Pidana Penjualan Orang di Palangkaraya Kian Marak, Pelaku Jual Temannya untuk Beli Sabu
Tindak pidana penjualan orang di Kalteng kian marak. Polisi menangkap pelaku penjualan orang di Palangkaraya untuk membeli sabu dan mengonsumsinya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Polisi menangkap MH (26) dalam kasus tindak pidana penjualan orang di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ia menjual korbannya untuk melakukan jasa prostitusi dengan hasil keuntungan untuk membeli sabu.
Hal itu disampaikan Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Palangkaraya Ajun Komisaris Besar (AKBP) Andiyatna di sela-sela jumpa media di Polres Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (17/7/2023). Ia didampingi Kepala Satuan Reserse Kriminal Komisaris (Kompol) Ronny Marthius Nababan.
Dalam penjelasannya, Andiyatna menyebut perempuan berinisial B yang berumur 19 tahun sebagai korban di kasus tindak pidana perdagangan orang tersebut, meski perempuan itu setuju untuk dijual jasanya dalam dunia prostitusi. Sebelum menjual jasanya, pelaku meminta persetujuan korban atau yang saat ini berstatus sebagai saksi.
Baik pelaku maupun saksi merupakan warga Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang baru dua minggu beroperasi di Palangkaraya, Kalteng. Sebelumnya, kedua orang itu beroperasi di sekitar Banjarmasin.
Keduanya ditangkap saat seorang pengguna jasa sedang bertransaksi dengan pelaku di sebuah wisma di Palangkaraya.
”Saat ini pelaku masih menjalankan proses penyidikan, mereka sebelumnya sudah sering melakukan aktivitas seperti ini,” ungkap Andiyatna.
Pelaku dan saksi memiliki hubungan pertemanan. Aktivitas mereka di Palangkaraya bukan merupakan yang pertama, tetapi sudah sering dilakukan. Pelaku menjual jasa saksi dengan tarif Rp 300.000 sampai dengan Rp 400.000 sekali menggunakan jasa prostitusinya. Pelaku bisa mendapatkan keuntungan Rp 150.000 sampai Rp 400.000 per hari dari aktivitasnya tersebut.
Pelaku mengaku, kata Andiyatna, menggunakan hasil atau keuntungan tersebut untuk membeli sabu dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mulai dari makanan hingga membeli rokok. ”Korban mau dijual selama tarifnya tidak di bawah Rp 300.000,” katanya.
Pelaku dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Perdagangan Orang dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling besar Rp 600 juta.
Saat ini pelaku masih menjalankan proses penyidikan, mereka sebelumnya sudah sering melakukan aktivitas seperti ini. (Andiyatna)
Kasus TPPO di Kota Palangkaraya sudah berulang-ulang. Sebelumnya, aparat kepolisian Kalimantan Tengah menangkap 10 pelaku dari delapan kasus TPPO. Rinciannya, 3 kasus di Kota Palangkaraya; 1 kasus di Kabupaten Kotawaringin Barat, Lamandau, dan Seruyan; sedangkan 2 kasus lainnya dari Kabupaten Kotawaringin Timur.
Daftar panjang
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Kalteng Komisaris Besar Erlan Munaji mengungkapkan, selama 2023 dari Januari hingga Juli, pihaknya mengungkap delapan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan total 10 pelaku atau tersangka. Kejadian di Palangkaraya baru-baru ini menambah daftar Panjang kasus TPPO di Kalimantan Tengah.
”Polda Kalteng berkomitmen untuk memberantas perdagangan orang di wilayah hukumnya, sebagian besar kasus yang kami tangani sudah masuk persidangan, beberapa kasus masih dalam proses penyidikan,” ungkap Erlan.
Polisi membawa pelaku tindak pidana penjualan orang di kantor Polres Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Senin (17/7/2023).
Sebelumnya, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng Kalimantan Tengah Irene Lambung mengungkapkan, perdagangan orang yang berujung jasa prostitusi merupakan bagian dari kekerasan seksual, khususnya bagi korban yang dipaksa untuk melakukan aktivitas tersebut.
”Perempuan punya otoritas atas tubuhnya. Ketika itu terjadi di luar kemauannya, apalagi dipaksa, maka itu merupakan bentuk kekerasan seksual, tentunya dia tidak pernah nyaman atas apa yang dipaksakan terhadapnya,” kata Irene.
Dalam kasus ini, menurut Irene, polisi perlu menyelidiki alasan korban melakukan hal tersebut. Kebutuhan ekonomi atau hilangnya sumber penghidupannya, beban ganda dan banyak faktor lainnya bisa menjadi alasan. ”Termasuk kekerasan seksual, jangan sampai mereka mau melakukan itu karena pernah merasakan kekerasan seksual sebelumnya,” ujarnya.
Menurut Irene, tindakan yang perlu dilakukan salah satunya adalah edukasi dan pendampingan. ”Dukungan kepada korban agar ia bisa pulih dari kejadian yang menimpanya dan bersuara untuk meminimalkan peluang untuk ia kembali ke dunia itu,” ungkapnya.