Hasil Otopsi Tahanan Tewas di Banyumas Diminta Diserahkan ke Keluarga
Kasus tewasnya Oki Kristodiawan (27), tahanan di Polresta Banyumas, masih menjadi sorotan. LBH Yogyakarta meminta hasil otopsi jenazah Oki segera diserahkan kepada keluarga untuk memastikan penyebab tewasnya korban.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Kasus tewasnya Oki Kristodiawan (27), seorang tahanan di Kepolisian Resor Kota Banyumas, Jawa Tengah, masih menjadi sorotan. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta selaku pendamping keluarga korban meminta hasil autopsi jenazah Oki segera diserahkan kepada pihak keluarga. Hal ini untuk memastikan penyebab tewasnya Oki.
Oki merupakan tahanan kasus pencurian kendaraan bermotor yang ditangkap anggota Polresta Banyumas pada Rabu (17/5/2023). Pada Jumat (2/6/2023), keluarga Oki mendapat informasi bahwa Oki telah meninggal. Saaat dicek, pihak keluarga mendapati adanya luka-luka tidak wajar pada jasad Oki. Keluarga menduga, luka-luka di tubuh Oki terjadi akibat goresan benda tajam.
Kepolisian menyebut kematian Oki dipicu oleh adanya pengeroyokan yang dilakukan oleh sesama tahanan di Polresta Banyumas. Sebanyak sepuluh tahanan sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah DI (23), GW (25), AD (33), SL (23), YT (38), DA (28), LW (24), ZA (19), YA (20), dan IW (27).
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banyumas Komisaris Agus Supriadi menuturkan, penganiayaan itu terjadi pada 18 Mei 2023. Pada hari itu pukul 17.55, Oki dimasukkan ke dalam sel oleh petugas. Setelah itu, petugas jaga kembali ke meja piket penjagaan. Tak lama kemudian, petugas mendengar suara keributan di sel. Setelah itu, pada pukul 18.20, Oki ditemukan dalam kondisi tidak berdaya dan langsung dibawa ke rumah sakit (Kompas,id, 7/6/2023).
Menurut Agus, dari pengecekan rekaman kamera pemantau (CCTV), ada dua tahanan yang menyeret Oki ke dalam kamar mandi. Di sana, Oki dipukul empat hingga lima orang, lalu disiram air. Setelah itu, Oki diserat ke tengah sel kemudian dipukul sebanyak empat hingga lima kali oleh setiap orang. Pemukulan disebut Agus dilakukan dengan tangan kosong, tanpa senjata.
Akan tetapi, Direktur LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, mempertanyakan pernyataan polisi yang menyebut kematian Oki terjadi akibat pengeroyokan sesama tahanan. Apalagi, polisi menyebut Oki dipukul dengan tangan kosong.
”Kami menuntut polisi segera menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga. Begitu juga kepada pihak-pihak lain, misalnya rumah sakit, untuk kooperatif menyampaikan informasi yang terang benderang terkait apa yang menyebabkan kematian Oki. Bagaimana luka-luka itu terjadi pada tubuh Oki? Hasil (otopsi) tersebut menentukan proses siapa yang akan bertanggung jawab atas kematian Oki,” kata Julian, Senin (17/7/2023).
Julian juga mencurigai adanya konflik kepentingan dalam tim khusus yang dibentuk Kepolisian Daerah Jateng untuk menangani kasus tersebut. Tim itu terdiri dari anggota Direktorat Kriminal Umum serta Bidang Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Jateng. Selain itu, anggota Polresta Banyumas juga disertakan dalam tim tersebut.
”Jika melihat komposisi ini, kami mencurigai adanya potensi konflik kepentingan. Kami menuntut agar pihak Polresta Banyumas dikeluarkan dari tim yang dibentuk oleh Polda Jateng,” imbuh Julian.
Julian juga berharap, sejumlah lembaga, seperti Komisi Kepolisian Nasional (Komplonas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Dewan Perwakilan Rakyat, turut membantu mengawasi penyelidikan kasus tewasnya Oki. Hal itu agar pengungkapan kasus tersebut bisa dilakukan dengan maksimal.
Sebelumnya, komisioner Komplonas, Poengky Indarti, juga meminta agar ada pendalaman terkait kemungkinan keterlibatan aparat dalam pengeroyokan terhadap Oki. Menurutnya, ruang tahanan yang berada dalam pengawasan aparat seharusnya menjadi tempat yang aman.
”Perlu ditelusuri apakah murni keinginan sesama tahanan untuk memelonco tahanan yang baru masuk atau ada peranan oknum anggota. Jika benar (ada peranan anggota polisi), harus diusut tuntas siapa,” tutur Poengky.
Poengky juga menyarankan agar ada pengawasan di sel tahanan selama 24 jam melalui CCTV. Selain itu, pengawasan langsung setiap sejam sekali melalui patroli juga diharapkan bisa dilakukan. Jika mengetahui adanya tanda-tanda tahanan menjadi sasaran perundungan, polisi bisa langsung memisahkan tahanan tersebut dengan tahanan lain untuk menghindari terjadinya kekerasan.
Poengky menambahkan, para penyidik dan penyelidik harus dipantau dengan kamera pemantau saat melakukan tugasnya. Pemasangan body worn camera atau kamera pada tubuh juga diharapkan bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap tersangka. Hal itu akan memudahkan penungkapan jika terjadi kekerasan.
Transparan
Sementara itu, Kepala Polda Jateng Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi berjanji menangani perkara itu secara transparan hingga tuntas. Hingga kini, sebanyak empat polisi sudah ditetapkan sebagai tersangka karena telah bersama-sama melakukan kekerasan kepada Oki saat proses penangkapan. Kendati demikian, Luthfi tak merinci bentuk kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya tersebut.
”Saat proses penangkapan, ada empat anggota yang melakukan tindak pidana. Entah itu memukul dan lain-lain. Wujud perkaranya akan kami dalami dalam suatu berkas perkara pada saat sidang,” ujarnya.
Selain menetapkan empat polisi sebagai tersangka, tim gabungan yang dibentuk Polda Jateng juga menyatakan tujuh polisi lain melanggar kode etik dan kedisiplinan. Bentuk pelanggaran kode etik juga tak dirinci oleh Luthfi. Sementara itu, pelanggaran disiplin yang dimaksud adalah lalai dalam melaksanakan tugasnya menjaga tahanan.
Perlu ditelusuri apakah murni keinginan sesama tahanan untuk memelonco tahanan yang baru masuk atau ada peranan oknum anggota.
Menurut Luthfi, proses hukum pidana terhadap empat polisi yang melakukan pelanggaran itu akan terus dilakukan seiring dengan proses hukum di internal kepolisian. Kemungkinan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh para polisi lain juga akan didalami.
Luthfi juga mengaku sudah memperingatkan para anggota Polda Jateng untuk menegakkan hukum sesuai ketentuan. Sebagai penegak hukum, Luthfi menyebut, polisi tidak seharusnya melanggar hukum. ”(Kasus ini) untuk menjadi pelajaran sehingga institusi kami menjadi sehat dalam rangka memberikan rasa keadilan kepada masyarakat,” imbuhnya.