari mantan Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna Laode M Syukur Akbar, hingga bekas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochammad Ardian Noervianto.
Setelahnya, KPK kembali memeriksa sejumlah orang saksi, termasuk Rusman Emba dan La Ode M Rusdianto Emba. Belakangan, Rusdianto yang merupakan adik Rusman Emba ditetapkan juga sebagai tersangka bersama Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Muna Sukarman Loke.
Dalam persidangan terhadap Andi Merya pada September 2022, Andi Merya bersama Rusdianto diduga memberikan uang sejumlah Rp 3,4 miliar kepada Ardian Noervianto, Sukarman Loke, dan La Ode M Syukur Akbar. Rinciannya, Andi Merya memberikan uang kepada Ardian sebesar Rp 1,5 miliar, kepada Sukarman sebesar Rp 1,7 miliar, dan La Ode sebesar Rp 175 juta.
Pemberian uang ini dilakukan terkait permintaan Pemkab Kolaka Timur untuk mendapatkan dana PEN sebesar Rp 151 miliar. Sekitar Maret 2021, Andi Merya menyampaikan keinginan untuk mendapatkan dana tambahan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Kolaka Timur kepada Rusdianto.
Rusdianto pun menyampaikan keinginan Andi Merya tersebut kepada Sukarman yang memiliki jaringan di pemerintahan pusat. Selanjutnya, Sukarman menyampaikan informasi tersebut kepada La Ode yang juga sedang mengurus pengajuan pinjaman PEN Daerah Kabupaten Muna.
Adapun syarat untuk mendapatkan dana PEN harus ada surat pertimbangan atas usulan pinjaman PEN pemerintah daerah dari Menteri Dalam Negeri yang didahului oleh surat dari Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah. Adapun Laode merupakan teman satu angkatan dengan Ardian di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).
Setelah Ardian, Sukarman, dan Laode menerima uang dari Andi Merya, baru kemudian Ardian menerbitkan dan menandatangani surat yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal perihal Pertimbangan Atas Usulan Pinjaman PEN Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka Timur Tahun Anggaran 2021.
”Yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Kolaka Timur dipertimbangkan dapat menerima pinjaman paling besar Rp 151.000.000.000 (seratus lima puluh satu miliar rupiah) yang sudah diajukan terdakwa sejak tanggal 14 Juni 2021,” kata jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Andhi Ginanjar (Kompas, Jumat, 16/9/2022).