Kerugian Negara akibat Penambangan Ilegal di Konsesi PT Antam Konawe Utara Capai Rp 5,7 Triliun
Audit BPK, potensi kerugian negara dari penambangan ilegal di konsesi PT Antam Blok Mandiodo, Konawe Utara, mencapai Rp 5,7 triliun. Itu adalah kalkulasi atas kerugian negara sejak konsesi itu ditambang hingga saat ini.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Penambangan dan penjualan ore nikel ilegal di wilayah konsesi PT Antam Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, ditaksir menimbulkan kerugian negara Rp 5,7 triliun. Selama bertahun-tahun, wilayah yang sebagian besar adalah hutan di konsesi tersebut ditambang secara ilegal. Kejaksaan Tinggi Sultra masih terus melakukan penyidikan, termasuk pemeriksaan sejumlah pihak di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
”Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), potensi kerugian negara dari pembukaan kawasan di IUP PT Antam di Blok Mandiodo, Konawe Utara, mencapai Rp 5,7 triliun. Itu adalah perhitungan BPK, dan kami juga sedang meminta audit dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan),” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sultra Patris Yusrian Jaya di Kendari, Kamis (13/7/2023).
Perhitungan BPK, ia menambahkan, adalah kalkulasi atas kerugian negara sejak konsesi tersebut pertama kali dibuka untuk pertambangan. Selama bertahun-tahun, pembukaan kawasan terjadi di wilayah ini. Belakangan, pihaknya melakukan penyidikan di Blok Mandiodo tersebut karena adanya indikasi korupsi dan kerugian negara. Empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka, baik dari pihak PT Antam Tbk Unit Bisnis Pertambangan Nikel (UPBN) Konawe Utara maupun pihak swasta.
Sejak awal Juni, Kejati Sultra telah menetapkan sejumlah tersangka dari penambangan dan penjualan ore ilegal, termasuk GM PT Antam UPBN Konawe Utara HW. Selain HW, tiga orang lainnya adalah GL selaku pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, AA selaku Direktur PT Kabaena Kromit Pratama, serta OS sebagai Direktur Utama PT Lawu Agung Mining. Mereka diduga kuat berperan dalam praktik pertambangan dan penjualan ore ilegal di konsesi milik PT Antam.
Menurut Patris, saat ini Kejati Sultra juga telah meminta perhitungan kerugian negara dari BPKP dalam kasus tersebut. ”Perhitungan BPK menjadi referensi kami tentunya untuk penghitungan kerugian negara secara menyeluruh. Namun, kami masih fokus di waktu tertentu, terutama penyidikan kasus yang saat ini masih terus dalam penyidikan dan pengembangan, termasuk dengan meminta audit BPKP,” ucapnya.
Asisten Intelijen Kejati Sultra Ade Hermawan menjabarkan, penghitungan oleh BPK berbeda dengan permintaan penghitungan pihaknya ke BPKP. Nilai kerugian dari BPK tersebut adalah keseluruhan bukaan kawasan dan penambangan ilegal selama ini. Sementara itu, penghitungan yang sedang dilakukan BPKP adalah masa kerja PT Antam dengan sejumlah perusahaan sejak Desember 2021 hingga saat ini.
”Jadi yang BPKP fokus menghitung kerugian negara pada masa kontrak PT Antam dengan sejumlah perusahaan yang saat ini menjadi ranah penyidikan kami. Nilainya masih dalam penghitungan,” kata Ade.
PT Antam memiliki sejumlah wilayah konsesi di Konawe Utara. Salah satunya adalah Blok Mandiodo sekitar 16.900 hektar di wilayah Konawe Utara. Wilayah ini beperkara selama belasan tahun setelah di atasnya juga terbit 11 izin yang tumpang tindih. PT Antam lalu menggugat dan menang pada 2021 serta melakukan produksi nikel di wilayah itu. Produksi di 2021 inilah yang menjadi ranah penyidikan Kejati Sultra.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), potensi kerugian negara dari pembukaan kawasan di IUP PT Antam di Blok Mandiodo, Konawe Utara, mencapai Rp 5,7 triliun.
Ade menjelaskan, setelah memiliki kekuatan hukum tetap, PT Antam lalu menjalin kerja sama operasi dengan PT Lawu Agung Mining dan Perusda Sultra. Dua perusahaan tersebut kemudian kembali melakukan joint operation dengan 38 perusahaan untuk menggarap konsesi milik PT Antam tersebut.
Akan tetapi, dari ribuan hektar konsesi PT Antam di Blok Mandiodo, baru 22 hektar yang bisa dikelola dan masuk dalam rencana kerja anggaran biaya. Sebab, ribuan hektar lainnya adalah kawasan hutan yang memerlukan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Meski belum memiliki IPPKH, perusahaan tetap mengajukan penambahan luas penambangan 157 hektar.
Nikel hasil dari penambangan di lahan ratusan hektar tersebut, Ade melanjutkan, lalu dijual secara ilegal. Nikel yang seharusnya dijual ke PT Antam, sebagian besar diselundupkan keluar. Para pelaku ini diketahui memakai dokumen perusahaan lain, salah satunya adalah PT KKP, dan menyamarkan ore nikel tersebut sebagai hasil penambangan di tempat lain.
”Sejauh ini pemilik dokumen yang jadi tersangka baru dari PT Kabaena Kromit Pratama (KKP). Penyelidikan kami menunjukkan lebih dari tiga dokumen dipakai oleh para pelaku untuk menjual ore nikel ke smelter,” katanya.
Tidak hanya itu, Kejati Sultra juga terus mengembangkan kasus ini. Seorang mantan Pelaksana Tugas Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diperiksa pada Kamis ini di Kejaksaan Agung. Tiga orang lainnya dengan posisi berbeda di Kementerian ESDM telah diperiksa sebelumnya.
Sebelumnya, Corporate Secretary Division Head PT Antam Tbk Faizal Alkadri mengatakan, pihaknya menghormati proses hukum yang berjalan dan akan memberikan informasi yang dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan komitmen perusahaan untuk selalu bekerja sama dengan pihak terkait jika ada hal-hal yang diperlukan.
”Terkait dengan kasus yang terjadi ini, kami sedang menelaah dan melihat perkembangan yang terjadi. Dengan demikian, hal-hal terkait permasalahan ini akan disampaikan kemudian setelah ada kejelasan dan informasi lebih lanjut,” tuturnya.