Koordinator Masyarakat Adat Pubabu-NTT Dituntut 7 Bulan Penjara
Koordinator masyarakat adat Pubabu Timor Tengah Selatan, Niko Manao, dituntut jaksa 7 bulan penjara, potong masa tahanan. Niko terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap staf pemprov.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
SOE, KOMPAS — Koordinator masyarakat adat Pubabu-Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nikodemus Manao ditutut 7 bulan penjara. Niko terbukti memukul korban Bernadus Seran hingga mengalami luka lecet di pelipis kiri.
Terdakwa tak mengakui perbuatan. Sementara perluasan pembangunan PLTP Ulumbu tepatnya di Pocoleok, Manggarai, belum mendapat persetujuan mayoritas warga lokal.
Jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Soe, Santy Efraim, dalam membacakan tuntutan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Soe, Jumat (14/7/2023), antara lain, menyebutkan, sesuai keterangan para saksi, surat petunjuk, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dalam persidangan.
Penganiayaan terjadi Senin (17/10/2020) sekitar pukul 20.00 Wita, tepat di depan rumah saksi Simon Petrus, di Dusun Pubabu-Besipae, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan.
Saat itu, saat korban Bernadus Seran dan rekannya Soleman Tobe mendatangi rumah saksi Simon Petrus Sae. Keduanya memberikan surat kepada Simon Petrus Sae untuk mengosongkan rumah bantuan pemprov di lokasi itu.
Ketika terdakwa mengetahui bahwa saksi korban Bernadus Seran dan Soleman Tobe ada di rumah kediaman Simon Petrus Sae, terdakwa langsung mendatangi rumah itu. Saat itu korban dan rekannya sedang berada di dalam rumah Simon Petrus Sae. Terdakwa langsung memegang tangan kiri korban Bernadus Seran, kemudian menarik keluar rumah.
Di depan rumah Simon Petrus Sae, terdakwa langsung memukul korban di bagian pelipis kiri dengan tangan kanan. Tindakan terdakwa disaksikan Soleman Tobe.
Perbuatan terdakwa membuat korban mengalami luka di bagian pelipis mata kiri, berukuran 1 sentimeter x 1,1 sentimeter. Ini, sesuai hasil pemeriksaan medis, yang tertuang dalam surat visum et reperttum Nomor RSUD 35.04.01/253/2022, tanggal 18 Oktober 2022.
Penganiayaan
Dalam perkara ini, jaksa penuntut umum menilai terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, melakukan tindak pidana penganiayaan. Selain itu, selama persidangan berlangsung, terdakwa Niko Manao tidak ditemukan adanya unsur pembenar maupuan pemaaf, maka terdakwa dihukum setimpal dengan perbutannya.
Hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah tidak mengakui perbuatan, dan hal yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dihukum. Dengan demikian, sesuai tuntutan pidana, terdakwa dijutuhi hukuman 7 (tujuh) bulan penjara, dikurangi masa tahanan, dengan memerintahkan terdakwa tetap ditahan.
Barang bukti berupa satu buah baju berwarna kuning, dengan bercak darah di bagian dada, dirampas untuk dimusnahkan. Terdakwa menanggung beban perkara Rp 2.000. Sidang pekan depan, mendengarkan nota pembelaan (pleidoi) dari penasihat hukum terdakwa.
Terpisah, penasihat hukum terdakwa, Viktor Manbait, mengatakan, terdakwa Nikodemus Manao ditangkap 13 Februari 2023. Ia ditahan 15 Februari 2023. Dengan demikian, ia sudah ditahan lima bulan.
Penangkapan Nikodemus Manao dilakukan setelah beberapa kali ia memimpin massa yang terdiri dari masyarakat adat, mahasiswa, dan relawan pencinta lingkungan, melakukan aksi demonstrasi damai di sejumlah lokasi.
Pemerintah harus lebih gencar melakukan sosialisasi bukan mengedepankan kekerasan. (Simon Tukan)
Mereka menuntut Pemprov NTT mengembalikan hutan adat di Pubabu-Besipae kepada masyarakat adat. Lokasi itu diambil alih pemprov, Jumat (21/8/2020). Pengalihan hutan adat itu setelah pemprov bekerja sama dengan sekelompok masyarakat adat Pubabu, yang memisahkan diri dari kelompok lain, pimpinan Nikodemus Manao.
Hutan adat seluas 2.671,4 hektar, tetapi kemudian diperluas sampai ke permukiman warga, pekarangan, dan lahan olahan masyarakat adat sehingga mencapai 6.000 ha. Lahan seluas ini diambil alih Pemprov dengan alasan dikelola pemprov untuk kesejahteraan masyarakat NTT, terutama warga sekitar.
Sementara itu, JPIC Ruteng dalam keterangan pers disampaikan ke Kompas, Sabtu (15/7/2023), antara lain, mengatakan, sikap pemerintah melalui PT PLN, mengembangkan PLTP di Ulumbu, khususnya di wilayah Pocoleok, Manggarai, menyebabkan masyarakat terbelah dua kelompok. Pemerintah menguasai satu kelompok kecil, kemudian mengeklaim sebagai keseluruhan komunitas di wilayah itu.
Pengerahan alat berat memasuki lahan pertanian dan permukiman warga, yang sebelumnya tidak tahu-menahu perihal pembangunan itu, tidak dibenarkan. Terjadi penolakan dan penghadangan alat berat oleh warga lokal. Pengerahan aparat keamanan untuk mengusir dan membubarkan masyarakat tidak menyelesaikan masalah.
Hasil pantauan dan investigasi Justice, Peace and Integrity of Creation, Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan, Ruteng, kata Koordinator JPIC Ruteng P Simon Suban Tukan SVD, menemukan sejumlah masalah.
Tindakan represif satpol PP dan aparat kepolisian di wilayah itu saat mengamankan pembangunan PLTP tidak dapat dibenarkan. ”Pemerintah harus lebih gencar melakukan sosialisasi, bukan mengedepankan kekerasan,” ujarnya.
Berdasarkan asesmen JPIC di lapangan, ditemukan sejumlah bukti tindak kekerasan itu. Masyarakat mengalami cedera kaki, tangan, punggung, leher, dan dada akibat pukulan dan tendangan aparat keamanan. Kaum perempuan mengalami pelecehan dan mengalami tindak kekerasan lain.
Cara –cara seperti ini dilakukan pemerintah di mana-mana, saat menguasai suatu lokasi yang dinilai menguntungkan secara ekonomi. Alasan utama adalah kesejahteraan masyarakat. Namun, yang terjadi adalah kenyamanan masyarakat terganggu, sumber-sumber daya alam di wilayah itu dirusak, kesejahteraan tak tercapai, dan masyarakat makin terpinggirkan dari tanah asal.